Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dunia Hadapi Krisis Keanekaragaman Hayati
Oleh : Redaksi
Jum'at | 03-10-2014 | 08:53 WIB

BATAMTODAY.COM - Dunia menghadapi krisis keanekaragaman hayati. Populasi spesies dunia turun 52% dalam waktu 40 tahun. Krisis ini harus memicu aksi untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.

Hal ini terungkap dalam laporan WWF berjudul Living Planet Report 2014 yang dirilis Selasa (30/9/2014). Laporan ini berisi analisis ilmiah tentang kesehatan planet bumi serta kaitannya terhadap aktivitas dan gaya hidup manusia.

Menurut Living Planet Report 2014, ancaman masalah lingkungan di dunia semakin tinggi. Hal ini tercermin dari jejak ekologis (Ecological Footprint) - sebuah tolak ukur dampak dari kehidupan manusia terhadap alam - yang terus mengalami peningkatan. Analisis LPR 2014 menunjukkan, populasi ikan, burung, mamalia, amfibi dan reptil dunia telah menurun 52% dalam kurun waktu 40 tahun. Penurunan keanekaragaman hayati di wilayah Asia Pasifik menempati rangking ke-2 di bawah Amerika Latin.

Menurut WWF, kehilangan keanekaragaman hayati dan jejak ekologis yang terus meningkat, selain dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesejahteraan manusia, seharusnya juga bisa memicu aksi untuk mengubah tren negatif yang ada saat ini.

"Keanekaragaman hayati merupakan bagian sangat penting dalam menyokong kehidupan di Bumi - dan merupakan barometer dari apa yang telah kita perbuat kepada planet ini. Kita sangat membutuhkan aksi global yang berani di semua sektor kehidupan untuk membangunan masa depan yang berkelanjutan," ujar Direktur Jenderal WWF Internasional, Marco Lambertini sebagaimana dikutip dalam berita WWF Indonesia.

Ancaman-ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati global adalah penurunan kualitas dan kerusakan habitat, penangkapan dan perburuan satwa liar, serta perubahan iklim. Dari ribuan spesies yang dikaji dalam laporan ini, populasi spesies di wilayah tropis telah turun 56%, sementara populasi spesies di kawasan beriklim sedang (dikenal dengan daerah temperate) turun 36%.

CEO WWF-Indonesia, Dr. Efransjah, menyatakan, "Degradasi, fragmentasi dan hilangnya habitat adalah ancaman yang terus menerus terjadi bagi satwa-satwa terancam punah di Indonesia termasuk Harimau Sumatera, Gajah Sumatera, Badak Jawa, Badak Sumatera, Orangutan Sumatera dan Orangutan Kalimantan. Kita harus menahan dan mencegah laju degradasi dan hilangnya habitat sebagai satu-satunya cara mempertahankan keberadaan spesies-spesies tersebut, demisebuah masa depan yang berkelanjutan."

Saat keanekaragaman hayati turun menurun, peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi per kapita di Asia terus mendorong peningkatkan jejak ekologis kawasan ini. Secara global, kebutuhan gaya hidup manusia di bumi telah meningkat 50% lebih banyak dari kapasitas yang dimiliki oleh bumi atau dari apa yang dapat sediakan secara alami oleh bumi. Dengan kata lain, dibutuhkan 1,5 Planet Bumi untuk bisa memenuhi gaya hidup manusia saat ini.

Saat ini sebagian besar penduduk dunia hidup di perkotaan. Wilayah perkotaan di seluruh dunia bertanggung jawab atas lebih dari 70% pemanfaatan energi yang menimbulkan emisi karbon. Sehingga kota juga berpotensi sebagai pusat produksi energi terbarukan dan pusat aksi efisiensi energi.

Memutuskan hubungan antara jejak ekologis dengan pembangunan harus menjadi prioritas utama yang diindikasikan oleh Living Planet Report 2014. Penelitian dalam laporan ini menunjukkan, penduduk dunia tetap bisa meningkatkan standar hidup mereka dan pada saat yang sama mengurangi pengunaan sumber daya alam. Beralih ke gaya hidup yang ramah lingkungan dan memastikan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di bumi adalah kuncinya.

Living Planet Report 2014 merupakan laporan dua tahunan edisi ke-10 yang dirilis oleh WWF. Laporan ini meneliti lebih dari 10.000 populasi spesies vertebrata sejak 1970 hingga 2010, menggunakan Living Planet Index - pusat data yang dikelola oleh Zoological Society of London (ZSL). Pengukuran jejak ekologis dalam laporan ini dilaksanakan oleh Global Footprint Network (GFN).

Tahun ini, Living Planet Index menampilkan metodologi yang telah diperbarui sehingga lebih akurat dalam melacak keanekaragaman hayati global dan mampu menyediakan gambaran yang lebih jelas mengenai kesehatan lingkungan hidup di sekitar kita.

WWF menyatakan, kondisi spesies dunia yang kian memburuk harus menjadi dasar bagi pemerintah, sektor bisnis dan masyarakat madani (civil society) untuk berdialog, mengambil keputusan dan bertindak, di masa yang sangat penting bagi planet ini.

Laporan ini juga memuat "One Planet Perspective", yang berisi strategi untuk melindungi, memroduksi dan mengonsumsi secara lebih bijak. Masyarakat di Asia menjadi contoh upaya mengurangi jejak ekologis dan mencegah hilangnya keanekaragaman hayati. Seperti masyarakat Shanghai yang mendukung pemasangan solar panel, masyarakat Seoul yang berpatisipasi di "No Driving Day", serta masyarakat Jepang di Kota Sendai yang menciptakan peraturan 'green purchasing'.

"Alam adalah kunci untuk bertahan hidup dan mencapai kemakmuran. Saat ini, masih banyak penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Penting bagi kita untuk bekerjasama dalam menciptakan solusi-solusi yang bermanfaat bagi semua orang," ujar Lambertini.

Dr. Efransjah juga menambahkan, "Kita sebagai masyarakat, memiliki kekuatan untuk mengambil pilihan bijak dalam gaya hidup kita, agar tidak menambah tekanan pada Bumi dan menghindari hilangnya keanekaragaman hayati yang lebih banyak lagi. WWF juga terus mendesak sektor bisnis untuk melakukan transformasi dalam memroduksi berbagai kebutuhan kita, agar produk-produk yang dihasilkan tidak membahayakan bumi ini."

Direktur Jenderal WWF Internasional, Dr Marco Lambertini akan hadir dalam "Peluncuran dan Diskusi Living Planet Report 2014 : Konteks Asia dan Indonesia" tanggal 10 Oktober 2014 mendatang di Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta. Acara ini juga mengundang Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4; dan Heru Prasetyo, Kepala Badan Pengelola REDD+ Indonesia.

Sumber: Hijauku.com / WWF Indonesia