Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pembahasan RUU Pilkada Masih Diwarnai Pertarungan Pilpres
Oleh : Surya Irawan
Sabtu | 06-09-2014 | 10:25 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pakar politik dan komunikasi dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Firdaus Muhammad menilai pertarungan dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR RI masih merupakan dampak keberlanjutan dari pertarungan Pilpres 9 Juli 2014 lalu. Apalagi hampir seluruh anggota DPR RI dari Koalisi Merah Putih (KMP) sekarang mendukung pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Baik Gubernur, Bupati dan Walikota.

"Saya melihat pertarungan dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR RI ini sebagai lanjutan dari pertarungan Pilpres 9 Juli 2014 lalu. Sebab kalau alasannnya biayanya yang besar, ada politik uang, dan kerusuhan, apakah ada jaminan kalau dipilih oleh DPRD tak ada money politics, biaya murah, dan tidak rusuh?" tanya Firdaus dalam acara perspektif Indonesia ‘RUU Pemilukada Ditunda?” bersama direktur eksekutif Perludem Titi Anggraini Mashudi, mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta  Ramdhansyah, dan caleg terpilih DPR RI Nasdem Muchtar Luthfi Andi Mutty di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (5/9/2014).

Padahal lanjut Firdaus, kalau memajukan demokrasi harus memperbaiki sistem, aturan atau regulasinya, bukan hanya mengembalikan ke DPRD. Kalau hanya sekadar politik uang, maka Panwaslu bisa diberi kewenangan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang langsung bisa menangkap pelaku. "Kalau itu dilakukan, maka proses demokrasi akan lebih kuat," ujarnya.

Titi Anggraini menjelaskan jika Perludem sejak lama justru mendorong perbaikan peraturan dari UU No.32/2004 tentang otonomi daerah, UU No.8/2012 tentang pemilu, dan UU No.42/2008 tentang Pilpres. "Ketiga UU itu perlu disempurnakan untuk konsolidasi demokrasi lokal yang lebih baik, dan bukan tiba-tiba pemilihan dikembalikan ke DPRD. Kita melihat pemerintah ini aneh, karena sudah lama konsultasi dengan masyarakat agar pemiliu langsung, tapi kini akan dikembalikan ke DPRD," katanya kecewa.

Karena itu Perludem menolak RUU Pilkada yang akan disahkan oleh Komisi II DPR RI itu jika hanya berdasarkan alasan  biaya yang mahal dalam penyelenggaraan Pilkada, karena dengan pemilu serentak 2019 nanti, justru akan terjadi penghematan-efisiensi. "Money politics pun pelakunya bukan rakyat, tapi elit partai atau caleg. Dan, kalau pun ada konflik horisontal, berapa daerah yang konflik?" tanya Titi.

Dengan demikian Titi meminta semestinya DPR RI lebih berkonsentrasi pada perbaikan substansi aturan yang bisa menjamin kualitas Pilkada, memilih sistem pemilu yang efisien melalui pemilu dan Pilkada secara serentak satu putaran. 

"Politik uang itu harus disertai dengan aturan penegakan hukum yang jelas dan tidak multi tafsir dengan sanksi yang tegas pula,daripada mengambil langkah mundur untuk Pilkada oleh DPRD," pungkasnya.

Editor: Dodo