Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Arah Kebijakan APBN 2015, Jebakan Kepemimpinan SBY Bagi Presiden Baru
Oleh : Siaran Pers
Kamis | 21-08-2014 | 09:43 WIB

BATAMTODAY.COM - Anggaran merupakan politik sumber daya, yang digunakan semaksimal mungkin oleh penguasa untuk kepentingan politiknya. Dalam upaya mewujudkan wajah anggaran untuk kepentingan tertentu, prosesnya bisa pragmatis atau ideologis dan bagaimanapun akan terdapat berbagai kepentingan politik di belakang semua program/anggaran yang disusun.

Saat ini merupakan tahun transisi pemerintahan dari kepemimpinan SBY ke presiden baru, dan Koalisi APBN Konstitusional ingin menyampaikan respon kritis terhadap arah kebijakan anggaran yang telah disampaikan oleh SBY melalui Nota Keuangan 2015.
 
Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian dari kepemimpinan baru nantinya agar janji-janji politiknya tidak tersandera dalam APBN 2015, karena selain minimnya ruang fiskal juga arah kebijakan kepemimpinan SBY masih mewarnai dalam kebijakan anggaran.

Kebijakan pendapatan baik dari sektor pajak dan PNBP khususnya di sektor energi, belanja sosial, belanja subsidi dan kebijakan pembiayaan (utang), menjadi konsen kami untuk menjadi perhatian bagi kepemimpinan baru nanti, antara lain;

Penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun PNBP (penerimaan negara bukan pajak), sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara, seperti yang terus berulang selama ini. Penerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat ekonominya setara. Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar. Pada tahun 2015, direncanakan 77,79% penerimaan negara (sekitar 1.370 triliun rupiah) berasal dari pajak. Persentase dan nominal tersebut melebihi dari 3 tahun sebelumnya (2012-2014), yang berkisar 1.246,1 triliun (APBNP 2014), 1.148,4 tirliun (APBNP 2013), dan 1.016,23 triliun (APBNP 2012). Meskipun naik secara nominal, namun sebenarnya RAPBN 2015 hanya mentargetkan penerimaan pajak masih berkisar 12,32% dari PBD. Persentase tersebut turun jika dibandingkan dengan target APBNP sebesar 12,38% dari PDB. Sebagai negara dalam kategori the middle income country, kisaran 12% jauh berada di bawah negara-negara sekelas dan tetangga, seperti Malaysia (18,8%) dan Thailand (19,5%).

Tax ratio Inonesia dalam 5 tahun terakhir tidak pernah mencapai 14%. dan alasan untuk menutup defisit, utang masih menjadi pilihan untuk jalan keluar sehingga penerimaan pajak belum menjadi solusi dalam menutup defisit. Belum optimalnya tax ratio Indonesia menunjukkan adanya permasalahan mendasar pada sistem perpajakan Indonesia, dan terdapat penyalahgunaan atau korupsi perpajakan masih tinggi dimana hal tersebut dibuktikan dengan temuan PPATK terhadap 63 rekening gendut yang dimiliki oleh PNS muda. Selama 5 tahun terakhir, pemerintah masih belum bisa mengoptimalkan kinerja penerimaan pajak. Penerimaan pajak hanya naik secara incremental (proporsional terhadap kenaikan PDB). Hal tersebut disebabkan
tidak ada perubahan kebijakan dan strategi pemungutan pajak yang signifikan, sehingga tingkat kepatuhan pajak rendah. Keadaan penerimaan negara yang demikian stagnan menyebabkan ruang fiskal menjadi sempit dan program-program kerakyatan yang akan dikerjakan pemerintahan baru terancam batal.

PNBP (khususnya sektor SDA) cenderung mengalami penurunan dan berpotensi terjadi korupsi. Selama tahun 2006 - 2012 sektor migas mendominasi penerimaan (PNBP), dengan memberikan kontribusi rata-rata 60,5%. Kami melihat bahwa kepemimpinan SBY tidak pernah melakukan optimalisasi tata kelola SDA, dan hal ini menyebabkan kerugian negara akibat praktek bisnis dan adanya ketidak adilan kontrak-kontrak kerjasama berupa hak pengelolaan bagi hasil, royalti/penjualan SDA, serta pengaturan konsepsi pertambangan dan investasi sumber minerba yang masih tumpang tindih. 

Sampai berakhirnya kepemimpinan SBY, belum pernah ada pembenahan untuk memperbaiki pembayaran royalti, sehingga 60% dari keseluruhan korporasi ekstraktif disinyalir tidak membayar royalti tersebut. Dan diduga dalam pengaturan konsepsinya hanya menggunakan tarif tax treaty, sempat pemerintah TA 2012 kehilangan penerimaan negara Rp 2,35 triliun hanya dari royalti saja. Problematika lain yang muncul adalah, masih terdapat 30 KKKS yang tidak konsisten dalam menggunakan tarif pajak PPh, kemudian tidak adanya pengawasan yang memadai terhadap kepatuhan kewajiban perpajakan KKKS (sehingga negara dirugikan Rp 655 miliar karena pemerintah belum mengenakan sanksi atas keterlamatan).

Pengelolaan di tubuh BUMN. Tingginya nilai PMN yang telah dikeluarkan oleh APBN (per 31 desember 2012) telah mencapai Rp 667,3 triliun. Jika terhitung sejak tahun 2010, ada penambahan nilai PMN terhadap BUMN dalam kurun waktu 3 tahun sebesar Rp 154 triliun, namun setoran/bagi hasil laba untuk pemerintah hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 89 trilun (24%) dari total laba yang dihasilkan oleh BUMN sebesar RTp 358,4 triliun. Artinya BUMN tidak pernah memberikan kontribusi pada APBN padahal terdapat keuntungan yang besar, dan posisi terakhir laba yang ditahan oleh BUMN sebesar Rp 407,5 triliun (dengan alasan untuk ekspansi pengembangan). Hal tersebut bisa saja berpeluang dimanfaatkan oleh kepentingan elit maupun
berpeluang terjadinya korupsi karena tidak ada satu pun dalam pengelolaan BUMN terdapat regulasi mengenai besaran PMN yang harus dileuarkan oleh APBN, regulasi mengenai Deviden, atau pun regulasi mengenai laba yang harus di tahan oleh BUMN. Mengingat sepanjang tahun 2008-2011 telah ditemukan sebanyak 2.186 kasus di tubuh BUMN dengan nilai temuan sebesar Rp 125,5 triliun, dan itu pun baru dikemballikan ke negara sebesar Rp 5,3 triliun.

Kebijakan Utang. Seiring dengan ditetapkannya target defisit dalam RAPBN 2015 sebesar 2,32 persen terhadap PDB, sumber pembiayaan defisit dari utang secara nominal mengalami peningkatan, dari sebesar Rp253.724 triliun pada APBNP 2014 menjadi Rp282.724 triliun dalam RAPBN 2015. Terus berlangsungnya praktik ketergantungan utang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang yang sangat besar. Tahun 2014, pemerintah menetapkan pagu pembayaran cicilan pokok Rp247.696 triliun dan bunga Rp121.286 triliun; (2) Ketergantungan BUMN dan pemerintah daerah atas utang luar negeri semakin besar. Sebagaimana terlihat diantaranya pada penerusan pinjaman tahun 2015 kepada PT PLN sebesar Rp3.287 triliun, Pertamina Rp677,6 miliar dan Provinsi DKI Jakarta Rp298,6 miliar; (3) pengadaan alutsista dan almatsus yang semakin besar dengan pembiayaan utang; dan (4) terus berlangsungnya praktik penggunaan utang untuk pos-pos belanja publik seperti pendidikan dan kesehatan; dan (5) Tidak optimalnya penerimaan negara dan kontribusi BUMN yang lemah; (6) praktik inefisiensi/pemborosan anggaran.

Rekomendasi

1. Pemerintah Baru perlu menetapkan peningkatan rasio pajak (target optimis) minimal 5% GDP, sehingga tahun 2016 ke atas bisa memperoleh tax ratio minimal 17%, dengan mempertimbangkan beberapa usulan sebagai berikut:

- Menghitung tax gap dan potensi pajak yang riil dan memperluas wajib pajak dari 25 juta menjadi minimal 60 juta

- Mendorong tingkat kepatuhan wajib pajak dan penegakan hukum atas kasus-kasus besar pajak.

- Memperluas struktur perpajakan dengan menambah dua lapis kelompok pembayar pajak Kaya dan Super Kaya (35% dan 40%);

- Meningkatkan trust terhadap institusi perpajakan melalui penataan kelembagaan perpajakan yang bersifat menyeluruh dan berjangka panjang, melalui upaya pembentukan Badan Penerimaan Negara yang berada langsung di bawah Kantor Presiden;

- Melakukan pembenahan pada sistem rekrutmen kepegawaian serta melanjutkan reformasi e-tax dan membuka akses publik kepada peradilan pajak, rekrutmen hakim-hakim serta proses penanganan perkara pajak;

- Menginisiasi payung hukum yang memberi akses KPK terhadap perkara manipulasi pajak baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha.

2. Pemerintah Baru perlu mengoptimalkan sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui beberapa cara sebagai berikut;

- Meningkatkan potensi lifting minyak bumi serta memperluas Domestic Market Obligation (DMO) dalam bagian pemerintah di sektor Migas guna mendorong kemandirian energi dan mengendalikan dampak fluktuasi harga minyak global;

- Pada sektor non migas, Pemerintah Baru dapat mempertimbangkan peningkatan potensi penerimaan melalui kenaikan tariff maupun melalui perluasan terhadap sektor atau obyek penting yang membawa keuntungan besar namun selama ini belum dikenakan PNBP.

3. Membuka akses publik terhadap pengawasan penerimaan negara, termasuk akses informasi di peradilan pajak serta terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak dan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) secara berkala.

4. DPR dan Pemerintah ke depan harus memahami bahwa utang telah menjadi sumber malapetaka bangsa dan segera menyusun langkah-langkah kebijakan untuk menghentikan ketergantungan utang dan mengurangi nilai utang secara absolut bukan hanya menurunkan rasio utang. Hal tersebut dapat dilakukan antara lain: Pertama, mendorong diplomasi yang efektif untuk memanfaatkan peluang dan fasilitas penghapusan utang-utang Indonesia, terutama yang termasuk dalam kategori utang najis dan tidak sah (Odious Debt/Illegitimate Debt) dengan pihak kreditor. Kedua, Pengurangan stok ULN pemerintah melalui optimalisasi mekanisme debt swap (konversi utang), seperti debt to nature swap, debt to education swap, atau debt swap for poverty reduction dengan tetap menghormati prinsip-prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional; Ketiga, menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitulasi dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Obligasi Rekap); Keempat, membatalkan ULN yang belum ditarik/belum diserap karena menimbulkan beban pembayaran commitment fee.

Koalisi APBN Konstitusional
Seknas FITRA, KAU, Prakarsa, KAI

Editor: Dodo