Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Margarito Nilai Ada Upaya Cara-cara 'Bajingan' untuk Menangkan Pilpres
Oleh : Surya
Rabu | 20-08-2014 | 21:00 WIB
Margarito_Kamis.jpg Honda-Batam
Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis berharap Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan penyelenggaraan Pilpres yang jujur dan adil sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.


Sebab, Pilpres 2014 dinilai tidak dilaksanakan dengan jujur dan adil, serta ada kesengajaan dari penyelenggara pemilu untuk memenangkan salah satu pasangan calon.


"Pemilu yang jurdil itu sebagai ruh dan prinsip berdemokrasi dalam memilih pemimpin, agar tidak menghalalkan segala cara hanya untuk menang. Penyelenggaraan pemilu oleh KPU boleh tidak sempurna, tapi jangan menggunakan cara-cara bajingan dan menghalalkan segala cara. KPU itu harus independen agar pemilu ini beres," kata Margarito Kamis dalam 'Dialog Kenegaraan Menanti Putusan MK dan Sengketa Pilpres 9 Juli 2014' bersama  Brigjen TNI (purn) Safroedin Bahar (mantan Komnas HAM 1995-2007), Zainal Arifin Mochtar (saksi ahli KPU-UGM) dan anggota DPD RI I Wayan Sudirta, di Gedung DPD/MPR RI, Jakarta, Rabu (20/8/2014).

Menurut Margarito, tidak ada cara lain untuk mengoreksi kinerja KPU selain menggugat ke MK agar melaksanakan pemilu yang jurdil.

"Jadi, persoalannya bukan menang-kalah, tapi cara untuk menang itu harus dikritisi. Kenapa dalam konstitusi Pasal 22 E UUD 1945 itu ada Jurdil, karena selama pemerintahan Orba itu berlangsung secara curang, bobrok, dan menghalalkan segala cara," kata Margarito.

Karena itu, kata Margarito yang juga menjadi saksi ahli Prabowo-Hatta, di situlah kunci MK untuk mengambil keputusan, termasuk soal daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) yang sepanjang tidak tertampung dalam DPT. 

"Jadi, BPKTb itu bukan dengan sesuka-sukanya. Kalau itu dibiarkan, itu namanya cara-cara bajingan. Memang kita ini mau menjadi bangsa bermartabat atau bangsat. Karena itu, pilpres yang konstitusional itu tidak ada hubungannya dengan angka-angka, dan TSM itu bukan ujuk-ujuk," pungkasnya kecewa.

Sementara saksi ahli KPU Zainal Arifin Mochtar mengatakan, MK harus menafsirkan secara tunggal dalam penjelasan terkait putusan konstitusional atau inkonstitusional gugatan yang disampaikan pasangan Prabowo-Hatta. 

"Dalam sejarah MK tugasnya terkait perhitungan suara yang benar atau salah, tapi dalam perkembangan menyangkut TSM dan apakah Pilpres konstitusional atau inkonstitusional. hanya saja, kalau inskonstitusional atau konstitusional tidak ditafsirkan secara tunggal, dan MK harus menjelaskan alasan-asalan hukumnya dengan benar," kata Zainal. 

Zainal mengakui jika kualitas Pilpres 2014 ini buruk dan mencerminkan bahwa sistemnya memang acak-acakan. Seperti suara terbanyak, yang terbukti banyak permainan politik uang (money politics), kecurangan, dan sebagainya.

"Memang banyak cacatnya, tak mungkin bagus 100 %. Tapi, selisih suaranya 8,4 juta, maka harus tahu suara yang gelembungkan atau dicuri itu dari mana, pemohon tak bisa menjelaskan," ujarnya.

Selain itu soal daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), menurut Zainal, DPKTb itu malah ada yang memenangkan Prabowo-Hatta. Juga mengenai TSM itu harus ada bukti adanya perintah langsung dari atasan dan masif, dan jumlah suaranya bisa memengaruhi hasil Pilpres.

"Ada kemungkinan MK akan memutus pemungutan suara ulang (PSU), tapi suaranya mesti pengaruhi hasil Pilpres. Kalau tidak, maka MK harus logis," kata Direktur Eksekutif Pukat UGM ini. 

Menurut Zainal,  KPU itu independen dan bisa membuat aturan apa saja selama sesuai dengan UU dan atau ketika terjadi kekosongan hukum dalam penyelenggaraan pemilu.

"Karena itu, kenapa pembukaan kotak suara itu dipersoalkan? Kalau pun ada yang melanggar itu bukan KPU, melainkan penyelenggara Pilpres di lapangan," katanya.

Editor: Surya