Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Manifesto Bara JP, Jangan Cemari Jokowi sebagai Kehendak Sejarah
Oleh : Redaksi
Selasa | 19-08-2014 | 09:12 WIB
PEMBUKAAN JOKOWI.jpg Honda-Batam
Jokowi mewakili penerimaan penghargaan "Negarawan Terpuji" untuk Megawati Soekarnoputri, dalam pembukaan Kongres Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP). (Foto: Istimewa).

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Partai-partai politik pendukung Jokowi-JK jangan mencemari Jokowi sebagai kehendak sejarah. Jokowi berutang kepada rakyat, bukan kepada partai politik mana pun.

Demikian manifesto politik Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) dalam penutupan Kongres 2014 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, pekan lalu. 

"Memposisikan Jokowi berutang kepada partai, akan mencemari perjuangan rakyat, dan sejarah," ujar Ketua Umum Bara JP, Sihol Manullang, Senin (18/8/2014).

Sihol mengatakan, kemenangan Jokowi-Jusuf Kalla adalah kemenangan rakyat. Bukan kemenangan partai atau komplotan elit! Partisipasi rakyat dalam berbagai level begitu maksimal. Kemunculan gerakan relawan merupakan bukti yang tak terbantahkan.

Mereka muncul bak cendawan di musim hujan -- sebagai abstraksi dari keseluruhan rakyat dan merupakan simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam berdemokrasi! Dalam perpanjangannya, hal ini sungguh membuktikan tesis "Jokowi adalah 'kehendak sejarah'" (Hargens, 2013).

Sebagai kehendak sejarah, kemenangan Jokowi merupakan atribut material dari sebuah perubahan substansial ke depan. Namun, tak bisa dibantah, ada gejala "kehendak sejarah" itu hendak disabotase dan disandera oleh kepentingan elit.

Mereka berbodong-bondong mendekati Jokowi untuk membajak posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Mereka hendak menjejali sejarah ini dengan kompromi kekuasaan sebagaimana biasa terjadi dalam habitus politik lama.

Dalam habitus lama, bagi kursi dalam sistem presidensial-multipartai tak semata hak prerogatif presiden. Alokasi kekuasaan mempertimbangkan eksponen lain seperti kepentingan partai dan kompromi ekonomi.

Partai besar biasa mendapatkan lahan empuk di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mencakup bidang penting, antara lain minyak, gas, geotermal, dan pertambangan. Sementara, partai menengah mendapat lahan kecil seperti Kementerian Pertanian.

Tak heran, korupsi di sektor ini hanya melibatkan skop petinggi partai tertentu. Elite lama telah membagi Republik ini ke dalam zona kekuasaan dan ekonomi partai. Zonasi dan pengkaplingan ini mirip 'modus operandi' mafia perkotaan yang biasa membagi wilayah perampokan dan penjarahan.

Habitus Baru
Jokowi adalah simbol dari kebangkitan habitus baru perpolitikan Indonesia. Habitus baru yang ditandai oleh kebangkitan ‘masyarakat warga’ ('buergeliche Gesellschaft') dalam memperjuangkan kebaikan umum, 'bonum commune' dan kemunculan kepemimpinan politik yang berbasiskan semangat keadilan dan keberpihakan rakyat, terutama pada kaum tertindas yang disebut 'the disinherited' dalam bahasa Franz Fannon atau 'mustadha'fin' dalam bahasa Ali Syari'ati.

Habitus baru ini adalah kondisi yang memungkinkan nilai baik demokrasi terwujud dan eksistensi rakyat sebagai subyek benar-benar sesuatu yang luhur dalam tatanan demokrasi. Di dalamnya, kemiskinan dan ketertindasan, kemelaratan dan ketergusuran, adalah musuh kemanusiaan yang harus diakhiri. Kepemimpinan politik habitus baru meretas jalan untuk perubahan itu.

Koalisi Kerakyatan
Sebagai konsekuensi, model pemerintahan yang akan dibangun adalah pemerintahan rakyat. Koalisi politik dalam pemerintahan dan parlemen adalah koalisi kerakyatan. Bukan koalisi elitis dan bagi-bagi jatah! Sistim presidensil-multipartai memang sangat rentan dengan koalisi gemuk untuk mengamankan kekuasaan presidensial.

Bersatunya masyarakat sipil, dan bergeraknya relawan militan seperti Baja JP, juga tak lepas dari niat baik mengawal pemerintahan Jokowi-JK dan mencegah sabotase politik oleh elite partai. Kenapa? Karena koalisi elit akan berdampak logis pada pembagian kue kekuasaan. Apalagi jika presiden dipaksa untuk parlemen-sentris, seolah-olah kekuataan parlemen sebagai satu-satunya kekuatan politik yang perlu didekati dan diwaspadai. Berpikir parlemen-sentris menyebabkan hak prerogatif untuk membangun pemerintahan (kabinet, dll) potensial tersandra kepentingan partai koalisi. Kami tidak ingin ini terjadi. "Kami juga percaya, Jokowi tidak menghendaki hal itu."

Kehidupan bangsa ini masih penuh tanda tanya, di segala matra atau dimensi. Matra ekonomi ditandai cerita kemiskinan, elegi kesenjangan sosial, litani perampokan negara oleh mafia, dan mismanajemen pengelolaan sumber daya alam. Politik didominasi oligarki dan kartel politik sehingga korupsi subur sebagai 'modus vivendi', cara mereka bertahan hidup. Hukum kehilangan supremasi. Di aras sosial, pameran kekerasan menjadi tontonan kejam yang tak terhindarkan. Keberagaman dijadikan masalah sedangkan negara selalu diam sehingga minoritas terus ditindas.

Untuk memperkuat pemerintahan presidensial Jokowi, dan dalam rangka konsolidasi demokrasi Indonesia ke depan, relawan perlu memperkuat diri sebagai organisasi massa (ormas). Dengan metamorfosa relawan menjadi ormas, ada pergeseran dan perluasan kekuatan di dalamnya. Relawan tak lagi kumpulan rakyat yang memperjuangkan kemenangan elektoral melainkan persatuan rakyat yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi proses politik. Ormas bisa melakukan tekanan dan penguatan politik apabila presiden dijepit dan ditekan oleh pragmatisme partai politik di parlemen maupun dalam pemerintahan.

Konsensus Rakyat
Persatuan relawan dan konsolidasi masyarakat sipil merupakan kekuatan baru yang akan menjadi tumpuan dan benteng bagi pemerintahan Jokowi. Lebih dari sekedar urusan temporal kekuasaan 5 tahunan, konsolidasi masyarakat sipil ini merupakan artikulasi tertinggi dari upaya membangun konsensus rakyat. Masyarakat sipil yang kuat akan menjadi agen demokrasi potensial dalam menjaga pemerintahan demokratis berjalan dalam koridor yang benar.

Konsekuensinya, Jokowi tak perlu takut dengan ancaman DPR karena roh domokrasi adalah 'civil society'. Kekuatan relawan yang memenangkan pilpres pada 9 Juli 2014 sudah menjadi preseden kuat bahwa Jokowi datang dari dan akan selalu bersama dengan rakyat. Relawan-relawan ini ke depan menjadi pilar masyarakat sipil yang solid untuk mengontrol kinerja pemerintahan dan kinerja parlemen. Di tengah rendahnya kepercayaan rakyat terhadap DPR akibat korupsi dan rendahnya kinerja parlemen, relawan menjadi tulang punggung dan keterlibatan mereka adalah wujud dari konsensus rakyat dalam pemerintahan.

Karena konsolidasi demokrasi tercapai apabila 'civil society' bermain peran dalam mengendalikan kekuasaan, maka civil society harus aktif terlibat  dalam mengawasi dan menjaga kekuasaan demokratis. Kekuasaan politik harus diarahkan sepenuhnya selalu pada perkara nasib dan kepentingan hajat hidup orang banyak. Peran relawan sebagai simbol masyarakat sipil adalah menjembatani elite dan rakyat, menjadi penyambung lidah non-partai. Kalau partai terjebak kepentingan sektoral, relawan harus berdiri di atas semua sektor dan berbicara atas nama rakyat.

Mengutip filsuf politik Jerman, Hannah Arendt, kekuasaan dibutuhkan untuk menjaga ruang publik. Ruang publik merupakan tempat bagi setiap individu untuk melakukan tindakan politis karena ruang publik merupakan ruang penampakan di mana warga negara bertemu dan membahas berbagai masalah kenegaraan. Politik dengan demikian tidak diinstrumentalisasi untuk kepentingan lain seperti pengejaran nafsu dan dominasi parsial. Instrumentalisasi seperti itu hanya akan melahirkan banalitas politik.  Dalam kondisi tak ada komunikasi politik, yang ada hanya hasrat mencari kekuasaan.

Tindakan politis tidak dapat dibayangkan tanpa ada orang lain sehingga keberadaan orang lain penting dan harus selalu ada ruang untuk komunikasi. Dalam konteks tindakan ini, 'civil society' harus bisa menempatkan tindakan politis dalam kerangka komunikasi. Itu berarti, 'civil society' harus gelisah dengan adanya gejala sosial-politik dan mengadvokasi kepentingan rakyat. Dia harus memperjelas kawan yang harus dibela dan musuh yang perlu disingkirkan. Dalam arti ini, civil society tidak boleh netral, karena posisi netral memberi ruang bagi yang berkuasa untuk menindih yang lemah.

Masyarakat Warga sebagai Garda Jokowi 
Ranciere (2006) mengatakan, demokrasi adalah daya (power) untuk mematahkan dominasi kelompok elit oligarkis karena mereka berusaha melanggengkan 'status quo' kekuasaan. Dominasi kelompok elit ini akan menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat.

Maka, demokrasi dalam arti daya hadir sebagai solusi untuk menghancurkan ketidaksetaraan yang dibangun oleh kaum elite dan itu hanya bisa diperjuangkan oleh 'civil society' atau masyarakat warga dalam bahasa Hegel. Inilah dasar kenapa Bara JP muncul dan akan selalu bergerak bersama Jokowi dalam membela kepentingan rakyat ke depan.

Bara JP sebagaimana kelompok relawan lain merupakan garda terdepan, sebagai simbol masyarakat sipil, dalam mengawal dan mendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Kami hadir sebagai tanda bahwa pemerintahan ini ke depan akan selalu bersama "masyarakat warga" mewujudkan teleologi demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pusat dan tujuan kekuasaan.

Editor: Dodo