Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Aborsi Hanya Boleh untuk Darurat Medis dan Korban Perkosaan
Oleh : Redaksi
Jum'at | 15-08-2014 | 10:09 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, menegaskan, pemerintah tidak akan pernah melegalkan praktik aborsi, kecuali untuk kondisi tertentu. Selain itu, pemerintah juga tidak pernah menerbitkan PP tentang praktik aborsi, sementara PP Nomor 61 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014 adalah tentang Kesehatan Reproduksi.

Nafsiah menjelaskan, aborsi sebagaimana yang diatur dalam PP tersebut, menyatakan, aborsi hanya bisa dilakukan untuk dua hal, yaitu yaitu untuk kedaruratan medis misalnya nyawa ibu atau janin terancam, serta pengecualian kedua untuk korban perkosaan.

"Tidak boleh ada aborsi kecuali untuk kedua alasan itu," kata Nafsiah kepada wartawan di kantor kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8/2014) yang dikutip dari laman setkab.go.id.

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Meskipun praktik aborsi diperbolehkan untuk korban perkosaan, namun persyaratannya harus dipenuhi.

Berdasarkan PP Nomor 61/2014, tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Selain itu usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan harus dibuktikan oleh surat keterangan dokter serta keterangan penyidik, psikolog atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan.

Terbitnya PP tersebut merupakan tindak lanjut dari penerapan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, khususnya Pasal 75 Ayat (1) yang ditegaskan, bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis, dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Sementara, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, menyetujui aborsi bagi korban pemerkosaan. Menurut dia, wanita yang menjadi korban pemerkosaan harus diberi perlindungan.

"Kalau pendekatan medis, saya kira wajar dan itu universal," kata Amir yang dikutip Tempo.

Mengenai hak asasi untuk mengaborsi janin, Amir berpendapat, korban pemerkosaan juga membutuhkan perlindungan HAM. "Kan, tidak berdasarkan keinginan dia (diperkosa). Anda bisa bayangkan seseorang yang jadi korban pemerkosaan seperti apa," katanya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memperbolehkan aborsi asal harus memenuhi kebutuhan atau hajah. Kebutuhan itu juga menggambarkan kedaruratan.

Dikutip dari Republika, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof Hasanudin AF, menjelaskan, aslinya hukum aborsi itu haram. Tindakan ini tidak boleh dilakukan semaunya. Wanita yang hamil normal, termasuk di dalamnya hamil karena perzinahan, tidak boleh mengaborsi kandungannya.

"Alasan tersebut tidak menggambarkan dhoruriyyah atau kepentingan atau keterdesakan untuk mengaborsi kandungan," imbuh Hasanudin kepada Republika.

Hal berbeda berlaku bagi wanita korban pemerkosaan. Bagi mereka, MUI menilai bisa saja dilakukan aborsi. Aborsi ini dilakukan sebelum kandungan mencapai usia 40 hari. "Ini penting, karena kalau sudah masuk 40 hari, janin itu hidup," paparnya. Hal ini dinilainya sangat mendasar, sehingga penting untuk diperhatikan.

Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi, menjelaskan tindakan aborsi diperbolehkan jika perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter. Kemudian, dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.

Fatwa itu memaparkan keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama. (*)

Editor: Roelan