Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dua Jenderal Kubu Prabowo-Hatta Desak BIN Usut Keterlibatan Oknum Polri dalam Pilpres
Oleh : Surya
Rabu | 13-08-2014 | 19:44 WIB
Yunus Yosfiah.jpg Honda-Batam
Yunus Yosfiah

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dua Jenderal pendukung Prabowo-Hatta, Djoko Santoso dan Muhammad Yunus Yosfiah, mendesak Badan Intelejen Negara (BIN) mengusut keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam Pilpres 9 Juli 2014 lalu.


Hal itu sebagaimana terungkap dalam kesaksian sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), yang diungkapkan oleh saksi Prabowo-Hatta dari Papua pada Selasa (12/8/2014) lalu. Bahkan setelah memberikan kesaksian Novela dan kawan-kawan mendapat ancaman dari kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Karena itu, mereka meminta perlindungan ke Djoko Santoso dan Junus Yosfiah, hingga akhirnya untuk sementara tinggal di rumah mantan KSAD itu.


"Novela dkk mendapat ancaman dan ketakutan untuk pulang, sehingga sementara ini meminta pengamanan dan saya silakan untuk tinggal di rumah," tegas Djoko Santoso pada diskusi 'Kecurangan Pilpres 2014' di Jakarta, Rabu (13/8/2014).

Hadir dalam diskusi tersebut, antara lain tim advokasi Prabowo-Hatta Razman Arif dan guru besar fakultas hukum Universitas Hasanuddin Juajir Sumardi.

Selain adanya keterlibatan aparat kepolisian, kata Djoko, juga ada keterlibatan asing. Dalam pilpres memang bukan saja masalah menang kalah, melainkan kalau sampai asing terlibat berarti kadaulatan negara ini telah terinjak-injak.

"Apalagi kata Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pilpres ini telah terjadi pelanggaran konstitusi. Kalau konstitusi ini dilanggar, lalu ada apa dengan negara ini," ujarnya prihatin.

Menurut mantan KSAD itu, dalam Pilkada sampai Pilpres sekarang ini juga mempertegas adanya kelompok kapitalis yang mendominasi dan berkuasa atas pergantian kekuasaan dari daerah sampai pusat.

 "Itu namanya politik oligopoli, apakah lalu kita biarkan? Apalagi sampai melanggar konstitusi?" tanya Djoko lagi.

Ditambah lagi lanjut Junus Yosfiah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melanggar UU Pilpres No.42/2008 khususnya pasal 188, 255, dan 256 tentang perhitungan cepat atau quick count (QC), yang dilarang diumumkam, malah dua jam sebelum perhitungan KPU dimulai, banyak QC yang mengumumkan dan langsung disambut kemenangan oleh pasangan Jokowi-JK.

“Padahal, pelanggaran pidana itu sanksinya 18 bulan penjara. Kapolri juga pernah mengatakan di televisi, saat pengumuman Pilpres di KPU 22 Juli 2014 lalu, beliau mengatakan kalau sudah kalah, ya terimalah. Apa maksud Kapolri menyatakan seperti itu? Belum lagi ada oknum Polri yang bertemu dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati pada sore hari di bulan puasa. Juga di Kalimantan Tengah yang melibatkan mantan Kapolda. Itu semua harus diusut, karena sangat berbahaya bagi demokrasi," ungkapnya.

Di Cilincing, Jakarta Utara, kata mantan Panglima TNI, misalnya sebanyak 265 kotak suara dibuka tanpa saksi dan pembuka suara sekarang menghilang, dan saksi Prabowo-Hatta mendapat ancaman.

"Jadi, saya meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan BIN mengusut semua keterlibatan oknum aparat tersebut karena selama 69 tahun merdeka, ternyata masih banyak ancaman, intervensi asing, dan keterlibatan aparat dalam politik," pungkasnya.

Editor: Surya