Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Prabowo dan Jokowi Tak Jelaskan Akar Krisis Energi, Pangan, dan Lingkungan
Oleh : Redaksi
Selasa | 08-07-2014 | 07:34 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Greenpeace menilai kedua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden belum menjelaskan penyelarasan pembangunan ekonomi keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan pada debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden bertema Pangan, Energi dan Lingkungan pada 5 Juli 2014. Baik pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa dan Joko Widodo - Jusuf Kalla tidak menjelaskan dan menjawab akar masalah krisis energi, pangan, dan lingkungan.

"Tidak mungkin mempertahankan pertumbuhan ekonomi di dalam lingkungan hidup yang terdegradasi. Sayang sekali kandidat tidak menggunakan momen ini  untuk menggambarkan konsep dan strategi untuk membangun keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan secara konkrit dan tegas," kata Longgena Ginting yang dikutip dari rilis resmi Greenpeace.

Dia mencontohkan Prabowo Subianto justru mengatakan masyarakat perlu diberi pendidikan agar tidak merambah hutan. Padahal pendorong utama kerusakan hutan adalah ekspansi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri skala besar.

Meski demikian Longgena mengapresiasi komitmen Prabowo untuk memberi sanksi keras terhadap korporasi perusak hutan. Menurutnya hal ini membutuhkan pengujian dalam implementasi penyelesaian kasus kebakaran hutan, korupsi sumber daya alam, serta konflik pengelolaan sumberdaya alam.

Sementara itu kebijakan satu peta (one map policy) yang dilontarkan Joko Widodo dinilai sebagai satu langkah baik menuju transparansi kehutanan. Meski bukan ide baru, tetapi selama ini belum ada yang mengimplementasikan kebijakan satu peta.

"Namun, komitmen penyelesaian tumpang tindih perijinan di kawasan hutan seharusnya diawali dengan memperkuat dan memperpanjang kebijakan morarium yang akan berakhir pada Mei 2015, termasuk review perizinan yang ada saat ini sehingga bisa sejalan dengan ide one map policy," jelas Longgena.

Hal lain yang harus diapresiasi dalam debat semalam adalah prioritas diversifikasi energi dari sektor energi baru terbarukan (EBT). Pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa telah menjabarkan langkah peningkatan EBT yang lebih konkrit melalui insentif dan sistem feed in tarif.

Pasangan ini juga memiliki target yang jelas, yaitu lebih dari 25 persen pada 2030. Bahkan Hatta juga mengungkapkan ketergantungan terhadap energi fosil adalah langkah jangka pendek, sudah saatnya Indonesia beralih pada EBT.

Sementara Joko Widodo dan Jusuf Kalla ingin mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) dengan perbaikan transportasi massal di kota-kota besar sebagai salah satu solusi efisiensi penggunaan energi dan subsidi.

Namun Longgena mencatat kedua pasangan masih mengandalkan pengembangan energi fosil melalui eksplorasi dan eksploitasi sumur baru, dan mengaktifkan sumur-sumur tua. Menurutnya transisi dari energi fosil menuju energi bersih terbarukan perlu segera dijalankan.

"Jokowi - JK belum melakukan penjabaran teknis tentang pembangunan rendah karbon yang seharusnya bisa menjadi prioritas baru untuk pembangunan ekonomi Indonesia masa depan. Prabowo - Hatta hanya melihat masalah ini dari segi pertumbuhan penduduk, tetapi masih belum menyoroti bahwa over-eksploitasi SDA Indonesia secara besar-besaran adalah penyumbang utama kerusakan alam Indonesia," tegas Longgena. (*)

Editor: Roelan