Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Sayangkan Putusan MK soal Pilpres
Oleh : Surya Irawan
Senin | 07-07-2014 | 16:00 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Pilpres yang mengabaikan suara daerah dengan menghilangkan keterwakilan suara rakyat di daerah seperti dijelaskan dalam ayat 3 dan 4 UU Pilpres.

Di mana 20 persen suara di setidaknya di 50 persen wilayah Indonesia itu sebagai langkah untuk mengawal NKRI. Karena itu, suara sekecil apapun meski di daerah terpencil di luar Jawa itu sangat penting.

"Saya prihatin dengan putusan MK yang membatalkan 20 persen suara di minimal 50 persen wilayah seluruh Indoensia. Padahal, itu untuk konsolidasi kebhinnekaan, di mana demokrasi itu tak saja menghitung satu kepala satu suara. Orang-orang MK jangan merasa paling benar," tegas Farhan Hamid dalam diskusi 'Mencari Pemimpin Bangsa' bersama pengamat politik UI Maswadi Rauf, dan Anwar Arifin dari Unhas Makassar di Gedung DPR RI Jakarta, Senin (7/7/2014).

Di internal MPR RI sendiri kata Farhan Hamid, merasa kecewa dengan cara pandang putusan MK tersebut, namun karena menjelang hari pencoblosan, maka MPR RI tidak mau memperkeruh keadaan.

"Semoga nanti ada jalan lain dari presiden terpilih untuk memperhatikan kebhinnekaan yang dimaksud dalam UU Pilpres itu," ujarnya.

Karena itu, MPR RI mengundang tujuh lembaga tinggi negara (Presiden, DPR RI, MPR RI, DPD RI, BPK, MK, dan KY) untuk mewujudkan Pilpres yang damai pada Senin (7/7/2014) sore ini.

"Kita harapkan masyarakat tidak terpengaruh dan terprovokasi kondisi politik yang memanas, dan semua harus bertekad mulai sekarang untuk 'Selamatkan Indonesia'," pungkasnya.

Hal yang sama diungkapkan Maswadi Rauf, jika putusan MK itu tidak sensitif suara di luar Jawa.

"Putusan MK terlalu maju, padahal untuk demokrasi di Indonesia, suara daerah itu harus dipertahankan karena samapai kapanpun tak akan pernah berakhir, dan itu bisa diperbaiki oleh presiden terpilih nanti," tuturnya.

Dengan begitu kata Anwar Arifin, tak ada lagi harapan bagi suara dari luar Jawa. Padahal, suara dari luar Jawa itu mencapai 30 persen, dan ini mengabaikan ancaman NKRI.

"Waktu menyusun UU Pilpres pun butuh waktu lama dan sangat berhati-hati karena mempertimbangkan NKRI, maka ke depan itu perlu dikaji lagi," pungkasnya.

Editor: Dodo