Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemimpin Tak Harus Lahir dari Pendidikan Politik
Oleh : Surya
Jum'at | 27-06-2014 | 07:05 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pakar hukum tata negara Unversitas Padjajaran Margarito Kamis menegaskan, pemimpin politik termasuk capres-cawapres tidak harus lahir dari proses pendidikan formal prosedural.

Sebab, tidak ada sekolah kepemimpinan politik secara formal, kalaupun ada itu sifatnya informal terbatas pada forum-forum diskusi. Pemimpin itu lahir dari proses kontroversial terhadap kondisi sosial politik yang dihadapi, sehingga pemimpin itu benar-benar lahir dari rakyat dan untuk rakyat, bangsa, dan negara.

"Jadi, kalau partai merupakan pilar demokrasi yang menentukan proses kepemimpinan nasional, maka parpol harus didorong untuk melakukan pendidikan untuk melahirkan pemimpin yang beretika, bercita-rasa, jujur, bermartabat, dan dihormati. Tapi, faktanya politik itu menghalalkan segala cara sehingga memunculkan slogan NPWP (nomor piro wani piro?)," kata Margarito dalam diskusi 'Etika Politik dalam Kepemimpinan Nasional' di Jakarta, Kamis (26/6/2014).

Menurut Margarito, karena mengeyampingkan etika dalam politik, maka lahirlah penguasa (bukan pemimpin) yang dzalim, korup, tidak melayani, tidak punya kepedulian dan keadilan, serta kekuasaannya dijalankan sesuai prosedur hukum, legal formal saja.

"Di luar itu, ketika negara dalam bahaya, penguasa ini tak mampu mencari jalan keluar dari bahaya yang mengancam negara itu sendiri, dan tak tahu batas-batas yang tak terlihat," katanya.

Margarito menilai, ada terminologi seorang pemimpin dengan penguasa dalam prakteknya. Sebab, kalau pemimpin bertindak dan berbuat atas rasa keterpanggilan, tanggung jawab, kepedulian, dan sebagainya. Tapi, sebaliknya penguasa itu selalu bertindak atas kewenangan, kekuasaan yang dimilikinya, dan berpegang pada teks-teks hukum dan aturan. "Penguasa tak bisa keluar dari teks-teks itu," ujarnya.

Sedangkan pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengatakan, pemimpin yang muncul sekarang ini adalah pemimpin yang bertanggungjawab adalah partai politik, bukan rakyat.

"Karena itu, partai yang harus direformasi agar menggodok calon pemimpin yang berkualitas, kapabel, kapasitas, dan berintegritas karena partai itu sebagai pilar demokrasi. Karena itu kalau sampai ada politisi kutu locat dianggar wajar, ini berarti blunder bagi negara," kata Siti Zuhro.

Siti menilai pemimpin sekarang memiliki sifat 'kutu loncat' untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kutu loncat dalam politik itu bukan hal yang sepele, remeh-temeh, dan enteng, karena akan berdampak pada berbagai pemerintahan, legislatif dan yudikatif teruama di DPR yang membuat undang-undang, anggaran dan pengawasannya yang akan menjalankan secara pragmatis dan oportunis.

"Itulah yang menjadikan oligarki dan dinasti politik. Padahal, harus mengedepankan etika, keteladanan, konsisten dan komitmen antara ucapan dan perbuatan agar melahirkan sosok pemimpin yang diharapkan rakyat," katanya.

Karena itu, lanjut Siti, siapa capres yang paling konsisten dan komitmen dalam debat capres sekarang ini, maka itulah yang layak memimpin Indonesia ke depan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.

"Biasanya capres yang akan terpilih adalah merupakan antitesa dari presiden yang sekarang. Semoga saja kontestasi ini pemilu sebagai koreksi terhadap proses kepemimpinan khususnya etika yang mulai ditinggalkan. Nilai-nilai itu yang harus digaungkan dalam debat capres," katanya.

Editor : Surya