Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemimpin Semestinya Memberi Rasa Aman bagi Anak Bangsa
Oleh : Opini
Selasa | 17-06-2014 | 12:08 WIB

Oleh Rahmad

ADA UNGKAPAN yang dilansir oleh Kantor Berita Antara (25/1/12), yakni "Naik Transjakarta takut pelecehan seksual. Naik kereta takut dicopet. Naik angkutan umum takut diperkosa. Eh, jalan kaki pun ditabrak." Kini kekuatiran dan keresahan masyarakat semakin meningkat berkenan dengan merebaknya kekerasan. Khusunya kekeresan terhadap anak-anak dengan berbagai macam modusnya.

Belum selesainya kasus pelecehan seksual terhadap anak TK di Jakarta International School (JIS), Sukabumi dikejutkan dengan 'sodomi emon' yang memakan korban ratusan anak. Tewasnya 'Renggo Khadafi', siswa kelas 5 SDN 09 Makassar, Jakarta Timur.

Di kota penulis-pun diberitakan seoarang siswa kelas V SD diporkosa oleh delapan pemuda (Metro Riau, 21/05/14). Kekerasan dengan beragam bentuknya silih berganti terjadi di wilayah Indonesia. Munculnya kekerasan dengan beragam bentuknya, mempertanyakan kembali konsep ideal Indonesia sebagai negara berkemanusian yang adil dan beradab.

Anak-anak adalah rahmat Ilahi yang terindah dari sebuah insitusi perkawinan. Anak-anak bukan hanya sekedar buah hati yang menjadi perekat sebuah perkawinan, namun melekat padanya harkat, martabat dan haknya sebagai manusia yang dijungjung tinggi. Anak-anak  juga bukan hanya sekedar generasi sebuah keluarga, namun anak-anak adalah generasi penerus sebuah bangsa.

Anak-anak adalah aset yang sangat besar dalam potensinya sebagai sumber daya manusia yang akan menjadi estafet pembangunan bangsa dan negara masa yang akan datang. Pada paradigma ini, dimana anak-anak memiliki keterbatasan fisik ataupun psikis dalam pertumbuhannya, seharusnya mendapat perhatian, dukungan, dan perlindungan yang memadai dari berbagai pihak, seperti keluarga, lingkungan sekitarnya (masyrakat) dan negara.

Dalam tataran internasional, Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berdasarkan resolusinya no.44/23/tahun 1889 menetapkan hak anak-anak yang mencakup: 1. Perlindungan ( Protection), 2. Kelangsungan Hidup (Survival), 3. Perkembangan ( Devolempent). Pemerintah sendiri menjadi bagian dari negara yang meratifikasinya melalui Keppres No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Right Of The Child).

Dalam konsitusional negara ini, pada pasal 28B ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 berbunyai, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi." Begitupula instrumen tentang hukum yang dimiliki pemerintah yang memberlakukan berbagai macam perundang-undangan yang memberikan perlindungan terhadap anak. Diantaranya Undang-undang Perlindungan Anak Nomor: 23/2002 dan UU NO. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU No. 11 /2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Adanya beragam instrumen yang memberikan perhatian dan dukungan terhadap anak, sesungguhnya ditujukan untuk anak-anak dalam memperoleh perlindungan yang memadai. Dalam konteks ini, anak-anak dikatagorikan sebagai kelompok yang sangat rentan (vulnerable grups ). Pengertian kelompok rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyrakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenan dengan kekhususanya.

Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, anatara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.

Menguatnya hak asasi manusia secara tekstual konstitutif, tidak serta merta kerangka normatifnya akan memberikan jawaban tuntas atas kerangka implementatifnya. Justru sebaliknya, sebagaimana diingatkan oleh Baxi (2002) dalam The Future of Human Rights, "Jumlah rakyat yang kehilangan hak-hak juga meningkat justru ketika standar dan norma hak asasi manusia kian lengkap. Semakin banyak orang yang berdiri memberkati kerangka normatif hak asasi manusia melalui instrumen konstitusional dan internasional, semakin meluas dan menajam lahirnya penderitaan rakyat yang secara eksistensi tersingkirkan perwujudan dan penikmatan hak-hak asasi manusianya.”

Oleh sebab itu, penting untuk terus menerus dikoreksi, tidak saja secara konsepsional dan pengaturannya, tetapi tantangannya justru bagaimana negara mampu dan berdaya untuk mengimplementasikannya.

Penjelasan di atas memberikan inspirasi bahwa sudah saatnya pemimpin negara, yang saat ini sedang dicari melalui proses demokrasi, memiliki sikap terhadap perlindungan terhadap anak untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, berkualitas, berakhlak mulia.

Penulis adalah Ketua Cabang GMNI Pekanbaru/ Mahasiswa UIN Suska Riau.