Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menakar Efektivitas Black Campaign
Oleh :
Sabtu | 07-06-2014 | 12:47 WIB

Oleh: Natanael Siagian

MENJELANG pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014 mendatang, banyak beredar black campaign. Kedua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sama-sama mengaku mendapatkan serangan black campaign tersebut. Kampanye hitam tersebut diakukan lewat media cetak sampai media elektonik.

Isu yang dimunculkan juga berbeda-beda. Mulai dari isu yang tergolong biasa hingga  soal SARA (Suku, Agama, dan Ras) dan bahkan isu meninggal dunia. Sejak tahun 2013 yang lalu, dimana saat itu sudah mulai bermunculan nama-nama bakal calon Presiden hingga saat ini dimana calon Presiden dan wakil Presiden sudah ditetapkan KPU RI, intensitas black campaign cenderung meningkat.

Menurut Leslie B. Snyder (Gudykunst & Mody, 2002), kampanye didefenisikan sebagai A communication campaigns is an organized communication activity, directed at a particular audience, for a particular period of time, to achieve a particular goal (Kampanye adalah tindakan komunikasi yang terorganisasi yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu guna mencapai tujuan tertentu). Sehingga berdasarkan pengertian kampanye tersebut, Black Campaign atau kampanye hitam dapat diartikan sebagai sebuah upaya untuk menyebarluaskan isu-isu tertentu dengan harapan mampu mempengaruhi opini publik untuk tidak memilih tokoh atau partai tertentu.

Berbicara black campaign, sebenarnya tidak akan pernah terlepas dari konsep negara demokrasi yang kita terapkan. Demokrasi memang memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengeluarkan pendapat. Kebebasan berpendapat itu juga telah diatur secara tegas pada pasal 28 UUD 1945. Tetapi kebebasan tersebut kemudian banyak yang disalahgunakan sehingga justru melanggar peraturan yang berlaku.

Black campaign adalah bagian dari pendapat yang tanpa didasari fakta yang sesungguhnya dan bertujuan untuk menyerang dan menjatuhkan tokoh  tertentu atau lawan politiknya. Kondisi sebagian masyarakat yang masih mudah terprovokasi dianggap menjadi alasan mengapa Black Campaign masih ada. Di samping rendahnya kualitas moral dan pemahaman komunikasi politik si penyebar Black Campaign tersebut.

Merujuk pada Undang-Undang Pemilu Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebenarnya sudah jelas diatur tentang larangan dalam berkampanye. Pada pasal 41 Undang-Undang Pilpres tersebut dengan jelas telah menegaskan bahwa kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain, menghasut dan mengadu domba. Sehingga sangat jelas bahwa black campaign dilarang oleh undang-undang.

Seberapa Efektifkan Black Campaign itu ?

Melihat maraknya Black Campaign disetiap pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, pertayaan pentingnya adalah, seberapa efektifkah sebenarnya Black Campaign tersebut ? Jawaban dari pertanyaan ini penting bagi masyarakat luas yang tentunya akan menjadi korban provokasi black campign dan juga bagi si penyebarnya.

Dari berbagai pengalaman hasil Pemilu sebenarnya Black Campaign tidak begitu efektif dalam mempengaruhi pilihan masyarakat. Ada banyak tokoh yang dulunya korban black campaign tetapi kemudian mampu menang dengan persentasi suara yang fantastis. Contohnya Presiden Amerika Serikat Barrack Obama yang terpilih menjadi Presiden. Barrak Obama saat itu banyak diserang Black Campaign. Tetapi kemudian terbukti kalau hal tersebut tidak signifikan dalam mempengaruhi pilihan masyarakat Amerika Serikat.

Dalam pemiliham calon legislatif pada 9 April dan pemilihan kepala daerah diberbagai tempat beberapa waktu lalu, juga banyak beredar black campaign. Tetapi kemudian terbukti tidak signifikan. Kualitas personal dan kepercayaan terhadap tokoh tertentu tetap menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan.

Pakar komunikasi politik Prof. Tjipta Lesmana dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun TV swasta nasional menyatakan bahwa hampir semua penelitian menyimpulkan bahwa black campaign tidak efektif, kalaupun ada minor atau tidak signifikan efeknya. Menurut Tjipta, hasilnya malah bisa berbalik, menimbulkan back fire effect yang menampar muka sendiri. Untuk itu Prof. Tjipta menyarankan pelaku black campaign agar membaca dulu buku-buku komunikasi, belajar dulu komunikasi politik.

Pengamat politik Universitas Indonesia Boni Hargens pada kesempatan yang sama, juga sependapat bahwa kampanye hitam justru bisa menyerang balik karena masyarakat kita bersifat sentimental, bersimpati terhadap korban. Menurut Boni, masyarakat juga sudah cerdas dan tidak akan begitu saja mengubah preferensi politik.

Dalam sebuah pertandingan, memberitahukan atau mencari tahu kelemahan lawan tanding adalah sebuah hal yang wajar. Hal inilah yang disebut sebagai negative campaign. Masyarakat butuh referensi dalam menentukan pilihan, kalaupun kemudian informasinya didapatkan dari negative campaign, sebenarnya sah-sah saja dalam dunia perpolitikan. Yang dilarang itu adalah black campaign.

Kelemahan, prestasi serta rekam jejak calon pemimpinya perlu diketahui masyarakat. Masyarakat tentunya akan memilih yang terbaik diantara yang baik. Tetapi kalau kemudian ada orang atau tim yang berkampanye dengan menyebarkan fitnah yang merupakan bentuk dari black campaign, tentu ini tidak diperbolehkan di Republik ini. Bahkan si penyebar tersebut harus diproses sesuai dengan aturan yang berlaku supaya menjadi pembelajaran.

Berdasarkan berbagai penelitian, black campaign cenderung dilakukan oleh orang atau tim yang tidak percaya diri untuk memenangkan pemilihan tertentu. Sehingga memilih menggunakan cara-cara lain dalam menjatuhkan lawan tandingnya di mata publik. Penyebar black campaign biasanya akan berharap masyarakat berpaling kepada tokoh terntentu lewat opini yang dibangun secara massif.

Akibat Rendahnya Pemahaman Komunikasi Politik
Melihat persoalan ini, pemahaman politik yang hakiki menjadi hal yang sangat penting bagi semua pihak. Bahwa politik itu bertujuan suci adalah hal yang harus disadari dan dicamkan. Pemahaman komunikasi dalam berpolitik juga menjadi kebutuhan bagi para politisi dan tim sukses calon presiden kedua belah pihak.

Masyarakat pastinya menginginkan sebuah proses yang berkualitas. Dan proses yang benar akan melahirkan pemimpin yang berkualitas juga. Maka black campaign harus diakui dan disadari sebagai sebuah pembelajaran politik yang menyimpang bagi masyarakat luas. Sehingga tidak perlu dilakukan dan harus dihentikan.

Dalam menyambut Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, masyarakat diharapkan untuk tidak terpengaruh oleh kampaye-kampaye hitam yang semakin marak. Biarlah masyarakat yang akan menilai dan memutuskan Capres pilihannya sendiri dengan sadar dan berdasarkan berbagai pertimbangan.

Banyak sumber referensi seperti buku dan melalui media internet yang bisa menjadikan masyarakat lebih mengenal dengan sosok kedua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Republik Indonesia tersebut. Masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas, bukan pemilih korban provokasi black campaign.

Penulis adalah Wakil Sekretaris DPD GAMKI Kepulauan Riau, Mantan Ketua BPC GMKI Batam dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Batam