Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bangsa Ini Jangan Pernah Remehkan 'Bullying School'
Oleh : Opini
Senin | 19-05-2014 | 09:34 WIB

Oleh Shinta TMS

PADA KENYATAANNYA permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini justru salah satunya adalah dalam dunia pendidikan. Belakangan ini banyak sekali muncul kejadian dan peristiwa yang mencemarkan dunia pendidikan itu sendiri.

Pada tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bullying di sekolah dalam masa orientasi sebagai suatu sikap yang telah keluar dari nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan pendidikan. Sikap Presiden ini menunjukkan perhatian khusus terhadap maraknya praktik bullying dalam masa orientasi sekolah. Hal itu disampaikan Presiden menaggapi aksi kekerasan dalam masa orientasi sekolah, khusus peristiwa bullying pada SMA Don Bosco, Jakarta.

Tahun ini, kita dikejutkan dua peristiwa terkait dengan bullying yaitu tewasnya murid Dimas Dikita Handoko (19), taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Marunda, Cilincing, Jakarta Utara setelah dianiaya tujuh orang seniornya. Mirisnya lagi bullying juga menimbulkan korban Renggo Khadafi, siswa yang masih duduk di kelas V SDN Makasar 09 Pagi, Jakarta Timur. Tewasnya korban diakibatkan oleh penganiayaan yang dilakukan oleh kakak kelasnya, setelah korban tanpa sengaja menjatuhkan makanan milik pelaku.

Bullying School
Perilaku pada anak dan remaja yang tidak sesuai dengan sistem nilai yang berlaku atau norma-norma yang ada di masyarakat menimbulkan jenis kenakalan yang biasa dan juga perilaku yang menjurus pada tindakan kriminal. Fenomena sosial yang kerap terjadi di lingkungan sekolah ini termasuk dalam kategori bullying school.

Istilah Bullying merupakan istilah yang masih baru dalam perbendaharaan  bahasa Indonesia. Sampai saat ini kata bullying belum dirumuskan secara baku. Dalam bahasa Inggris, bullying berasal dari kata bully yang berarti menggertak atau mengganggu orang yang lemah. Secara konsep, bullying merujuk perilaku agresif seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap orang atau sekelompok orang lain yang lebih lemah untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental.

Tindakan para pelaku Bullying bisa berupa kekerasan dalam bentuk fisik (menampar, memuukul, menganiaya, menciderai), verbal (mengejek, mengolok-olok, memaki) dan mental atau psikis (memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan) atau gabungan antara ketiganya (Olweus, 1993:24).

Bullying yang terjadi di sekolah memiliki dampak yang sangat serius,  baik itu dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek yang ditimbulkan adalah berupa perasaan tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, bahkan dapat menyebabkan stress yang berakibat pada tindakan bunuh diri oleh korban. Dalam jangka panjang, korban dapat menderita gangguan perilaku dan emosional.

Di sekolah, bullying biasanya terjadi disemua bagian  wilayahnya. Misalnya di toilet, di kelas, lorong, gudang bus sekolah, lapangan olah raga, kantin, halaman sekolah, parkiran, tempat menunggu jemputan.

Perspektif Kriminologi
Pada awalnya, para kriminolog berasumsi bahwa faktor niat dan kesempatan menjadi sebab timbulnya kejahatan atau kenakalan anak. Dalam perkembangannya muncul teori diffencial association oleh Edwin A. Sutherland menjelaskan pengaruh perilaku kelompok pada sikap seseorang dengan cara berinteraksi melalui proses belajar.

Secara rinci terdapat 9 preposisi menjelaskan proses terjadinya kejahatan, sebagai berikut : (1) Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Artinya, perilaku itu tidak diwariskan. (2) Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh.

(3) Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan. (4) Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu.

(5) Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.

(6) Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. (7) Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya.

(8) Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum. (9) Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.

Selain teori Sutherland, terdapat teori kontrol sosial yang dapat menjelaskan latar belakang perilaku jahat pada anak. Teori ini berangkat dari asumsi dasar bahwa individu mempunyai kecendrungan yang sama kemungkinannya menjadi baik dan jahat. Baik dan jahatnya seseorang semuanya tergantung pada masyarakatnya, menjadi baik kalau masyarakatnya membuat baik dan menjadi jahat apabila mastarakatnya membuatnya jahat (John Hegen, modern criminology).

Harus disadari bahwa pergaulan (peer group) adalah salah satu faktor dominan yang dapat menimbulkan kausalitas kenakalan anak  maka seharusnya orang tua, guru atau pun pihak yang terkait dengan mengawasi kelompok bermain anak dapat melakukan upaya  pencegahan.

Perlindungan Anak
Upaya penanggulangan kenakalan anak haruslah benar-benar dilakukan sedini mungkin, karena berdasarkan suatu penelitian ditemukan bahwa 80 persen anak-anak delinkuen jika tidak ditangani secara benar akan dapat menjadi penjahat atau kriminal pada masa deawasanya (A. Phelps dan Henderson, 1981).

Dalam perspektif kriminologi, para ahli membahasnya  melalui pendekatan-pendekatan biologis, psikologis dan sosial. Pada zaman modern ini faktor lingkungan cenderung menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kenakakalan anak. Selain itu dari faktor lingkungan pula dapat digunakan sebagai salah satu saran atau solusi dalam upaya penanggulangan kenakalan anak.

Salah satu dampak  negatif yang dikhawatirkan apabila permasalahan ini tidak terselesaikan akan menyebabkan  generasi  muda bangsa ini menjadi “loyo” Disisi yang lain anak merupakan aset masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Pada undang-undang perlindungan anak No.23 Tahun 2002 pasal 54 menyatakan bahwa: "Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya."

Ini berarti, anak-anak di lingkungan sekolah memiliki hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Dalam hal ini pengelola Sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan mempunyai kewajiban untuk melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan.

Penulis adalah Ketua Komisariat  Dwilogi GMNI Pekanbaru/ Mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Islam Riau, Pekanbaru.