Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Opini

Hujan Kepri Minus Bunyi 'Hajhiiing' Langit ...
Oleh : redaksi
Kamis | 26-05-2011 | 11:13 WIB
yonud-foto.jpg Honda-Batam

Yon A Udiono, Litbang pada Lembaga Studi Sosial Normatif (Lesson); bergiat di Jogja.

Oleh: Yon A Udiono

Sebagian besar wilayah tanah air, sejak Mei, manjing ke suatu musim yang mengingatkan kita akan roman karya AA Navis pada 1967. Sumatera dan pulau-pulau lain di sekitarnya mencoba-atasi kemungkinan terjadinya paceklik air itu.

Di Riau-Kepri contohnya. PLN mengantisipasi kemungkinan beroperasinya kerja PLTA wilayah itu makzul gara-gara komplangnya isi waduk Koto Panjang. Tarekat ilmiahnya: membikin “hujan buatan”. (DetikFinance, 10/5/2011). Terhadap “tonikum” sumberdaya akuatik yang oleh waduk yang terletak di Kabupaten Kampar, Riau, itu siap ditenggak sampai berakhirnya tahun 2011, kali ini tak perlu pikiran kita dikacaukan oleh ingatan akan karya sastra terutama roman Hujan Kepagian-nya Nugroho Notosusanto pada 1958.

“Tim sukses” sudah PLN bentuk. Diplot memonitor “psikologi” awan di langit dan menggeometrikan daya jelajahnya. Dan so pasti memprovokasi pergerakan pokok hujan itu.

Kita mafhum pakem alamiahnya sebagaimana dijelentrehkan dalam disiplin fisika dan kimia. Bahwa uap air di atmosfer terbentuk karena hamparan air di permukaan bumi terpanggang di bawah rezim matahari. Lalu membubung. Miliaran partikel uap yang terkerek itu kemudian dengan tersedianya partikel garam yang berperan sebagai inti pengembunan, mengorganisir diri: membentuk awan. Hujan terjebrol kala pembentuk titik-titik air raksasa sudah cukup “cempluk”, berdiameter 0,5-5 milimeter. Hingga ya sudahlah: tak perlu dia ngeles dari tuntutan hukum gravitasi yang das sein tak suka “tebang pilih”.

Proses sedemikian itu sebatas yang bisa kita tangkap secara alami. Apa adanya (an-sich). “Nggak ada paksaan” ... Hingga lazimnya berlaku aksioma, naturalia non sunt turpia.

Tapi kita tahu, sesosok Alam tak bisa diwakili sekadar Soe Hok Gie. Maksud saya: Alam, bahkan dengan bahasa “demonstrasinya” di jalanan yang sesekali bisa “brutal”, masih saja tampak menghindar kasih konfirmasi, “Kami menjelaskan apa sebenarnya tujuan kami.”

Alam diam. Tata dan komposisi elemennya di udara senantiasa pasrah untuk diotak-atik. Ini demi, kata para winasis-sayens, opportunities for improvement (OFIs). Silakan di luar mekanisme alamiah itu ada, seperti di bawah langit Riau-Kepri, kepentingan-kepentingan kemanusiaan yang berkejaran dengan waktu.

Sebab jangankan alam. Bahkan Penciptanya, sosok Misteri-tak-berhingga, senantiasa membuka diri manakala bentuk cintra dan cinta-Nya yang tanpa batas (agape) di-in-used oleh manusia-manusia penafsir yang mustahil “Tunggal Ika”. Tak mengapa jika acap kali meletup sesuatu yang “sunt turpia”.

“Diterapkan oleh manusia, Yang-Absolut tak kenal kesabaran.” Goenawan Mohamad memberi tahu hal itu dengan setengah mengeluh. Yang “tak sabar” itu, atau yang tak tawakal itu, bukan “Islam”. Karena al-Islam yang saya dengar itu sebuah laku “kepasrahan total kepada-Nya”. Barang siapa maunya serba-sulapan dia tak amat senonoh menyandang nama “Ibrahim” (sosok yang mengingatkan kita akan sirah (lelakon) tawakalnya yang ekstrem pada tiap momen).

Maka dalam peradaban manusia yang tak sepenuhnya ter-Ibrahim-kan, ada (kenapa tidak?) bentuk-bentuk rekayasa atas datangnya momentum kapan “Tuhan datang”. Rekayasa membuat kehendak (iradat)-Nya tak lagi bagai saat ketika peristiwa bersin kita (sebuah “hajhiiing ...”) tak mudah ditunda menjadi entar-entar saja kedatangannya. Dengan kata lain: Fehl Gottes, atau saat “gagalnya Tuhan datang”.

Mengerek ungkapan literer Martin Heidegger seperti itu saya kira lebih aman daripada mengetengahkan Nietzsche, Gott ist gestorben, “Tuhan sudah mati. ”Juga, pastinya, atas sesuatu yang jadi tema kita: mekanisme-mekanisme alam.

Ada dua how-to-nya: Pertama, dalam manifestasi ikhtiar ilmiah. Kedua, ikhtiar non-ilmiah.
Yang ilmiah ya yang hari ini digeber dan orkestrasikan oleh PLN di Riau-Kepri. Hingga hujan berpeluang tercurah sambil minus gelegar suara “hajhiiing” halilintar sebagai prelude-nya. Langit legam Kepri-Riau silakan tak lagi tampak seperti retak berkali-kali.

Adapun yang non-ilmiah bisa dilakukan -- tapi ini konon -- dengan “teknologi” obselet ini: klenik!
Saya pernah dapatkan cerita kengerian yang nikmat dari seorang praktisi mistik yang mengaku pernah “bertempur” dengan pawang lain sewaktu berlangsung resepsi pernikahan. Mungkin kedua seteru bermaksud membela kepentingan tuannya masing-masing yang sedang melangsungkan hajat. Saya nguping muntahan kalimat berikut ini dalam sebuah percakapan sepihak yang mendamik dada, “Saya buang ke selatan (hujan itu), dia buang ke utara, jadi berbenturan di tengah. Terjadi percikan api, kilat, sama bunyi guntur (dus, bagi saya sebuah “hajhiiing” juga).”

Tentu ada beda antara yang positivistik dan yang klenik (bolehkah disebut: “negativistik”?). Tapi kontrasnya tak sekadar keberadaan bunyi “hajhiiing”. Melainkan babagan hal yang sempat menjadi obsesi seorang Albert Camus: “ethika sosial”. Nanti silakan tebak: yang mana dari kedua metode yang lebih bikin marem-moral bagi filsuf eksistensialis Prancis itu ketika kita tahu ia pernah berkata, “Apa pun yang saya ketahui soal moralitas, saya berutang perspektif pada soccer.”

PLN tampak lebih soccer (untuk tak menyebut lebih “alim”). Hingga di Riau-Kepri orang-orangnya tak perlu mikirin repotnya shopping legitimasi-ethis.

Cacat dari pilihan positivistiknya mungkin dari sisi ragat (bujet). Tirakat empirik-ilmiah tidak lebih irit. Memecahkan masalah debit air dengan hujan buatan dianggap menghambur-hamburkan uang rakyat. Sebuah tindakan yang mungkin hanya dianggap no problem di mata Pak Jalal. Siapa Pak Jalal?
Maaf: Pak Jalal yang saya maksud adalah tokoh dalam sinetron serial Para Pencari Tuhan berkarakter sok kaya yang jumawa, “Duit gue lebih banyak daripada masalah elu, Din.” (Meskipun tokoh yang diperankan oleh aktor Djarwo Kuat itu, saya ikuti ceritanya, akhirnya mengalami bangkut juga).
Tetapi sesungguhnya tak amat jelas benarkah penghambur-hamburan uang rakyat tak “setali tiga uang” dengan dunia klenik?

Setahu kita di balik “mekanisme pasar” klenik, yang terjadi adalah fakta – dan ini maknanya – bahwa orang tidak selamanya siap disapih oleh rumah budaya ekonomi yang tak beres. Tak ada kita sulit memahami betapa jasa paranormal sesuatu yang kompleks. Ia bukan satu riwayat produk yang terbentuk dari sebab yang singular (semisal faktor ke-cespleng-annya). Para EO merekrut pawang sekadar memenuhi “protap” penyelenggaraan acara luar ruang yang berlaku-paten di perusahaannya. Dus, mau musim hujan atawa musim panas, kalau acaranya outdoor, pasti telah dianggarkan sekian dana untuk jasa paranormal.

Peneori ekonomi “konvensional” tak mudah bertausiyah agar praktisi bisnis memerdekakan, dengan me-“nol-rupiah”-kan, pos belanja takhayul. Meskipun pelaku bisnis (hiburan) ngeh hal itu high cost economy. Karena disini, di negaranya Gayus, hidup toh telanjur berisi rangkaian ketakberesan yang menggairahkan. Rangkaian ketersesatan yang menghibur dan -- dengan demikian -- menyehatkan.
Pada akhirnya making a decision ala PLN Kepri-Riau sesuatu yang, insya Allah, berpahala. Ada inspirasi dari genre “ketak-sabaran”-humanis itu yang mudah-mudahan mengestafeti pemecahan masalah kemanusiaan lain yang lebih kronis.

Kita tahu sumber daya bernama “gamping”. Namun sejauh ini orang sebatas mafhum bahwa kapur tanah itu bila tertimpa uap air di udara akan mengeluarkan energi panas yang akan menguapkan partikel air. Dus, belum punya waktu yang cukup untuk mengimani bahwa segala hal yang telah Tuhan ciptakan tak ada yang sia-sia.

Tentu saja saya sedang ngedumel tentang wilayah meta-“Riau-Kepri”, di Jawa, yang sepelemparan batu jaraknya dari tempat saya tinggal. Yap, Gunung Kidul tempat begitu menghampar lapisan “anugerah Tuhan” tanah berkapur tapi, astaga ..., sekadar terlantik sebagai “kambing hitam” dari musykilnya pemecahan “lingkaran setan” kemiskinan.

Saatnya kini Gunung Kidul yang lama sakit tak cukup menempuh laku “gelassenheit” (istilah Heidegger). Sebuah keputusan sumeleh (yang secara filosofis belum cukup berdasar). Gunung Kidul musti menyusun stamina dan strugle. Lebih dulu siapkan “infrastruktur” mental untuk sejatinya “bersyukur” (sebuah laku-berpahala) atas karunia berupa bumi-lokalnya. Aegroto dum anima est, spes est. “Selama yang sakit masih miliki semangat, ada harapan sembuh.”
Saya mungkin seperti pembaca: bisa mendadak ringan pikiran untuk sekadar mengimajinasikan industri berbasis alam berkembang (ngremboko) di sana demi memusnahkan “lingkaran iblis” kemiskinan yang men-“tiwul”.


Penulis adalah Litbang pada Lembaga Studi Sosial Normatif (Lesson); bergiat di Jogja.