Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jika Terpilih Jadi Presiden, Masyarakat Diminta Tagih Revolusi Mental Jokowi
Oleh : Surya
Jum'at | 16-05-2014 | 07:13 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk meminta rakyat menagih janji Joko Widodo (Jokowi) jika terpilih menjadi Presiden RI dalam Pilpres 9 Juli 2014 mendatang itu terhadap 'revolusi mental' yang dipaparkan sekarang ini. Sebab, kalau dia berbicara, dan siap melaksanakannya, maka Jokowi harus siap, dan siap pula ditagih oleh rakyat.

"Memang kondisi mental bangsa ini sangat memprihatinkan dan contoh terakhir pada pelaksanaan Pileg 9 April lalu, di mana kecurangan, menipulasi suara, dan money politics sangat massif, sistematis, dan terstruktur, namun kita harus optimis dan berprasangka baik-khusnuzdon pada Jokowi terhadap revolusi mental yang akan dilakukan," tegas Hamdi Muluk dalam diskusi 'Revolusi Mental Jokowi'  bersama pengamat politik LIPI Siti Zuhro, pakar hokum tata Negara Margarito Kamis, dan aktivis Gerakan Indonesia Baru (GIB) Adhie Massardi.di Jakarta, Kamis (15/5/2014) .

Menurut Hamdi, setiap perubahan radikal psti ada resistensi -tantangan yang besar, gagasan yang besar, dan pemimpin dengan jiwa besar, maka Jokowi diharapkan berani membuat perubahan besar dan fundamental untuk bangsa yang besar. 

"Jadi, memang harus ada yang memulai dan ini merupakan pekerjaan rumah (PR) besar Jokowi jika terpilih menjadi presiden," tambah Hamdi lagi.

Konkretnya kata Hamdi, langkah Jokowi itu nantinya juga bias dilihat dalam memilih cawapres, pembentukan cabinet dan seterusnya. "Kalau mereka itu mampu mereform dan melakukan revolusi mental, maka ada harapan bangsa ini akan lebih baik, namun tak bias hanya diserahkan ke Jokowi, tapi juga pembantunya,"  ujarnya.

Diakui jika istilah revolusi mental ini sudah pernah diungkapkan oleh pendiri bangsa ini, dan tokoh-tokoh sebelumnya dengan berbagai istilah atau jargon yang berbeda-beda, dan tujuan sama; yaitu sebagai Negara yang mandiri, keluar dari mental penjajah, hipokrit, malas, percaya tahayyul dan seterusnya.

"Jadi, kita harus menjadi bangsa yang optimistis, berprestasi, maju, pantang menyerah dan sebagainya," pungkasnya.

Sedangkan  pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro menegaskan gagasan revoluasi mental Jokowi setidaknya bias dilihat bagaimana dia memilih cawapresnya untuk Pilpres 9 Juli 2014 mendatang itu. Kalau cawapresnya begitu diumumkan tidak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, maka hal itu sebagai bentuk awal untuk benar-benar melakukan revolusi mental tersebut.

"Pemilihan cawapres itu sebagai tanda awal bagi Jokowi untuk menunjukkan telah memulai melakukan revolusi mental. Selain itu, jika dalam Pilpres ini tidak menggunakan politik uang, tapi kalau melakukan money politics, maka revolusi mental itu batal demi hukum," kata  Siti Zuhro. 

Politik uang tersebut menurut Siti Zuhro sebagai isu moral, dan kalau terbukti Jokowi diback up politik uang seperti dalam Pileg 9 April lalu, maka apa yang digagas sebagai revolusi mental tersebut selesai. "Kalau terbukti menggunakan politik uang dalam Pilpres, maka selesai sudah untuk Jokowi,"  ujarnya mengingatkan.

Selain itu kata Siti Zuhro, Jokowi setelah dilantik harus melajutkan gagasan besar cita-cita reformasi 1998, di mana presiden membawahi langsung beberapa birokrasi negara seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lainnya dalam penegakan hukum. 

"Kalau Jokowi mampu membereskan birokrasi hukum dengan baik sesuai harapan rakyat, maka itulah komitmen revoluasi mental itu,"  ungkapnya.

Siti Zuhro mengakui kalau saat ini ada ancaman luar biasa akibatnya bobrok-rusaknya mental penyelenggara Negara. Salah satu buktinya adalah dalam penyelenggaraan Pileg 9 April lalu, yang curang, manipulasi suara, politik uang dan sebagainya. Untuk itu dia meinta Jokowi mampu melakukan revolusi birokrasi di eksekutif, yudikatif, dan juga legislative.

Namun lanjut Siti Zuhro, revolusi birokrasi tersebut tak akan berhasil, tanpa kerjasaka yang baik dari parpol, tokoh agama, dan masyarakat. "Jadi, pemilu 9 April itu sebagai potret bobroknya mental kita, dan itu tidak lagi bisa dimaafkan atas pembusukan politik, dan siapapun capresnya kita titipkan revolusi mental ini untuk dilaksanakan," katanya. 

Jangan Retorika
Sementera itu pakar hukum tata Negara Margarito Kamis meminta agar revolusi mental yang digagas Jokowi jangan hanya dijadikan retorika dan jargon politik menjelang Pilpres. Karena hal itu membutuhkan kerja besar, dan dibutuhkan tim kepresidenan termasuk wapres yang punya komitmen besar. Baik di bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan seterusnya.

"Revolusi mental ya, tapi apa? Maka Jokowi harus menjelaskan itu secara konkret apa saja yang akan ‘direvolusi?’ Apa birokrasi yang korup, politik bagi-bagi kekuasaan, investasi yang pro asing, menghapuskan menteri-menteri koordinator, komisi-komisi, dan lmbaga-lembaga yang tidak perlu karena pemborosan uang Negara, dan apa lagi?" tanya Margarito. 

Revolusi mental yang digagas itu menurut Margarito, harus dijelaskan secara konkret dan struktural lembaga kenegaraan. Misalnya sekarang ini dengan pemekaran daerah justru terjadi desentralisasi yang luar biasa dan menyuburkan KKN. "Jadi, gagasan itu harus dikonkretkan dan jangan hanya dijadikan jualan menjelang Pilpres," katanya. 

Diakui jika gagasan revolusi mental itu masuk akal dan suatu keharusan bagi pemimpin mendatang. Namun harus terus dikawal oleh rakyat. Sebab, kalau tidak, dan Jokowi terpilih sebagai presiden, maka revolusi yang dijanjikan itu harus ditagih terus, agar ada perubahan besar bagi bangsa ini. "Jadi, kita harus tagih janji Jokowi itu kalau terpilih," pungkas Margarito.

Menurut Adhie Massardi, jargon Jokowi itu justru harus dipatenkan, agar menjadi komitmen dalam membangun bangsa ini. Yang jelas, salah satu bukti dari pelaksanaan revolusi mental itu melalui pemilihan cawapres dan susunan kabinet. 

"Kalau cawapres dan kabinet banyak yang cacat mental, maka mereka itu pasti akan bohongi rakyat," kata Adhie. 

Seperti dalam Pileg 9 April itu kata Adhie, mengapa rakyat menerima uang politik, itu disebabkan para elit baik di legislative, eksekutif, dan yudikatif telah merampok uang negara selama ini dengan korupsi, gratifikasi dan sebagainya. 

"Ketika pemilu, rakyat sudah memahami, sehingga mereka juga tak mau dibohongi oleh para perampok itu," ujarnya.

Dengan demikian, Adhie berharap Jokowi jangan sampai membohongi rakyat, karena Indonesia ini sudah menjadi rumah pesakitan besar, akibat mental para elit yang bobrok dan korup. "Kalau Jokowi dan para elit itu bohongi rakyat, maka Indonesia akan hilang," kata mantan Juru Bicara era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini. 

Editor: Surya