Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sistem Pemilu Dinilai Mendorong Perburuan Rente
Oleh : Surya
Selasa | 06-05-2014 | 11:15 WIB
Burhan Muhtadi.jpg Honda-Batam
Burhanuddin Muhtadi

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengamat politik dari Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menegaskan jika sistem politik sekarang ini akan selalu memunculkan politik perburuan rente. korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan atau e buse of power. 


Karena itu, wajar jika politik uang di pemilu 2014 ini paling brutal, masif, dan menjijikkan. Hampir semua caleg melakukan money politics dari 400 sampai 600-an amplop yang dibagikan dengan jumlah uang yang berbeda-beda.

"Sayangnya politik uang yang brutal itu tidak terdeteksi oleh Bawaslu. Jadi, sistem proporsional terbuka itu memberi insentif politik uang lebih besar, karena mendorong politik berbasis kandidat, hanya laporan dananya oleh partai, bukan caleg dan itu tak diatur oleh UU No.8 tahun 2012 tentang pemilu, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan dan tidak transparan," tegas Burhanuddin Muhtadi dalam dialog 'Refleksi dan eveluasi pileg 2014' bersama Titi Anggraini dari Perludem, dan Wakil Ketua MPR RI A. Lukman Hakim Saifuddin, di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (5/5/2014).

Konsekuensi lainnya kata Burhanuddin, jika kursi yang diprebutkan di daerah pemilihan itu lebih banyak, maka uang yang digelontorkan juga lebih banyak. Namun, kalau konstituen yang lebih kecil, maka uang juga akan lebih besar dalam jumlah pembelian suara. 

"Itu, yang harus diantisipasi dan rakyat tidak terbuka dengan money politics dan terbanyak dilakukan oleh DPRD Kabupaten/Kota, DPR RI, dan DPRD Provinsi. Ditambah lagi pengepul suara pra bayar dan pasca bayar," katanya.

Sejauh itu menurut Burhanuddin, sistem proporsional terbuka ini tak sejalan dengan sistem recall (pergantian antar waktu-PAW), karena caleg dipilih langsung oleh rakyat, tapi faktanya anggota DPR masih bisa direcall. 

"Mestinya, wakil rakyat itu direcall oleh rakyat pemilih, dan bukan oleh partai. Dan, kalau sistem presidensil, partai lebih sederhana, bukan multi partai. Sebab, multi partai itu cocok kalau sistem parlementer," tambahnya.

Dengan demikian yang harus dievaluasi itu kata Burhanuddin, ada yang bersifat teknis, substantif terkait dengan kecurangan, pelanggaran, politik uang yang massif dan sebagainya. Sedangakan kalau teknis akan terkait dengan jadwal Pilpres, yang bisa molor dan benturan dengan jabatan presiden yang sampai Oktober 2014.

"Jadi, money politics itu ibarat rakyat yang mau menipu perampok besar di DPR, karena selalu dipertontonkan dengan korupsi. Tapi, demokrasi ini sistem pemilu yang terbaik dari yang terburuk. Tinggal menyempurnakan yang kurang. Memang berbeda dengan agama misalnya, yang berangkat dari kesempurnaan, sehingga anti kritik," pungkasnya.

Dari Pilkada
Sementara itu, Titi Anggraeni dari Perludem mengatakan, maraknya politik uang yang terjadi pada pemilu legislatif, 9 April 2014 ini selain akibat dari sistem pemilu proporsional terbuka, juga karena elit-calegnya memberi uang kepada rakyat. 

Proses politik uang itu dimulai dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang memang sarat dengan politik uang, sehingga dalam setiap pemilu rakyat makin matang dengan money politics tersebut sampai Pileg 2014 ini, Ditambah lagi dengan terjadinya kecurangan dalam rekapitulasi suara dari TPS, PPS, PPK sampai KPUD.

"Jadi, evaluasi pemilu ini harus komprehensif. Dari system, penyelenggara dan pengawas di lapangan. Anehnya, meski penghjitungan banyak kecurangan, tapi hasilnya sampai ke KPU Pusat, dan kecurangan itu tidak terdeteksi. Karena itu, evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh terhadap UU No.8 2012 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), satu-satunya UU yang dibahas selama dua tahun, dan diputuskan dalam dua malam dua hari," kata Titi. 

Diakui Titi, jika memang ada upaya perbaikan dengan sistem pemilu 2014 ini, misalnya dengan meng-upload formulir C1 plano, ada hologram, pengawas pemilu yang bertambah dan sebagainya. Tapi, calegnya lebih tahu bagaimana tetap bisa melakukan kecurangan.

"Jadi, kecurangan itu ada di penylenggara pemilu dan peserta pemilu  sehingga mereka lebih piawai dalam melakukan kecurangan pemilu. Pemilu memang belum sempurna, kecurangan di mana-mana, pengawas yang tak maksimal, maka pembuat UU harus lebih jernih dan tidak fokus hanya bagaimana mendapat kursi," ujarnya.

Menurut Titi, apapun sistem yang dipilih, selama tanpa melakukan proses kaderisasi di internal partai, maka sistem apapun tidak akan jalan. 

"Proporsional terbuka percuma dan menyuburkan angka korupsi yang naik signifikan. Tapi, tertutup juga bukan solusi, selama tak ada kadeisasi yang akluntabel dan transparan di internal partai. Apalagi dana partai yang misterius, di mana masyarakat tak mempunyai akses terhadap adana itu sendiri," ungkapnya.

Dikatakan, jika tidak semua sistem pemilu baik dan sempurna di dunia, melainkan sistem itu yang cocok dengan Indonesia. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) justru memperkuat suara terbanyak, sementara partai dan penyelenggara pemilu tidak siap dengan proses yang akan dilakukan. Baik  terkait parpol, caleg, dan pemilu itu sendiri.

Dana partai kata Titi, memang bisa diaudit, tapi hanya hasilnya dan bukan bagaimana partai itu memperoleh dana.

"Jadi, masih banyak yang perlu dievaluasi termasuk rekruitmen caleg sendiri, yang tidak cukup hanya melalui iklan di koran. Itu akibat partai hanya fokus untuk mendapatkan kursi DPR, tanpa memikirkan dampak dari UU yang dibuat sendiri," pungkasnya.

Editor : Surya