Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kejahatan Seksual Ditinjau dari Perspektif Pendidikan
Oleh : Opini
Senin | 05-05-2014 | 14:10 WIB

Oleh Aripianto

MARAKNYA AKSI kejahatan seksual yang terjadi di tengah masyarakat menunjukkan telah terjadi degradasi moral serta rendahnya internalisasi ajaran setiap pemeluk agama. Jika kita amati di pemberitaan media massa akhir-akhir ini, cukup mengejutkan. Mulai dari anak-anak sekolah sampai dengan wanita dewasa telah menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Kasus seksualitas ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua, oleh karena itu menjadi kewajiban negara untuk menjamin warga negara dari tindakan kejahatan seksualitas.

Kasus pelecehan anak di Indonesia telah berulang kali terjadi. Data yang dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA) mencatat kasus pelecehan seksual sepanjang tahun 2013 sebanyak 3.039 kasus, atau naik sekitar 87 persen dari tahun 2012. Komnas Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2012, telah menerima laporan kekerasan terhadap anak dari masyarakat sebanyak 2.637 kasus, dengan rincian 62 persen kasus kejahatan seksual, dan 38 persen kekerasan fisik.

Padahal, pelanggaran menyangkut pelecehan seksual sudah diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 16 ayat 1, menyebutkan: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiyaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Sedangkan dalam Undang-undang No 39 tahun 1999 pasal 66 ayat 1 tentang Hak Asasi Manusia, berbunyi: Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Pada umumnya, kasus pelecehan tersebut dilakukan oleh orang-orang dekat korban, baik paman, orang tua, guru, teman, penjaga, petugas kebersihan sekolah dan lain sebagainya. Trauma akibat kejahatan seksual pada anak sulit dihilangkan kalau tidak secepatnya ditangani oleh ahlinya.

Dampak jangka pendek, anak yang mendapat kekerasan seksual akan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun, akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Untuk jangka panjangnya, ketika anak menginjak dewasa akan mengalami phobia pada hubungan seks atau bahkan diperparah dengan tidak terbiasa sebelum melakukan hubungan seksual.

Mungkin saja pelecehan seksual ringan dampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan, namun pelecehan seksual yang sudah derajatnya sedang dan berat akan menimbulkan dampak negatif secara fisik, psikologis, dan juga sosial. Dampak fisik yang biasa ditimbulkan akibat pelecehan seksual, adanya memar, luka, bahkan robek pada bagian-bagian tertentu. Sedangkan dampak psikologis berupa kecurigaan kepada seseorang, sosok tertentu atau figur tertentu ditambah lagi dengan adanya perasaan ketakutan sebagai dampak yang sering dialami korban.

Ketakutan ini muncul dalam bentuk takut kepada orang tertentu, bentuk tubuh tertentu, dan tempat tertentu. Selain itu, kecurigaan juga sering muncul sebagai dampak dari korban pelecehan seksual. Korban pelecehan seksual menjadi paranoid kepada orang tertentu, orang asing yang tidak dikenalnya, serta tempat asing yang belum pernah dikunjunginya. Dampak sosial yang dialami korban mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan.

Tinjauan dari perspektif Pendidikan
Penurunan moralitas yang terjadi pada bangsa ini sangat mengiris sekali dan tentu ini menjadi pekerjaan rumah sebagai seorang pendidik untuk menanamkan kembali nilai-nilai moralitas kepada setiap generasi bangsa. Terjadinya degradasi moral dikarenakan  kurangnya podasi yang dimilili oleh individu, baik dari sosial, agama, dan budaya. Individu terlalu lemah dalam menerima perubahan yang terjadi di masyarakat, sehingga tidak kuat untuk menyaring hal-hal yang masuk memberi pengaruh buruk dalam moralitas.

Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut: 1) Meningkatnya kekerasan pada remaja, 2) Penggunaan kata-kata yang memburuk, 3) Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan, 4) Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, 5) Kaburnya batasan moral baik-buruk, 6) Menurunnya etos kerja, 7) Rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9) Membudayanya ketidakjujuran, 10) Adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Jika ditinjau dari sisi perkembangan, minat remaja terhadap perilaku seks menurut Hurlock (1980:226) didorong oleh meningkatnya keingintahuan remaja tentang seks. Remaja mencari berbagai macam informasi yang terkait dengan seks melalui bacaan, teman sebaya, atau mengadakan percobaan dengan melakukan masturbasi, bercumbu, atau bersenggama. Perubahan dan perkembangan pada masa remaja ditandai dengan munculnya tanda-tanda sekunder dan mulai matangnya organ-organ reproduksi.

Menurut Freud (Sadock, 1997) masa remaja sebagai fase genital, yaitu energi libido atau seksual yang pada masa pra remaja bersifat laten kini hidup kembali. Dorongan seks dicetuskan oleh hormon-hormon androgen tertentu seperti testosteron yang selama masa remaja ini kadarnya meningkat. Sementara itu, dalam Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia (Konas I ASI) di Denpasar Juli 2002, Hudi Winarso dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya juga mengemukakan penelitian serupa. Dari angket yang disebarkan pada bulan April 2002 terhadap 180 mahasiswa perguruan tinggi negeri di Surabaya, berusia 19 hingga 23 tahun, ternyata 40 persen mahasiswa pria telah melakukan hubungan seks pra nikah.

Remaja Berkualitas
Pembentukan remaja yang berkualitas tentunya dapat di bangun dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter akan mengubah cara pandang seseorang sehingga masyarakat akan sulit untuk menerima hal-hal lain yang menyimpang. Penanaman pendidikan karakter sejak dini akan melindungi seseorang dari perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma agama dan sosial. Sebaliknya, jika penanaman pendidikan karakter tidak dimulai sejak dini, maka akan sulit untuk mengubah perilaku dan melindungi pribadi tersebut dari hal-hal yang menyimpang. Pribadi tersebut akan mudah terpengaruh dan tidak dapat melakukan filterisasi terhadap hal-hal yang akan masuk ke dalam dirinya.

Untuk menerapkan pendidikan karakter tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, namun semua pihak harus berkontribusi terhadap penanaman pendidikan karakter. Ketika lingkungan sekolah selalu menanamkan pendidikan karakter, maka dalam lingkungan masyarakat juga harus mendukung penanaman tersebut yaitu dengan berusaha selalu menampakan hal-hal positif pada seorang anak. Para pemegang kebijakan juga harus berperan penting dalam hal ini. Misalnya dengan memperketat izin tayangan televisi, pengawasan terhadap media massa, serta memfasilitasi semua hal yang menyangkut penanaman pendidikan karakter.

Oleh karena itu, untuk membentuk pribadi yang unggul dan berkarakter harus ada koordinasi yang erat antara keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah. Perlu diingat bahwa untuk mengubah atau membentuk pribadi yang unggul dan berkarakter tidak dapat dicapai secara instan, tetapi memerlukan proses yang panjang. Penanaman nilai-nilai tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan. Jika penanaman pendidikan karakter tersebut telah berhasil, maka kelak merekalah yang akan menjadi Pemimpin dan membangun negeri ini menjadi negeri yang ditumbuhi oleh benih-benih generasi penerus yang berkualitas dan berkarakter.


Penulis adalah Wakabid Litbang dan Infokom DPC GMNI Pekanbaru dan Mahasiswa PKn/FKIP/Universitas Riau.