Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Belum Waktunya Pemilu 'One Man One Vote'
Oleh : Surya
Sabtu | 03-05-2014 | 10:33 WIB
Paulus Sumino.jpg Honda-Batam
Anggota DPD Paulus Yohannes Sumino

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Senator dari Papua, Paulus Yohanes Sumino berpendapat Indonesia belum waktu berdemokrasi dengan sistem 'one man one vote' atau satu orang satu suara, mengingat 92,3 persen rakyat Indonesia  masih berpendidikan kelas 2 SMP.

Menurutnya untuk mengelar demokrasi dibutuhkan penyelenggara dan pemilih yang cerdas, sehingga akan menghasilkan calon pemimpin yang cerdas, berintegritas, berkualitas, dan bertanggung jawab. 

"Tapi, dari pemilu yang kacau dengan banyaknya kecurangan, pelanggaran dan money politics ini, tetap hasilnya harus bisa diterima. Sebab, kalau tidak, dan pemilu ini batal, maka pemilu itu sendiri akan kehilangan dasar legitimasi politik. Itu juga untuk menghindari kegoncangan yang akan terjadi. Jadi, kita belum siap berdemokrasi,sehingga terlalu jauh melaksanakan sistem demokrasi dengan one man one vote, sementara pemilih masih berpendidikan rendah dan tak paham politik," tegas Paulus dalam dialog '9 April 2014: Pemilu atau Pembuat Pilu?' bersamaMohammad Nasih (pengajar pasca sarjana Ilmu Politik UI), dan Ahmad Fuad Fanani (Direktur Riset Ma’arif Institute for Culture and Humanity dan dosen FISIP UIN Syahid Jakarta), di Gedung DPD RI, Jumat (2/5/2014).

Karena itu lanjut Paulus, sistem politik itu harus diperbaiki sambil terus memperbaiki ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan. Sebab, selama pendidikan dan ekonomi masih rendah, maka demokrasi tidak akan berjalan. 

"Bahwa demokrasi itu butuh pemilih yang cerdas, agar menghasilkan pemimpin yang berintegritas dan berkualitas," ujarnya.

Dengan begitu menurut Paulus, maka parpol sebagai pilar demokrasi harus berani menjadi pioner demokrasi, dan bukannya menjadi beban dan masalah demokrasi itu sendiri. Sebab, kalau sarat money politics, maka hasilnya seperti sekarang ini. Banyak korupsi, tidak bertanggungjawab terhadap tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat, dan penyimpangan lainnya yang merugikan bangsa dan negara,” tambahnya.

Sementara Ahmad Fuad Fanani menilai Pemilu 2014 ini merupakan pemilu yang paling bermasalah sepanjang pemilu pasca reformasi. Hal itu  terlihat dari banyaknya pelanggaran, maraknya politik uang dan transaksional politik, kanibalisasi antar caleg dalam satu partai, sengketa pemilu yang belum beres, dan tingginya angka Golput. Kualitas pemilu ini pasti akan berpengaruh pada kualitas anggota DPR/DPD/DPRD yang terpilih.

"Jadi, problemnya banyak pengawas termasuk Panawaslu dan Bawaslu tidak tegas dalam menghadapi pelanggaran pemilu yang terjadi. Kalau Bawaslu menyatakan tidak punya kewenangan, maka kewenangannya harus ditambah, " ujarnya seraya mengingatkan agar. Partai politik jangan hanya berorientasi kekuasaan, melainkan pencerdasan politik rakyat, dan membangun bangsa.

Editor : Surya