Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penelitian Tunjukkan Penggundulan Hutan di Area Konsesi Indonesia Sangat Cepat
Oleh : Redaksi
Rabu | 16-04-2014 | 07:24 WIB

BATAMTODAY.COM - PENGGUNDULAN hutan di dalam area konsesi kayu, penebangan, kelapa sawit dan pertambangan diperkirakan mencapai 45 persen dari angka deforestasi di Indonesia antara tahun 2000 hingga 2010, seperti diungkapkan sebuah studi baru yang mengkaji angka kehilangan hutan di dalam konsesi industri.

Penelitian ini diterbitkan di jurnal ilmiah Conservation Letters, dan menggunakan kombinasi data satelit serta peta konsesi untuk mengaitkan aktivitas industri dengan perubahan tutupan hutan. Dari kajian ini ditemukan bahwa dari 14,7 juta hektar hutan yang dibuka di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua sepanjang era 2000-an, sekitar 6,6 juta hektar terjadi di dalam konsesi penebangan kayu, 1,6 juta di dalam perkebunan kelapa sawit, 0,9 juta hektar di dalam zona yang tumpang tindih, dan 0,3 juta hektar di area pertambangan batubara.

Kajian ini sendiri tidak menyebutkan 55 persen deforestasi sisanya di luar area konsesi, namun ekspansi perkebunan kelapa sawit, pembalakan liar, pertanian dan industri agrikultur, penambangan lainnya, serta kebakaran hutan menjadi penyebab utama dari hilangnya tutupan hutan tersebut.

Secara geografis, 48 persen dari hilangnya tutupan hutan di dalam konsesi industri muncul di Kalimantan, diikuti oleh Sumatera (32 persen), Papua (12 persen) dan Sulawesi (5 persen). Hutan dataran rendah menjadi wilayah yang dominan kehilangan tutupan di konsesi industri, dengan tigaperempat jumlah keseluruhan. Sementara konversi lahan gambut diperkirakan mencapai 21 persen dari keseluruhan angka hilangnya tutupan hutan.

Kajian ini juga meneliti emisi gas rumah kaca dari ekspansi wilayah konsesi. Perkebunan HTI untuk industri kertas adalah penyebab tunggal terbesar emisi karbon selama periode ini, dengan sepertiga dari keseluruhan total angka emisi dari emisi industri. Sementara kelapa sawit di angka 28 persen, penebangan kayu (22 persen), dan disusul oleh konsesi industri gabungan.

Penyebabnya sangat berbeda-beda di setiap pulau, di Sumatera perkebunan industri kertas ini menyumbang hingga 60 persen emisi, sementara perkebunan kelapa sawit di Kalimantan diperkirakan mencapai 40 persen. Konsesi penebangan menjadi penyebab utama emisi dari sektor industri di Papua, Sulawesi dan Maluku.

Tak hanya membahas apa yang sudah terjadi dalam hilangnya tutupan hutan dan angka emisi karbon, kejian ini juga memberikan bahasan prediksi apa yang akan terjadi dengan hutan Indonesia, termasuk jika perubahan tutupan hutan di dalam dan di luar konsesi. Dari kajian ini ditemukan bahwa nyaris 35 persen dari hutan seluas 77,4 juta hektar hutan yang tersisa di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papu berada di dalam konsesi industri.

Tujuh puluh persen di antaranya ada di dalam konsesi penebangan, yang mengindikasikan pentingnya wilayah konsesi penebangan dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca di masa mendatang.

"Konsesi penebangan diperkirakan sekitar 33 persen dari hutan dataran rendah (15,5 juta hektar) dan 16 persen lahan gambut (1,6 juta hektar di Kalimantan, Sumatera, papua, Sulawesi dan Maluku," ungkap penulis.

"Dalam kajian Gaveau et l (2013) diperlihatkan bahwa konsesi penebangan bisa menjaga tutupan hutan sama efektifnya dengan kawasan lindung, jika merekatidak diklaisifikasi ulang untuk ekspansi perkebunan tanaman industri. Sejumlah penelitian juga melihat bahwa hutan yang ditebang secara selektif bisa menjadi sangat bernilai bagi konservasi keragaman hayati."

Namun strategi pengembangan -dan sistem insentif- untuk menjaga tutupan hutan membutuhkan data yang baik. Para penulis mencatat bahwa hal ini yang masih lemah di Indonesia dan membutuhkan transparansi yang lebih baik dalam tata guna lahan untuk meningkatkan akuntabilitas seputar isu deforestasi dan kabut asap.

Memperjelas kepemilikan lahan dan batas konsesi tidak hanya akan membantu menyelesaikan masalah lingkungan, namun juga membantu mengurangi angka konflik sosial dengan masyarakat setempat. (*)

Sumber: Mongabay