Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengungkap Praktek Politik Uang
Oleh : Redaksi/Opini
Selasa | 25-03-2014 | 12:48 WIB

Oleh: Raja Dachroni

UANG BUKANLAH segala-galanya. Mungkin kita pernah mendengar 'kalimat suci' ini di tengah masyarakat yang masih memiliki idealisme dan cara pandang yang jernih, jika ditanya persepsinya tentang uang. Akan tetapi, ketika kita kaitkan dengan Pemilu 9 April 2014, kalimat ini bisa berubah. Segala-galanya memerlukan uang. Termasuk untuk membeli suara masyarakat. Sadar atau tidak, sejak kran reformasi dibuka dan sistem pemilu terbuka digelar seperti saat ini, praktek politik uang kerap digencarkan oleh politisi yang tidak bertanggung jawab karena tidak ingin berlelah-lelah dalam melakukan sosialisasi politik tapi ingin mendapatkan kursi dari setiap pesta demokrasi yang digelar.

Kita pun sudah lama sadar bahwa prilaku politik uang itu sudah mengancam kesehatan demokrasi kita. Maka kita bisa lihat sebagian politisi tidak berkualitas dengan mudah mendapatkan kursi karena membagi-bagikan uang, baik secara langsung ataupun tidak, di hari pemilihan. Padahal, secara aturan hukum praktek seperti ini sudah dikecam sejak pemilu secara terbuka digelar pada 1999.

Dalam Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: "Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."

Itu dulu, sekarang dalam UU No 8 Tahun 2012 Pasal 297 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang, dengan memaksa, dengan menjanjikan atau dengan memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Dalam Pasal lain yakni Pasal 301:

(1) Setiap pelaksana Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

(2) Setiap pelaksana, peserta, dan/atau petugas Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).Penulis tidak akan memperdebatkan tentang sanksi di atas tapi paling tidak kita sudah bisa menangkap bahwa secara sederhana politik uang itu sebagai pembelian suara; yaitu suatu praktik pemberian atau janji hadiah dalam proses pemilu baik itu berupa uang, atau barang, atau sembako, atau jabatan tertentu kepada seorang yang memiliki hak pilih.

Bagaimana Mengungkapnya?
Permasalahannya sekarang, ketika peraturan itu sudah ada bagaimana kemudian untuk mengungkapnya, mengingat pengalaman Pemilu 2009 sebelumnya kasus politik uang yang dirasakan keberadaannya namun sulit sekali untuk diungkap karena memang terkait enggannya orang yang menerima praktek politik uang itu untuk bersaksi dan tidak cukupnya alat dan barang bukti. Akan tetapi, di tengah kesulitan untuk mengungkap masalah tersebut kita berharap Gakumdu bisa belajar banyak dari pelanggaran Pemilu 2009 untuk kemudian bisa mengungkap kasus pidana Pemilu 2014 mendatang, yang dipastikan bisa terjadi khususnya masalah politik uang ini.

Selaku pemangku kepentingan penanganan Pidana Pemilu Sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu), sebagaimana dimaksud Pasal 267 Ayat (1) UU No.8 Tahun 2012 adalah,”Untuk menyamakan pemahaman dan pola penganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia membentuk sentra penegakan hukum terpadu”. Jadi dengan pasal ini sebenarnya terang sudah bahwa Gakumdu punya peran yang sangat strategis untuk menangani masalah politik uang.

Utamanya Bawaslu harus benar-benar membentuk tim yang solid hingga tingkat kelurahan dan bergerak cepat menangani kasus politik uang. Menurut Joko Riskiyono, Peneliti Hukum Pemilu Pusat Studi Konstitusi Universitas Sumatera Utara, secara normatif tindak pidana Pemilu merupakan pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud UU Pemilu.

Pertama, berupa laporan pelanggaran Pemilu paling lama tujuh hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu. Kedua, apabila berdasarkan temuan dan/atau kajian Bawaslu/Panwaslu paling lama tiga hari setelah ditemukannya pelanggaran wajib ditindaklanjuti. Waktu yang demikian terbatas dalam laporan dan temuan, apabila memerlukan keterangan tambahan dari pelapor mengenai tindak lanjut dilakukan paling lama lima hari setelah laporan diterima. Proses yang demikian singkat dalam mengumpulkan alat bukti dan keterangan saksi (Pulbasket) atas laporan pengaduan (Lapdu) tentu sedikit menyulitkan Bawaslu/Panwaslu beserta aparatur pengawas Pemilu di tingkat bawah (www.waspada.com).

Masih menurutnya untuk mencegah terjadinya laporan yang kadaluwarsa (lewat tenggat waktu), maka diperlukan kerja ekstra di samping tidak kalah penting partisipasi dari seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) Pemilu tanpa terkecuali rakyat yang memiliki hak pilih. Keseriusan pengawas Pemilu, menjadi pintu masuk keberhasilan mengungkap pidana Pemilu untuk membawa pelaku utama dituntut ke pengadilan dengan ganjaran setimpal.

Hal pelik lain, selain Bawaslu dan Gakumdu yang memang belum begitu terasa optimal perannya dalam menangani pelanggaran Pemilu khususnya terkait politik uang ini kita juga dihadapkan dengan budaya politik masyarakat yang pasif sekali terhadap masalah ini. Masyarakat yang jelas-jelas menyaksikan fenomena ini enggan melaporkan bahkan sebagian begitu menikmati hingga di masyarakat terdengar oleh kita, "Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya." Faktanya, sebagian yang menggunakan trik ini justru terpilih dan strategi ini terbukti mumpuni untuk daerah-daerah yang kalangan pemilihnya masih tergolong pemilih tradisional.

Kita bisa lihat sekarang apa yang bisa dilakukan oleh politisi yang sebagian terpilih menggunakan cara yang tidak sehat seperti ini. Mereka kerap korup, bolos dan rakus akan tender atau proyek. Tentu kita tidak ingin hal ini terulang untuk kedua kalinya. Kita berharap ada langkah nyata dari Gakumdu dan Bawaslu sebagai ujung tombaknya untuk bersama mengungkap praktek politik uang serta kesadaran masyarakat untuk bersama-sama mengungkap praktek politik uangnya dengan berani mengatakan, "Tolak Uangnya, Ungkap Pelakunya dan Jangan Pilih Parpol dan Calegnya."

Semoga kita semua memahaminya dan bisa sama-sama sadar untuk berani mengungkap praktek politik uang dengan melaporkannya ke Panwaslu sebagai pengawas dalam Pemilu 9 April 2014 mendatang dan semoga kita kompak untuk bersama-sama memperkarakan pelakunya hingga ada efek jera bagi politisi lain yang mencoba untuk melakukan praktek politik yang sama.

Penulis adalah Direktur Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah, Pegiat Kelompok Diskusi Jumatan (KDJ) dan Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang (Akun Facebook: Dachroni Muda Berjaya dan Twitter: @Dachroni)