Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Risiko Mengonsumsi Makanan Tinggi Protein Sama Bahayanya dengan Merokok
Oleh : Redaksi
Jum'at | 14-03-2014 | 07:32 WIB

BATAMTODAY.COM - BERUNTUNG juga bagi penduduk di Indonesia yang jarang makan daging dan keju. Selain masih banyak penduduk yang belum mampu membeli, konsumsi daging dan keju yang tinggi protein juga bisa memperburuk kondisi kesehatan.

Dalam sebuah studi baru, peneliti telah menemukan bahwa mengonsumsi makanan yang kaya protein hewani di usia baya membuat kita empat kali lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker dibandingkan orang dengan diet rendah protein. Faktor risiko kematiannya sebanding dengan bahaya merokok.

"Ada kesalahpahaman bahwa karena kita semua makan, memahami nutrisi adalah hal yang sederhana. Tapi pertanyaannya adalah, bukanlah diet tertentu yang harus Anda lakukan dengan baik selama tiga hari, tetapi apakah itu bisa membantu Anda bertahan sampai 100 tahun?" kata Valter Longo, Profesor Edna M Jones dari biogerontology di Davis School of Gerontology USC dan Direktur USC Longevity Institute.

Tidak hanya konsumsi protein yang berlebihan yang berhubungan dengan peningkatan dramatis dari kematian akibat kanker, tapi orang-orang setengah baya yang mengonsumsi banyak protein dari sumber hewani -termasuk daging, susu dan keju- umumnya juga lebih rentan terhadap kematian dini. Demikian diungkap pada penelietian yang dipublikasikan di jurnal Cell Mabolism.

Penggila protein hampir 74 persen lebih mungkin untuk meninggal daripada yang mengonsumsi protein lebih rendah. Termasuk risiko meninggal akibat diabetes.

Tapi berapa banyak protein yang harus dikonsumsi telah lama menjadi topik yang kontroversial. Karena, sebelum penelitian ini, peneliti tidak pernah menunjukkan korelasi yang pasti antara konsumsi protein tinggi dengan risiko kematian.

Protein mengontrol hormon pertumbuhan IGF -I, yang membantu tubuh untuk tumbuh, tetapi telah dikaitkan dengan kerentanan kanker. Kadar IGF -I yang turun secara dramatis setelah usia 65 tahun, mengarah ke potensi kerapuhan otot.

"Penelitian ini menunjukkan bahwa diet rendah protein di usia baya berguna untuk mencegah kanker dan kematian secara keseluruhan, melalui proses pengaturan IGF -I dan mungkin kadar insulin," kata penulis pembantu, Eileen Crimmins, Ketua AARP di Gerontology di USC.

"Namun, kami juga mengusulkan bahwa pada usia yang lebih tua, mungkin penting untuk menghindari diet rendah protein untuk menjaga berat badan yang sehat dan agar tetap kuat," kata Crimmins seperti dilansir Science Daily.

Yang krusial, para peneliti menemukan bahwa protein nabati, seperti dari kacang-kacangan, tak memberi efek kematian layaknya protein hewani. Tapi, tingkat kanker dan kematian tidak terpengaruh oleh pengendalian karbohidrat atau konsumsi lemak, dan menunjukkan bahwa protein hewani adalah penyebab utama.

Temuan Longo itu mendukung rekomendasi dari beberapa lembaga kesehatan terkemuka untuk mengonsumsi sekitar 0,8 gram protein per kilogram berat badan setiap hari di usia baya.

Para peneliti mendefinisikan "high-protein" diet sebagai mengonsumsi 20 persen kalori dari protein, termasuk protein nabati dan hewani. A "moderat" diet protein mencakup 10 - 19 persen kalori dari protein, dan "low- protein" diet termasuk protein kurang dari 10 persen.

Bahkan diet moderat juga memiliki efek merugikan pada usia baya, kata para peneliti. Dari seluruh 6.318 orang dewasa di atas usia 50 yang diteliti, asupan protein rata-rata sekitar 16 persen dari total kalori harian dengan sekitar dua pertiga dari protein hewani. Sampel penelitian merupakan perwakilan di seluruh etnis, dan latar belakang pendidikan kesehatan.

Orang-orang yang mengonsumsi protein dalam jumlah sedang, masih tiga kali lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker dibandingkan mereka yang makan diet rendah protein pada usia baya. Bahkan perubahan kecil penurunan asupan protein dari tingkat moderat ke tingkat yang rendah mengurangi kemungkinan kematian dini sebesar 21 persen.

Dari 2.253 orang yang dipilih secara acak, kadar hormon pertumbuhan IGF -I dicatat langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan 10 ng/ml dalam IGF -I, mereka yang diet tinggi protein 9 persen lebih mungkin untuk meninggal akibat kanker dibandingkan mereka yang diet rendah protein, sejalan dengan penelitian terdahulu menghubungkan IGF -I dengan tingkat risiko kanker.

Para peneliti juga melakukan uji coba pada tikus dan model seluler. Dalam sebuah penelitian mengenai tingkat tumor dan perkembangannya di antara tikus, para peneliti menunjukkan kejadian kanker lebih rendah dan ukuran tumor 45 persen lebih kecil rata-rata antara tikus pada diet rendah protein dibanding tikus pada diet protein tinggi.

"Hampir semua orang akan memiliki sel kanker atau sel pra-kanker di beberapa titik. Pertanyaannya adalah, apakah (sel) itu berkembang? Ternyata salah satu faktor utama dalam menentukan apakah (sel) itu berkembang atau tidak adalah tergantung asupan protein." (*)

Editor: Roelan