Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Catatan Lepas Diskusi Kybernologi Corner STISIPOL Raja Haji

Pemilih Pemeras
Oleh : Opini/Redaksi
Kamis | 27-02-2014 | 09:49 WIB

Oleh: Raja Dachroni


Pada Kamis (20/2/2014) lalu, diskusi ringan yang kami beri nama 'Kybernologi Corner' digelar. Hadir puluhan mahasiswa di pendopo STISIPOL Raja Haji. Walau saya tidak menyaksikan langsung, karena berhalangan hadir pada kegiatan tersebut, tapi paling tidak mendengar cerita dari rekan saya, Rendra Setyadiharja, yang kebetulan menjadi moderator diskusi dengan tajuk 'Etika dan Budaya Politik' itu, sepertinya seru apalagi narasumbernya juga pemegang dua gelar doktor, yakni Dr. Suhardi Mukhlis, PhD.

Dari cerita kawan saya tersebut, saya meramu kata demi kata untuk sekedar berbagi dengan beberapa pertanyaan yang kemudian menyesakkan dada karena dihadapkan dengan fakta dalam bentuk etika para elite politik dan diperparah sikap masyarakat kita saat ini. Sebelum berbicara lebih jauh terkait apa yang didiskusikan oleh rekan saya dan puluhan mahasiswa yang haus berdiskusi itu, perlu bagi saya untuk menyamakan frekuensi terlebih dahulu apa itu etika politik.

Dalam definisi Ricoeur, seperti yang dikutip DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI dalam sebuah tulisannya, disebutkan bahwa etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif.

Maka hubungan antarapandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya.

Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Nah, bertalian dengan masalah ini ada dua pertanyaan menarik yang barangkali beririsan langsung dengan masalah Pemilu 2014 nanti, yakni pertama: bagaimana sikap kita tentang politik uang dan bagaimana politik transaksional tentunya dilihat dari perspektif etika atau budaya politik. Meminjam pendapat Ricoer tadi, bahwa kedua hal ini terjadi karena memang masyarakat sebagai entitas sosial yang membentuknya. Akibat ada permintaan, muncullah kedua fenomena yang tidak terbendung lagi.

Sebagian masyarakat benar-benar memanfaatkan caleg untuk mengeruk keuntungan sesaat, hingga di suatu tempat atau kampung pernah muncul tulisan seperti: 'kami menerima caleg yang mau membayar kami' atau slogan 'ambil uangnya, jangan pilih orangnya'. Sebagian masyarakat menilai dan beranggapan jika momentum ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin kapan lagi mereka bisa menikmati uang dari caleg. Toh kalau sudah jadi mereka tidak akan turun lagi ke masyarakat karena terkena sindrom lupa.

Jelas ini cara berpikir yang keliru. Jika ini terus dibiarkan, maka jelas kita tidak akan mampu memproduksi wakil rakyat yang benar-benar bekerja. Tipikal pemilih yang hobi memeras ini jelas akan melahirkan wakil rakyat yang bermental pemeras pula. Hobi main proyek, main perempuan, suka bolos dan beragam pelanggaran etika politik yang memang tidak layak bagi seorang politisi.

Mau bagaimana lagi, inilah fakta dari prilaku sosial politik masyarakat kita. Intinya, memang sebelum kita bicara lebih jauh realitas elit politik kita maka menarik juga sebenarnya untuk mencermati prilaku memilih masyarakat kita. Politik uang sudah dianggap sesuatu yang wajar.

Hasil survei International Foundation for Electoral Systems (IFES) asal Washington DC, Amerika Serikat, bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir di Jakarta, menguatkan kekhawatiran Bawaslu. Dalam survei 17-30 Desember 2013 terhadap 1.890 responden di seluruh provinsi di Indonesia, ditemukan indikasi politik uang. "Sebelas persen responden mengatakan ada praktik jual-beli suara. Sepertinya mendekati pemilu akan makin banyak masyarakat yang melihat praktik politik uang," kata Direktur Applied Research IFES, Rakesh Sharma (www.viva.co.id).

IFES pun kecewa dengan perilaku pemilih Indonesia. Ketika responden diberi pertanyaan apakah mereka akan melaporkan pelanggaran politik uang itu, ujar Rakesh, "Sebanyak 57 persen responden mengaku tidak akan melaporkannya karena transaksi politik ini dianggap wajar."

Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus berputus asa? Jelas hanya orang yang tak mengakui eksistensi Tuhan sajalah yang berhak berputus asa. Selebihnya tidak. Kita harus tetap optimis karena kita mengakui eksistensi Tuhan. Mari bersama cerdaskan masyarakat kita. Tidak ada perubahan dengan menganggap wajar politik uang. Tidak ada yang bisa diperjuangkan oleh wakil rakyat yang dipilih dengan tipikal pemilih pemeras. Mari bersama kita sadar dan tolak politik uang. Tidak mungkin ada caleg yang memberi jika tidak ada masyarakat yang meminta.

Sekali lagi ini fakta. Lalu apa yang bisa kita lakukan kalau itu lagi-lagi terjadi. Saya sarankan, ambil uangnya, jadikan alat bukti, ungkap pelakunya lalu jangan pilih caleg dan partainya sebagai hukuman pertama. Semoga kita semua memahaminya dan Pemilu Legislatif 2014 bisa berjalan lebih baik.

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji dan Direktur Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah (LKPOD).