Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Baru Cair Rp 1,6 Triliun dari Rp 19,9 Triliun

FITRA Sinyalir Anggaran BPJS Digunakan untuk Kepentingan Politik 2014
Oleh : Surya
Rabu | 19-02-2014 | 20:05 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Indonesia (FITRA) mensinyalir adanya penggunaan dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk kepentingan politik 2014 baik untuk Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden (Pilpres).


Sebab, aset PT Askes dan PT Jamsostek telah dijual lebih dahulu oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang kemudian diserahkan ke BPJS.  Disamping itu, ternyata anggaran BPJS sebesar Rp 19,9 triliun ternyata baru dikucurkaan hanya Rp 1,6 triliun.

"Jadi, Kementerian Keuangan sebagai institusi yang mengucurkan dana itu sangat berkuasa. Kita mencurigai ada permainan keuangan negara untuk kepentingan politik 2014. Karena itu, Kemenkeu harus direformasi, kalau tidak maka akan terus korup," kata Uchok Sky Kadafi, Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA di Jakarta,Rabu (19/2).

Dalam diskusi BPJS Kesehatan bersama Anggota Komisi IX Rieke Diah Pitaloka (PDIP)  dan Anggota Komisi XI Dolfie OFP (PDIP) itu, Uchok menilai lambanya proses audit aset Askes dan Jamsostek sebelum diserahkan ke BPJS bisa dijadikan indikasi ada kepentingan politik.

"Harusnya, BPK dan KPK bisa masuk ke sana, agar uang rakyat miskin benar-benar sampai, dan bukannya dieksploitasi untuk kepentingan politik," katanya.

Sedangkan Anggota Komisi XI Dolfie mengatakan, data pemerintah tentang rakyat miskin berbeda-beda sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan BPJS di lapanganya. Perbedaan itu, bisa dilihat dari jumlah data pemerima  Raskin, (17,5 juta) jiwa, BLSM (15,5 juta) jiwa, Jamkesmas (86,4 juta) jiwa, BPS (102 juta) jiwa, dan Bank Dunia (100-an juta) jiwa.

"Data rakyat miskin yang tidak jelas, maka sasaran pembangunan pun tidak jelas. Pemerintah ini tidak memiliki political will sehingga rakyat miskin bisa tertangani dengan baik. Tidak heran  kalau sampai ada pasien yang dibuang dan ditolak oleh pihak rumah sakit," katanya.

Sementara Anggota Komisi IX Rieke Diah Pitaloka menilai masih banyaknya rakyat miskin dan tidak mampu belum mendapatkan jaminan kesehatan, karena sistem pendataan pemerintah yang buruk.

Sehingga mereka tidak masuk sebagai penerima bantuan iruran (PBI), meskipun dalam UU No.40 Tahun 2004 telah diatur mengenai mekanisme pembayaran. Dimana untuk masyarakat tidak mampu iurannya dibayar oleh pemerintah dalam program jaminan kesehatan.

"Harusnya seluruh rakyat yang fakir miskin dan tidak mampu termasuk peserta Jamkesda, per 1 Januari 2014 otomatis sebagai peserta jaminan kesehatan pada BPJS kesehatan, yang dibayar oleh pemerintah," kata Rieke.

Rieke juga mengatakan, dalam PP No.101 Tahun 2012 tentang penerima iuran juga mengakomodie  rakyat miskin dan tidak mampu memperoleh akses jaminan kesehatan. 

"Tapi faktanya sedikitnya 10 juta jiwa rakyat miskin dan tidak mampu tidak mendapatkan akses jaminan kesehatan karena ada perbedaan pentahapan data dari sebelumnya 96, 4 juta menjadi 86,4 juta," katanya. 

Karena itu Rieke merekomendasikan pemerintah untuk membuat definisi rakyat miskin dan tidak mampu sesuai dengan semangat UU 13/2011 tentang penanganan fakir miskin, yang termasuk rakyat miskin, tidak mampu adalah setiap orang yang memiliki penghasilan/gaji sama dengan atau lebih kecil dari upah minimum kabupaten/kota.

Selain itu menolak pentahapan kepesertaan BPJS kesehatan untuk warga miskin dan tidak mampu secepatnya seluruh rakyat miskin dan tidak mampu dimasukkan menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Lalu, mendesak pemerintah agar seluruh rakyat jaminan kesehatan ditanggung APBN karena hanya diperlukan sekitar Rp 58 triliun.

Kemudian mendesak agar anggaran Rp 400 miliar dapat dialokasikan secara cepat dan tepat sasaran kepada rakyat miskin dan tidak mampu.

Terakhir memperjuangkan anggaran kesehatan dalam APBN yang mencapai 5 % sesuai UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Editor : Surya