Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kewenangan MK Tangani Pilkada Perlu Dipermasalahkan
Oleh : Surya
Kamis | 06-02-2014 | 17:32 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sengketa pilkada perlu dipermasalahkan. Masalahnya, MK menafsirkan sendiri masalah pilkada ini sehingga banyak menimbulkan keputusan prokontra dan gejolak baru di daerah.


"Coba chek, tugas utama MK ukan menangani sengketa pilkada," kata pengamat hukum tata negara, Magarito Kamis dalam diskusi bertajuk "Putusan MK dan Keabsahan Pemilu 2014," di Jakarta, Kamis (6/2/2014)

Menurut Margarito,  sengketa pilkada sebaiknya memang dikembalikan ke Mahkamah Agung seperti dulu. "Karena itu kewenangan MK harus kembali kepada tugas utama MK yang diatur dalam UUD 45 yaitu berkaitan dengan konstitusi, yakni sengketa lembaga negara, jadi tidak lagi berkaitan dengan politik praktis memenangkan hasil pilkada," terangnya.


Margarito mengakui, bangsa ini memang sudah terlatih menyimpang dari konstitusi, seperti yang terjadi di era orde lama dan orde baru. Pemilu 1971, kata dia, Ketua MPRS belum habis masa jabatannya sudah diturunkan oleh Soeharto, ini terjadi pentimpangan konstitusi. Begitu pula pada Presiden BJ Habibie yang diturunkan 1999 juga pelanggaran konstitusi.

Sementara itu, anggota DPR Ahmad Yani menyatakan,  dalam banyak hal MK sudah melampaui kewenangan yang diberikan. Tidak heran, apa yang pernah disampaikan Raja Dangdut Rhoma Irama mengenai lembaga ini supaya dibubarkan, ada benarnya. Sayang saat itu, Rhoma tidak memberi argumentasi secara akademis apa alasannya MK harus dibubarkan.

 "Sudah terjadi kekacauan setelah keluar keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilihan umum serentak itu," paparnya

Politikus PPP ini mengakui, sudah terjadi kekeliruan sejak awal  UU mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden ini.

"Partai-partai politik termasuk PPP dan partainya Pak Yusril, PBB, membiarkan pelanggaran konstitusional," ujarnya.

Ahmad Yani mengingatkan, calon presiden dan calon wakil presiden pintu masuknya hanya satu, tidak ada pintu lain, yaitu melalui partai politik. Parpol yang sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) layak mengajukan capres dan cawapres. "Tidak boleh dibatasi," tegasnya.

Dikatakan, presidential treshold atau ambang batas syarat calon presiden itu merupakan pelanggaran yang serius.

Dia meragukan apakah nanti tahun 2019 akan bisa dilaksanakan pemilu serentak 2019 seperti keputusan MK tersebut. Ia juga mempertanyakan lamanya MK memutuskan uji materi UU Pemilu Presiden oleh Effendi  Gazali.

Karena itu Yani  mendesak, MK harus cepat memutuskan gugatan materi dari Yusril Izha Mahendra, tidak perlu berlama-lama seperti memutuskan gugatan sebelumnya.

"Kekisruhan pelaksanaan konstitusi kita sekarang ini juga andilnya MK. Sebetulnya permasalahan itu terletak pada presidential  treshold," kata Yani.

Sedangkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan perlu terobosan politik untuk merevisi kewenangan MK agar pelaksanaan Pemilu 2014 tetap sah. "Keputusan MK membuat bingung masyarakat, karena itu perlu terobosan politik untuk merevisi kewenangan MK," kata Fadli Zon.

Oleh sebab itu Fadli Zon berharap tidak membiarkan kesewenang-wenangan MK tersebut karena akan terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power),  dan melenceng dari mandat yang diberikan.

"Untuk itu, Gerindra mengusulkan agar hakim MK itu bukan dari partai, melainkan negarawan yang teruji integritas dan putusan-putusan hukumnya," katanya.

Terbukti dengan keterpilihan hakim MK oleh DPR, Presiden, dan MA, maka menurut Fadli Zon, berbagai kepentingan tersebut menginstitusionalisasi melalui ketiga lembaga tersebut.

"Maka, proses rekrutmen hakim MK itu harus dirubah. Kalau tidak, berarti kita telah membiarkan keruwetan konstitusi itu sendiri," ujarnya.

Editor : Surya