Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Inilah Masalah di Industri Otomotif Malaysia
Oleh : Redaksi
Sabtu | 25-01-2014 | 12:05 WIB

BATAMTODAY.COM,  Kuala Lumpur - Malaysia belajar dari pengalaman bahwa mengedepankan kebijakan mobil nasional tidak serta merta menggairahkan industri otomotif mereka. Negeri Jiran baru-baru ini mengeluarkan apa yang disebut sebagai Kebijakan Otomotif 2014 yang memberi insentif bagi perusahaan asing untuk memproduksi kendaraan mungil yang irit bahan bakar di negara tersebut. 

Namun bukan berarti kebijakan industri otomotif mereka yang ketat bagi perusahaan asing mengendur. Ini juga bukan berarti mereka membebaskan pasar kendaraan.

Kuala Lumpur berjanji untuk ikut membantu produsen kendaraan mendapatkan lisensi pabrik, pinjaman lunak, hibah, dan insentif pajak hingga akhir 2015 sebagai balasan atas pembukaan pabrik kendaraan hibrid. Itu menjadi upaya terakhir untuk memperbaiki industri otomotif yang dihancurkan oleh Proton.

Pabrikan kendaraan yang sangat tak efisien tersebut adalah kunci visi pembangunan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Namun, alih-alih membanjiri jalanan dunia dengan Proton, pajak dan pembatasan yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan Proton memicu produsen kendaraan asing untuk hijrah ke Thailand.

Seperti biasa, korban salah kebijakan itu adalah konsumen. Warga Malaysia harus membayar tiga kali lebih besar untuk model kendaraan yang sama yang dikemudikan konsumen Amerika Serikat atau Eropa. 

Pada kampanye pemilihan umum terakhir, koalisi berkuasa berjanji bahwa harga mobil akan turun sebesar 20 - 30 persen pada lima tahun mendatang seiring dengan dihapuskannya sejumlah kebijakan pelindung Proton.

Namun, Perdana Menteri Najib Razak tidak mendukung pasar bebas. Mobil impor yang tidak irit bahan bakar dipajaki lebih dari 100 persen. Mandat yang dibutuhkan mobil impor untuk mendapat izin memenuhi kantong para makelar.

Najib sepertinya mengejar pengganti impor, mendorong para produsen asing untuk membuka pabrik. Sebagai gantinya, mereka akan mendapat akses pasar domestik dan hal lainnya. 

Kondisi tersebut akan menguntungkan asing, dan sebagian laba akan mengalir ke saku sejumlah figur. Mazda dan Honda telah berjanji membangun pabrik serta fasilitas riset dan pengembangan senilai lebih dari $682 juta dan $300 juta.

Model usaha seperti itu dikenal di Malaysia dengan sebutan Ali-Baba: si Ali atau orang pribumi memberi lindungan politik, sementara sang Baba atau mitra bisnis etnis Cina menjalankan usaha. 

Model bisnis seperti ini masih lebih baik dari Proton, tapi jauh dari efisien. Dengan kata lain, Thailand tidak perlu khawatir Malaysia akan berkembang sebagai pusat otomotif di kawasan Asia Tenggara, dan warga Malaysia masih akan terus membayar lebih mahal untuk memiliki mobil. (*)

Sumber: The Wall Street Journal