Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sebuah Catatan Untuk Hana Hikoyobi
Oleh : Redaksi
Senin | 09-05-2011 | 13:20 WIB
hana_hikoyobi.jpg Honda-Batam

Hana Hikoyobi, aktivis yang gagal dilantik jadi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP)

Oleh: Nur Fahmi Magid

"Demokrasi Pancasila itu keharusan, demokrasi itu harga mati, demokrasi itu la roiba fii" begitu Emha Ainun Najib atau biasa disapa Cak Nun, menegaskan dalam catatanya. Seolah dia ingin membuka mata bangsa ini yang sebenarnya telah salah kaprah dalam menerjemahkan "demokrasi". Baginya, bangsa Indonesia telah menempatkan demokrasi diatas segala hal urusan konstitusi, termasuk mengeliminir keberadaan Tuhan. Dia bisa memaksakan kehendak.

Demokrasi Pancasila di negeri ini adalah sebuah harga mati. Siapapun, bisa saja tak percaya Al Qur'an bukan kalimat Tuhan meski dengan tegas kitab itu menyatakan La Roiba Fii "tidak ada keraguan didalamnya". Siapapun boleh saja mengatakan Injil bukan kebenaran, tapi mereka tak akan boleh menyangkal keberadaan demokrasi Pancasila. Tak ada hukum yang bisa dikenakan bagi pembantah Tuhan, tapi jika anda, saya, kalian, atau siapa saja, melakukan pembantahan terhadap Demokrasi Pancasila, maka penjara adalah sanksinya, siap-siap dikatakan subversi. Atau minimal, hak konstitusional anda akan dihabisi.

Karena itu, dalam Undang-undang Pembentukan Parpol pun, Ideologi Pancasila adalah harga mati. Jika anda ingin mendirikan Partai berideologi Agama, maka tak diterima, apalagi ideologi yang lainya? Kelompok agama, kelompok buruh atau apapun, jika ingin membuat organisasi dan Parpol yang diakui secara konstitusi, harus menggunakan Ideologi Pancasila.

"Demokrasi di Negeri ini memang aneh, tak semudah menterjemahkan puisi,"begitu Gunawan Muhammad pernah menilai.

Wahai Jakarta, lihatlah: konstitusi bukanlah wahyu, bangsa ini bukan makhluk dongeng.

Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja. Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, kepintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan kekuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan. Kita bukan peri.

Wahai Jakarta: Konstitusi kita—yang terkadang kalian perlakukan seperti benda sakti dengan dasar ”UUD 45” itu—tak datang dalam dunia peri. Ia dirumuskan sejumlah orang yang berasal dari himpunan manusia yang konkret dan bisa saja sewaktu-waktu sakit.

Ia bahkan datang dari sebuah ketidakjelasan. Ketika sejumlah orang—kini disebut sebagai bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia—bertemu di sebuah gedung di Jakarta pada bulan Juli 1945 sebagai anggota panitia ”persiapan kemerdekaan”, mereka dianggap mewakili pergerakan rakyat ”Indonesia”. Tetapi ada yang tak mudah Kau jawab soal ini: bagaimana itu mungkin, jika kala itu ”Indonesia” belum ditentukan batasannya? Siapa Indonesia?

Wahai Jakarta: jangan terlalu kau paksakan kehendak. Demokrasi sejatinya adalah demokrasi, disana ada bagian-bagian hak konstitusi yang harus dihargai, yang harus dijunjung tinggi, bukan soal perasaan, suka atau tidak suka. Sepemikiran atau berlawanan. Semua harus seperti orkestra di musim semi, suara-suara saling mengisi, bahkan yang sumbang sekali pun. "Sesama penumpang perahu bernama "Indonesia" jangan kita mencoba melubangi tempat duduk rekan kita disebelah, karena pada akhirnya kita juga yang akan jadi korban, saat perahu itu benar-benar tenggelam"

Beberapa hari lalu, mata saya tertuju pada berita Hana Hikoyobi yang tidak dilantik menjadi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP). Padahal dia sudah terpilih dengan sah. Tapi atas dasar dianggap tidak setia terhadap NKRI, perempuan yang juga pemimpin umum Media Suara Perempuan itu harus ditanggalkan hak-haknya. Mendagri enggan melantiknya menjadi wakil rakyat Papua.

Atas dasar alasan apapun, Hana Hikoyobi yang sudah dengan sah terpilih menjadi anggota Majelis Rakyat Papua, tak boleh dibendung hak konstitusinya. Dia harus dilantik, bukan ditinggalkan hanya karena dia dianggap tidak setia pada NKRI. Siapa yang setia NKRI? Kalimat ini hanya sebuah Nilai. Dan nilai, sejatinya adalah rasa, sebuah pandangan kasat, yang muncul dari naluri pemikiran spiral kita atas sebuah tindakan yang tampak. Tak semestinya itu dijadikan pijakan untuk menanggalkan hak-hak konstitusi warga negara. Jika dianggap sumbang, tak seirama, bisa saja itu sebuah sikap penentangan yang muncul dari rasa ingin memperbaiki.Seharusnya tetap diakomodir, sehingga orkestra demokrasi mengalun seperti sajak Dalai Lama, muncul dalam kesejukan embun Tibet.

Bagaimana anda tahu saya setia NKRI atau tidak? Mengukur kesetiaan bukan hanya dari sikap yang abstrak. Dia harus lebih dalam dari itu. Kesetiaan bisa saja muncul dalam lebel "pura-pura". Saya sendiri agak meragukan petinggi Jakarta seratus persen setia pada NKRI. Buktinya, Kekayaan alam negeri ini satu persatu dilelang ke pihak Asing. Belum lagi berapa BUMN yang dikuasakan ke Negara Kaya? Apa itu yang dikatakan setia? Setia bukan sebatas kata, buka hanya kumpulan huruf yang mengandung nilai.

Tiba-tiba saya teringat kalimat Gus Dur sewaktu berita pembabtisanya dipublikasikan ke media masa. "Apa anda yakin saya masuk agama Kristen? Tuhan itu menilai apa di hati saya, bukan yang anda lihat, wong anda sendiri gak pernah tahu, bisa saja agama saya agama pura-pura?". Ya, siapapun tak bisa menilai siapapun. Karena bisa saja nilai itu mengandung salah. Sekali lagi, penilaian bukan saja berhubungan dengan hal-hal yang kasat mata. Karena bisa saja apa yang muncul dari sikap itu hanya sebatas "pura-pura". Kesetiaan pura-pura.

Dimata sebagian besar anak bangsa ini, seorang Jenderal Suharto bisa saja dikatakan sangat setia NKRI. Namun bagi Phil Gilbert, dia adalah pengkhianat sejati. Dalam Film The Rules of The World, Gilbert menyebutkan alasan lain, yakni persekongkolan Jenderal Bintang Lima itu dengan petinggi-petinggi Inggris dan Amerika. Mereka mengkapling kekayaan alam negeri ini. Papua adalah salah satu diantara yang tergadai hingga kini. Keadaan itu juga yang memunculkan suara-suara sumbang dari ratusan -orang seperti Hana Hikoyobi.

Nilai, rasa, muncul dari hati. Dia bisa saja dipengaruhi hasrat ingin menguasai. Dia tak boleh jadikan pijakan yang harus disepakati, kecuali dalam tataran pribadi.

Dengan kata lain, wahai Jakarta: tiap undang-undang dasar adalah undang-undang dasar sementara. Tiap aturan adalah kesepakatan yang bisa saja tak mewakili yang lainya. Seperti halnya UUD 45, dia hanya tanda bahwa para anggota panitia persiapan kemerdekaan dan perumus UUD 45 bukanlah sejumlah makhluk ajaib, mereka mencantumkan satu kalimat yang sederhana, rendah hati dan arif: di sana dibuka kemungkinan bahwa kelak konstitusi ini dapat direvisi. ”Jangan sekali-kali menyembah aksara!” kata Bung Karno suatu kali. Ya benar, aksara yang mewakili naluri memaksakan dan menguasai.


Penulis adalah Pemimpin Perusahaan Portal Berita Batam Today