Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Praktik Persekongkolan Kepala Daerah Dorong Praktik Korupsi di Balik Alih Fungsi Hutan
Oleh : Redaksi
Sabtu | 04-01-2014 | 11:06 WIB
images.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan, patronase atau praktik persekongkolan antara penguasa dengan para pemilik modal di daerah telah mendorong deforestasi hutan secara besar-besaran.  Momen pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kemudian hanya menjadi momen konsolidasi elit lokal dengan penguasa.

Demikian benang merah dari laporan akhir tahun 2013 ICW, yang dilansir situs pemerhati lingkungan, mongabay. Dalam laporannya itu, ICW mengambil contoh contoh dua kabupaten yang diteliti, yaitu Kutai Barat di Kalimantan Timur, dan Ketapang di Kalimantan Barat.  Berdasarkan penelitian ICW, jaringan persengkokolan di tingkat kabupaten berpusat di bupati dan para kroninya.

Momen pilkada menjadi tidak penting untuk mencari kepala daerah yang baik, melainkan momen untuk menentukan siapa patron elit berkuasa yang akan berelasi dengan pengusaha dalam periode masa jabatannya.  Praktik relasi politico-business ini kemudian terjadi antara penguasa dengan pengusaha yang bersifat patronase.

Menurut laporan ICW tersebut, kabupaten yang memiliki sumber daya alam yang kaya cenderung mengeluarkan izin untuk berbagai aktivitas pertambangan dan perkebunan di kawasan yang hutan.  Kenaikan harga komoditas tambang batubara dan minyak sawit di pasar internasional mendorong investasi besar-besaran.  Ekspansi ini membutuhkan banyak lahan, dan lahan yang lebih mudah dikonversi adalah hutan.

Bupati begitu berkuasa sehingga yang muncul adalah rent seizing (praktik mencari rente), eksekutif dapat mengontrol hampir semua suap antara birokrasi dengan pengusaha.  Dalam laporan ini Bupati mengandalkan pendanaan dari pungutan dalam pengurusan perizinan alih fungsi lahan untuk mempertahankan kekuasaan.

Modus yang digunakan adalah menempatkan kroni para kerabat bupati sebagai pemilik usaha yang kemudian diberi izin batubara.  Perusahaan yang dimiliki oleh kerabat tersebut, serta ijin yang dimilikinya, dijual ke perusahaan lain ketika bupati memerlukan dana, misalnya untuk pilkada.  

Dalam praktik persengkokolan ini, pemberian izin tidak didasarkan kepada kompetensi perusahaan, tetapi semata-mata untuk membiayai biaya politik bupati dan kerabatnya.

Dalam penelitian ini, terlihat bagaimana praktik korupsi, misalnya di Kabupaten Ketapang, dalam alih fungsi lahan dan pemberian izin masih berlangsung meskipun rezim telah berganti. Bupati yang baru mengikuti pola persengkokolan bupati lama.

Sementara di Kabupaten Kutai Barat, bupati terpilih, Ismael Thomas, memiliki relasi yang sangat erat dengan para pengusaha yang membiayai kampanye politiknya. Selain dengan para pengusaha, bupati juga memelihara hubungan dan jaringan yang kuat dengan berbagai organisasi kemasyarakatan dan keolahragaan. Sedangkan untuk terus mendapat dukungan bupati menempatkan kerabat dan anaknya sebagai kader yang berafiliasi dengan partai politik.

Hal serupa terjadi di Kabupaten Ketapang. Bupati yang menjabat pada 2000-2010, Morkes Effendy, diduga kerap memanfaatkan sumber daya alam untuk mengumpulkan biaya politik, termasuk mengobral izin pada sektor kayu, kelapa sawit, dan pertambangan. Bahkan dalam beberapa perusahaan tambang, tercatat nama anak bupati dalam akta pendiriannya.

Meskipun Morkes pada Pilkada 2010 dikalahkan oleh wakilnya, Henrikus, namun praktik patronase tetap berlangsung dalam konfigurasi baru.  Anak Henrikus misalnya, menjadi Pejabat Unit Pengadaan Barang dan jasa di Dinas Pekerjaan Umum, termasuk menempatkan para kerabatnya dalam tender proyek pemerintah.

Dalam penelitian ini, ICW menyerukan agar Pemerintah segera melakukan peninjauan ulang kepada ijin yang telah dikeluarkan, terutama yang diduga menyalahi prosedur, tumpang tindih dan dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekologi.  Demikian pula memastikan tidak terjadi konflik kepentingan untuk mencegah konsesi diberikan kepada keluarga atau kroni yagn tidak memiliki kapasitas dalam mengelola perkebunan dan pertambangan.

Terkait dengan aturan yang ada yaitu PP Nomor 10/2010 juncto PP Nomor 60/2012 tentang Alih Fungsi Kawasan Hutan, ICW mendesak agar terdapat aturan yang mengatur tentang biaya, karena selama ini belum diatur soal besaran biaya ini yang akhirnya justru menjadi sumber dari praktik korupsi. (*)

Sumber: Mongabay