Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Vietnam, Facebook dan Tambang
Oleh : Redaksi/TN
Sabtu | 07-05-2011 | 10:50 WIB

Sejak kedatangan di Hanoi – ibukota Vietnam,  saya tak bisa mengakses facebook. Rupanya sudah beberapa bulan lalu, facebook dilarang di Vietnam. Salah satu penyebabnya ternyata adalah tambang.

Meredanya perang bersenjata dan komunis mulai membuka diri di Vietnam pada era 1990-an, banyak perubahan terjadi. Salah satunya  informasi. Website dan blog mulai menemukan penggemar di sana. Apalagi sejak orang-orang bisa mengkases blog dari Google, mereka menyebutnya blog 360. Blog menjadi media populer untuk mengungkapkan rasa, tentang apapun, peristiwa keseharian, omelan antar teman hingga ketidakpuasan pada pemerintah. Ini mulai membuat pemerintah Republik Sosialis Vietnam gerah. Entah bagaimana prosesnya, yang jelas Google kemudian menutup fasilitas blog gratis itu. Saat itu, facebook belum banyak dilirik orang.  Tapi sejak blog  360 kemudian ditutup, facebook pun membumi.

Pemakai facebook tentu banyak orang-orang kota, terutama Hanoi, Ho Chi Minh dan Saigon - tiga kota terbesar di Vietnam. Seperti Jakarta, Hanoi sesak dengan manusia, motor dan polusi. Lalu lintas memang lebih padat di Jakarta, tapi lalu lalang kendaraan lebih semrawut di sini. Lampu merah kerap tak ditemui di perempatan jalan.

Orang-orang terpelajar banyak tinggal di Hanoi dan kota-kota besar lainnya di Vietnam. Dan biasanya tumpahan kegelisahan dimulai di sini, dari gumaman dan ketidakpuasan mereka. Setidaknya, itu yang terjadi saat sebuah tambang bouksit skala raksasa akan dibuka.

Oktober tahun lalu, sebuah ajakan untuk menghentikan tambang bouksit di kawasan pegunungan tengah Vietnam menyeruak lewat website dan facebook. Ini bukan seruan dunia maya yang pertama sejak pemerintah Vietnam mengumumkan akan membuka tambang bouksitnya.

Ternyata Vietnam tak hanya membuka diri untuk informasi, mereka juga membuka lebar-lebar masuknya investasi, khususnya tambang. Awal 2008, pemerintah Vietnam mengumumkan rencana mengekstrak bijih bouksit di kawasan dataran tinggi  bagian tengah Vietnam, rumah bagi 30 etnis minoritas Vietnam dan pusat keragaman hayati  yang sensitif. Kawasan ini berada pada bagian atas dataran rendah Mekong yang padat populasinya. Kelompok pemerhati lingkungan
mengkhawatirkan Tambang akan berdampak pada ratusan ribu warga sekitar.

Aluminium Corporation of China (Chinalco) menawarkan proyek patungan untuk membongkar cadangan bouksit di propinsi Lam Dong dan Dak Nong. Proyek inimenuai kontoversi, khususnya karena kawasan itu telah ditetapkan menjadi kawasan budaya warisan dunia (world heritage) oleh UNESCO. Menurut mereka kawasan ini harus dilindungi. Apalagi Vietnam juga salah satu penandatangan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dan Konvensi Hak Anak.
Harusnya mereka memiliki komitmen moral dan tanggung jawab hukum untuk melindungi dan melestarikan kawasan dataran tinggi tengah itu.

Para akademisi juga gerah. Mereka mengingatkan manfaat dan ongkos ekonomi proyek yang membutuhkan listrik lumayan besar, sementara pasokan listrik dalam negeri saja tak mencukupi. Rencana pembangunan jalur  kereta api sepanjang 250 kilometer dan pelabuhan khusus untuk kebutuhan proyek juga ikut disoroti. Apalagi, alumina yang diproduksi akan dijual murah, kepada pembeli tunggal - China. Tak cuma itu, kekhawatiran mereka terhadap dominasi pekerja dari China juga menyeruak, mengingat saat ini sudah ada  ratusan
pekerja China yang sekarang bekerja di sana. Mereka menganggap itu ancaman bagi keamanan Negara.

Meskipun hal terakhir itu dibantah pemeritah, kekhawatiran terhadap ancaman keamanan karena kehadiran China juga disuarakan para pensiunan militer yang dulunya tokoh-tokoh penting Vietnam.  Diantaranya jenderal Nguyen Vo Giap – mantan Menteri Keamanan. Nguyen orang penting, ia mantan pimpinan tertinggi perang  Indochina (1946–1954) dan perang (1960–1975). Suara-suara oposisi seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Selama beberapa bulan kemudian, artikel-artikel kritis di koran progresif terus muncul, bahkan menguat  lewat blog. Mau tak mau pemerintah harus menanggapi suara-suara vokal itu. Lantas mereka menggelar sebuah konferensi mendiskusikan masalah tersebut. Mereka ingin menunjukkan itikat baik, kemauan mendengar para pengkritik. Tapi tentu bukan untuk mengindahkan saran mereka. Cukup mendengarkan. Partai Komunis yang berkuasa menyatakan proyek akan diwajibkan membuat Analisis mengenai dampak lingkungan – yang
belakangan hasilnya tak pernah diumumkan kepada publik.

Ujungnya, Perdana Menteri Nguyen Tan Dung mengumumkan kelanjutan proyek di dua lokasi, Lam Dong dan Dak Nong.

Sekelompok akademisi terkemuka lantas meluncurkan kampanye petisi online pada 12 April 2009, beberapa hari setelah konferensi diselenggarakan. Ini petisi pertama. Isinya, seruan kepada para pemimpin Vietnam menghentikan rencana penambangan. Tak lama, 2746 tanda tangan dukungan mereka dapat. Ajakan ini juga terkirim ke lembaga-lembaga negara, para pensiunan dan pejabat militer, juga aktivis politik dan profesional Vietnam di luar negeri. Bahkan sebuah doa bersama digelar para pendeta yang dihadiri ribuan umat di depan gereja Tai Ha di pusat kota Hanoi, mendukung penolakan tersebut.

Tak sampai delapan bulan, seruan itu menarik hampir 20 juta pengunjung website  – pertama kali terjadi di Vietnam. Ini memicu kegeraman rejim Komunis yang berkuasa. Asia Times online memberitakan, sang webmaster pengelola website ditahan dan dipaksa menyerahkan password. Juga serangkaian tindakan yang membuat website tersebut akhirnya ditutup.

Meskipun masih dalam serangan hacker tak dikenal, website kembali aktif awal tahun lalu. Tapi dua tahun terakhir, polisi rutin menginterogasi para penggagas kampanye dan menahan beberapa penandatangan petisi. Tapi suara penolakan justru menguat, terutama saat sebuah peristiwa luar biasa terjadidi belahan dunia lain, di Hungaria – 8 ribu kilometer lebih dari Hanoi.

Saat itu - 4 Oktober 2010,  dunia dihebohkan oleh 697 juta liter lumpur merah tailing jebol dari  penampung tailing milik perusahaan Magyar Alumínium ZRt (MAL  - Hungarian Aluminum Co) di Hungaria. Lumpur merah limbah pengolahan bouksit menjadi alumina ini menghantam kawasan dibawahnya dan membanjiri pemukiman Kolontár, Devecser dan Somlóvásárhely seluas sekitar 800 ha. Sedikitnya 8 orang meninggal, dan  120 lainnya luka-luka. Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban menyebut ini bencana ekologi terbesar di negaranya.

Lumpur merah ini akhirnya mengalir memasuki sungai Danube, sungai terbesar kedua di Eropa.  Pada 5 Oktober 2010, Greenpeace mengambil sample dan menganalisi kandungan lumpur merah ini. Hasilnya dilaporkan tak sampai seminggu kemudian.  Lumpur itu mengandung  berbagai jenis logam berat berbahaya, mulai 110 mg/ kg  Arsenic, 1.3 mg/kg  Mercury, 660 mg/kg Chromium, 40 mg/kg Antimony, 270 mg/kg Nickel, and 7 mg/kg Cadmium.

Jebolnya penampung tailing ini membangunkan penolakan tambang Bouksit di Vietnam. Kali ini  tak hanya lewat website tapi juga facebook, judulnya “Stop Another Hungary Environmental Catastrophe in the Central Highlands of Vietnam petition to Vietnam’s National Assembly”.  Petisi ini mendapat dukungan luas, lebih dari sebelumnya. Dukungan bahkan mengalir dari anggota Majelis Nasional, Nguyen Thi Binh -  mantan wakil presiden dan negosiator Kesepakatan Paris 1973, Dang Hung Vo – mantan deputi menteri sumber daya alam dan lingkungan, bahkan Nguyen Minh Triet – adik presiden juga memberikan dukungan. Meluasnya dukungan dari para mantan militer saat itu juga dipicu kejengkelan mereka terhadap penangkapan kapal-kapal nelayan Vietnam oleh militer China diperbatasan perairan, laut China selatan.

Tapi pemerintah tak mau berhenti.  Surat Kabar milik Negara memuat pernyataan pemerintah lewat Deputi Menteri Perdagangan dan Industri, Le Duong Quang – yang juga pimpinan Vietnam National Coal-Mineral Industries Group, mitra Chinalco yang akan mengelola tambang Bouksit. Ia menyatakan para pendukung petisi itu salah,  proyek tambang tersebut aman.  Dan penangkapan-penangkapan para aktivis juga terus berlanjut. Salah satu yang kontroversial adalah penangkapan Vu.

Cu Huy Ha Vu, 53 th, bukan orang biasa. Ia aktivis HAM, sarjana hukum lulusan  Universitas Sorbonne Paris. Ayahnya, Cu Huy Bisa adalah rekan dan mantan anggota kabinet Ho Chi Minh. Ibunya, Ngo Thi Xuan Nhu juga mantan perawat pribadi Ho Chi Minh. Vu adalah keponakan Xuan Dieu, penyair paling terkenal di negeri itu. Pada 2009, Vu mengajukan perdana Menteri Vietnam ke pengadilan Rakyat Hanoi dengan tuduhan menyetujui rencana penambangan bouksit di Dataran Tinggi Tengah yang akan menyebabkan kerusakan lingkungan, mengancam keamanan nasional dan warisan budaya. Gugatan ditolak empat hari setelah diajukan.

 Vu ditangkap Nopember tahun lalu. Human Rights Watch menyebut kasus Vu sebagai salah satu kasus pembangkang politik paling penting dalam sejarah Republik Sosialis Vietnam. Awal April 2011, Pengadilan Rakyat Hanoi menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara, disusul 3 tahun tanahan rumah. Ia dituduh menyebarkan artikel dan wawancara dengan media asing yang mengkritik negara antara 2009 dan 2010. Ia dihukum karena  menyebarkan propaganda melawan Negara, yang membahayakan dan mencederai kepentingan Negara dan rakyat.

Sidang Vu menuai reaksi publik Vietnam dan internasional. Departemen Luar Negeri AS mengatakan kasus  Vu melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan secara serius mempertanyakan komitmen Vietnam menegakkan hukum dan reformasi. Departemen Luar Negeri Vietnam (MOFA), menolak tuduhan itu dan menyebutnya sebagai “intervensi terhadap urusan dalam negeri  Vietnam." Saat putusan pengadilan Vu berlangsung, 4 April lalu, Asia News.itu memberitakan polisi menangkap  29 orang yang akan menghadiri sidang  itu.

Ngototnya  Perdana Menteri Nguyen Tan Dung meneruskan tambang bouksit ini mengundang pertanyaan banyak pihak. Sebuah laporan beredar di blog tahun lalu, menyebutkan ia dicurigai telah menerima 150 juta dolar untuk mendukung proyek ini. Tan Dung tak pernah memberikan klarifikasi tentang berita itu.

Bersama gencarnya dukungan penolakan, pemerintah Vietnam memutuskan menutup facebook di sana.

 

Hanoi, 26 April 2011

Penulis: Siti Maimunah, anggota Bada Pengurus JATAM, Tim Kerja Perempuan & Tambang (TKPT), juga aktif di Forum Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Iklim (CSF).