Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rapatkan Barisan Perjuangan Politik Nahdatul Ulama

Kader NU di Berbagai Parpol Bentuk ForsiNU
Oleh : Surya
Sabtu | 07-12-2013 | 19:49 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Para politisi Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai partai politik (parpol) membentuk  Forum Silaturrahim Politisi Nahdlatul Ulama (ForsiNU) guna merapatkan barisan perjuangan para kader nadhliyin di dalam politik.



ForsiNU diharapkan dapat memperjuangkan ideologi, visi, dan misi NU dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya melalui politisi yang ada di semua partai. Sebab, pemutlakan satu alat perjuangan politik tidak dibenarkan.

Kader nahdylin yang tergabung dalam ForsiNU itu berasal Partai Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Partai Hanura, PBB, dan PKPI.

Demikian disampaikan deklarator ForsiNU Ahmad Effendy Choirie pada wartawan di Gedung PBNU Jakarta, kemarin (6/12/2013).

"Mengingat NU tak pernah lelah dalam mencintai dan mempertahankan NKRI, sebelum merdeka maupun saat ini. Sejak Khittah NU 1926, NU tidak lagi berada dalam satu wadah perjuangan politik karena kembali sebagai jam'iyyah diniyah ijtima'iyah (organisasi keagamaan masyarakat). Jadi NU tidak kemana-mana, tapi ada dimana-mana, termasuk di politik manapun," kata Effendi Choirie.

Menurut Effendi, watak politik NU yang heterogen telah membentuk karakter politik yang tak pernah monolitik.

Sehingga upaya untuk membentuk partai politik NU guna menyatukan suara politik kader nahdliyin selalu gagal dilakukan. 

"Karena itu pemutlakan satu alat untuk perjuangan politik tidak dibenarkan. NU tidak perlu memutlakkan satu alat untuk mencapai tujuan perjuangannya. Dan kenyataan bahwa kader NU tersebar ke dalam berbagai partai politik dan mereka berkomitmen untuk ikut membesarkan NU meskipun berbeda partai," katanya.

Meskipun berkiprah di berbagai partai, kata Effendi, para kader nadhlyin tetap akan kembali ke rumah besar NU. Sehingga untuk menjalin silahturahmi antar kader nadhlyin di berbagai partai politik, maka dibentuk ForsiNU. 

"ForsiNU juga bertujuan membangun kebersamaan, meningkatkan kesalingpahaman, dan kerjasama strategis demi kebesaran dan kemasalahatan jam'iyyah-organisasi NU," katanya. 

Deklarasi dilakukan dan diresmikan oleh Wakil Ketua Umum PBNU KH.As'ad Said Ali di Gedung PBNU Jakarta, pada Rabu (4/12/2013). Hadir antara lain Hj. Lily Khotijah Wahid (Hanura), A. Mujib Rachmat (Golkar), Isa Muchsin (PPP), Abdul Kholiq Ahmad (PAN), M. Falakh (PDIP), M. Arfin Hakim (PKB), dan politisi dari Gerindra, PKPI dan lain-lain.

Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) adalah kenyataan sejarah yang tidak mungkin diingkari oleh bangsa Indonesia dalam seluruh cakupan aspek dan dimensinya.

NU terlibat dalam merebut, mempertahankan, mengawal, dan mengisi kemerdekaan dengan kiprah pergerakan yang menonjol, meski tidak semuanya ditulis oleh tinta emas sejarah.

NU juga  terlibat aktif merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah dengan membentuk laskar Sabilillah-Hizbullah.

Dalam proses awal pendirian negara, NU melalui KH A Wahid Hasyim ikut serta merumuskan dasar dan sendi-sendi negara Pancasila yang mengakui kebhinekaan.

Resolusi Jihad yang dikumandangkan Rais Akbar NU, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945, adalah lentera yang mengobarkan api jihad para pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan.

NU terus berkiprah mengawal NKRI dan ideologi Pancasila dengan memberi gelar Presiden Sukarno sebagai waliyyul amri al-dlaruri bi al-syaukah pada 1953, yang merupakan bentuk pengukuhan keabsahan pimpinan negara nasional dari rongrongan gerakan DI/TII.

Sebagai wujud pengakuan terhadap negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila, NU membentuk partai politik dan menyemarakkan Pemilu 1955 sebagai jawara ketiga setelah PNI dan Masyumi.

Bersama Tentara Nasional Indonesia, NU ikut menumpas gerakan G 30 S/PKI yang hendak mengubah dasar dan ideologi negara Pancasila pada 1965.

Pada masa Orde Baru, NU adalah organisasi kemasyarakatan Islam pertama yang memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas sekaligus menegaskan NKRI sebagai bentuk final negara (mu'ahadah wathaniyyah) dalam Muktamar ke 27 NU di Situbondo tahun 1984.

NU terbukti tidak pernah letih mencintai Indonesia, meskipun mengalami peminggiran politik selama Orde Baru berkuasa. Ruang gerak NU dibatasi, baik dalam aspek politik, peluang ekonomi, maupun keleluasaan dakwah. Pengerdilan ruang politik NU dilakukan dengan fusi paksa Orde Baru terhadap semua kekuatan politik Islam.

NU kemudian mendeklarasikan gerakan kembali ke Khittah, yaitu kembali sebagai jam'iyyah diniyyah ijtima'iyyah dan berjarak dengan semua partai politik. NU keluar dengan slogan: Tidak kemana mana tetapi ada dimana-mana.

Aspirasi politik warga NU kemudian terdiaspora ke banyak tempat. Watak politik NU yang heterogen terus berlanjut dan membentuk karakter politik NU yang tidak pernah monolitik.

Mereka berjuang dari banyak tempat dan dengan berbagai alat, untuk kemudian bertemu di NU sebagai ruang pengkhidmatan melalui komitmen, partisipasi, dan sharing program.

Upaya untuk menghomogenkan kembali suara politik NU tidak sepenuhnya berhasil, terbukti suara Partai NU pada Pemilu 1955 mencapai 18.4, persen, sementara suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang dibidani kelahirannya oleh PBNU, hanya 12.6 persen pada Pemilu 1999, sekitar 10 persen pada pemilu 2004 dan merosot tajam pada pemilu 2009 yang hanya sekitar 4 persen.

Fakta kemajemukan aspirasi politik warga NU ini harus diterima dengan lapang dada sebagai kenyataan sejarah. Adalah nyata bahwa suara politik warga NU sangat besar dan signifikan, karena itu tidak cukup ditampung ke dalam satu wadah perjuangan.

Adalah fakta bahwa implementasi Khittah 1926 mengharuskan unsur-unsur pimpinan NU di semua tingkat untuk mengayomi, melindungi, dan membina seluruh kader kader NU yang berjuang untuk kepentingan dan kebesaran jami'yyah Nahdlatul Ulama melalui berbagai alat politik.

Substansi yang perlu digarisbawahi adalah alat (washilah) harus dilindungi, sejauh dia mengantarkan kepada tujuan (ghayah).

Karena itu, pemutlakan satu alat untuk perjuangan tidak dibenarkan, sebagaimana halnya pemutlakan tujuan tidak dibenarkan dengan menggunakan semua alat (al-ghayah la tubarrirul washilah).

Partai politik adalah alat perjuangan, karena itu NU tidak perlu memutlakkan satu alat untuk mencapai tujuan perjuangannya.

Kenyataan bahwa kader-kader NU tersebar ke dalam berbagai partai politik dan mereka berkomitmen untuk ikut membesarkan NU dari banyak jalur merupakan fakta yang membesarkan hati.

Mereka masuk dari berbagai pintu (min abwabin mutafarriqah) untuk kemudian kembali ke rumah besar Nahdlatul Ulama.  

Bertolak dari latar belakang dari sejarah panjang perjuangan NU inilah, para politisi NU dari berbagai partai politik  berinisiatif membentuk Forum Silaturrahim Politisi Nahdlatul Ulama disingkat ForsiNU.

ForsiNU bertujuan membangun kebersamaan, meningkatkan kesaling pahaman, dan kerjasama strategis demi kebesaran dan kemaslahatan  jami'yyah Nahdlatul Ulama.

ForsiNU juga diharapkan akan menjadi jembatan emas yang menghubungkan seluruh kader NU lintas parpol ke dalam sinergi, koordinasi, dan kooperasi dalam rangka meningkatkan peran dan marwah politik kenegaraan, kerakyatan, dan kemanusiaan NU sebagai penjelmaan politik adiluhung (al-siyasat al-ulya), dan implementasi nyata Khittah NU 1926.

Karena itu, ForsiNU mengundang seluruh politisi NU untuk bergabung dan membesarkan NU dengan berbagai alat perjuangan politik, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah yang menyebar diseluruh wilayah nusantara.

Editor : Surya