Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lumpur Lapindo: Jerat Penguasa dan Pemodal
Oleh : Redaksi/TN
Selasa | 03-05-2011 | 10:00 WIB

Oleh: Fitra Firdaus Aden

Hari Senin, 29 Mei 2006 takkan dapat dilupakan begitu saja oleh rakyat Indonesia. Ketika itu, berselang tiga hari pasca gempa bumi berkekuatan 5,9 Richter yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah, muncul semburan gas dan lumpur ke permukaan tanah akibat kegagalan pengeboran yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas dua hari sebelumnya, 27 Mei 2006.

Dengan dalih bahwa peristiwa menyemburnya gas dan lumpur ini hanya berjarak tiga hari dari gempa Yogya, PT. Lapindo Brantas “berlepas dari tanggung jawabnya” dan Tragedi Lumpur Lapindo disulap menjadi bencana alam oleh pemerintah.

Begitu banyak kepentingan yang bermain dalam tragedi ini, terutama sekali antara penguasa dan pemodal, yang keduanya menjadi kawan penting dalam mengendalikan sebuah negara bernama Indonesia ini.

Menghapus Jejak

 Tahun 2004, masa Pemilu, jauh hari sebelum kasus Lumpur Lapindo, Bakrie Group memiliki kedekatan dengan SBY-JK yang saat itu mencalonkan diri sebagai Presiden-Wakil Presiden. Melalui pernyataan JK pada 2008, Bakrie mendanai kampanye SBY-JK. JK menyampaikan, “Setahu saya, (Bakrie) bukan yang terbesar. Semua ada di laporan (dana kampanye) kami. Saya tidak tahu detailnya karena banyak juga yang menyumbang satu-dua juta rupiah”.

Padahal, dalam data laporan dana kampanye SBY-JK yang disampaikan kepada KPU pada 2004, menurut penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW), tidak ada nama keluarga Bakrie atau perusahaan mereka yang tercatat sebagai penyumbang dana kampanye SBY-JK. Artinya, dengan dalih apa pun, ada dana dari Bakrie yang disembunyikan dan tidak dilaporkan. Bisa jadi karena dana tersebut melewati kuota maksimal*) yang ditentukan KPU dan bisa jadi pula karena hal lain. Kita dapat berasumsi “pertolongan dana Bakrie” pada Pemilu inilah yang membuat SBY-JK melindungi kasus Lumpur Lapindo. Jika dana tersebut memang benar-benar tidak ada (Bakrie tidak membantu SBY-JK), kita bisa melihat betapa baiknya penguasa melindungi Bakrie; terutama berkaitan dengan penciptaan Keppres dan Perpres yang di sisi luar pro-rakyat, tapi di sisi dalam pro-Bakrie.

Berlindung di Bawah Ketiak Penguasa
Penerbitan Keppres Nomor 13/2006, Keppres Nomor 5/2007, Perpres Nomor 14/2007 cenderung menghindarkan Lapindo dan Bakrie Group dari tanggungjawabnya. Presiden sempat menciptakan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo (Timnas PSLS) diberi mandat kerja selama setahun dengan dana operasional yang berasal dari PT. Lapindo Brantas. Kemudian, tim ini berubah nama menjadi BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dengan biaya administrasi yang didanai APBN. Puncaknya, berkat Perpres Nomor 14/2007, sekitar 3 triliun dana APBN dikucurkan untuk “membayarkan” dampak kelalaian pengeboran Lapindo selama 2007-2009. Rinciannya, pada 2007 negara menyetor 450 miliar, pada 2008 sejumlah 1,57 triliun, dan pada 2009 sekitar 1,147 triliun. Penamaan BPLS sendiri bukan tanpa alasan.

Sejak awal, indikasi bahwa penguasa (pihak yang menerbitkan Keppres dan Perpres) ingin mengalihkan tanggung jawab Lapindo bisa diendus dari penamaan ini. Ketika belum ada pembenaran hukum atas melimpah. Lapindo (keputusan MA sebagai pemutus perkara terakhir, bahwa Lapindo tidak bersalah dan semburan lumpur terjadi karena bencana alam secara resmi baru muncul pada 2009), pemerintah sudah “menghakimi” bahwa tragedi lumpur tersebut bukan Lumpur Lapindo (semburan lumpur yang disebabkan Lapindo), tapi Lumpur Sidoarjo (semburan lumpur yang terjadi di Sidoarjo karena bencana alam). Pemerintah memang di satu sisi mendesak PT Lapindo Brantas untuk tidak lepas tanggung jawab, tapi di sisi lain penguasa menggunakan jalan lain untuk menyelamatkan PT milik koleganya.

Langkah Hukum Sia-Sia

Perjuangan korban Lumpur Lapindo tidak hanya mengandalkan pemerintah. Bersama YLBHI (YayasanLembaga Bantuan Hukum Indonesia) mereka melawan Bakrie Group di meja hijau. Proses pengadilan berlanjut hingga  Mahkamah Agung. Tapi, sejak tingkat PN (Pengadilan Negeri) hingga MA pada 28 Mei 2o09, semuanya memenangkan Lapindo. Menanggapi kasasi MA, Polda Jawa Timur menerbitkan SP3 dengan kalimat “penyidikan tidak bisa dilanjutkan karena tidak ada bukti dan menurut MA tidak terjadi perbuatan melawan hukum atas kegiatan pengeboran di Sumur Banjar Panji I oleh PT Lapindo Brantas”. Intinya, bencana Lapindo adalah bencana alam. Bagi pengadilan, barangkali Gempa Yogya lebih mampu membuat lumpur keluar dari perut bumi daripada pengeboran Lapindo.

Penguasa dan Korporat

Dalam negara demokrasi yang kita bangga-banggakan ini, penguasa dan korporat saling membutuhkan satu sama lain. Penguasa (pemerintah) memerlukan dana segar dari korporat untuk naik tahta atau kelak melanggengkan kekuasaan. Sementara itu, korporat membutuhkan beking pemerintah untuk menyelamatkan aset perusahaan mereka atau sekadar “memenangkan proyek-proyek khusus” berpendapatan melimpah. Kasus Lapindo, jika berhasil dibuka simpul-simpul terumitnya, hanya akan membuka borok penguasa dan korporat tersebut. Mereka menghalalkan segala cara demi meraup keuntungan termasuk dengan menyetir pola pikir rakyat yang konon dalam negara demokrasi memiliki kekuasaan tertinggi. Jadi, masihkah demokrasi berlaku di negara kita?

Keterangan;
*)  Dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 pasal 43, telah diatur bahwa “Sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp100.000.000,00 dan dari badan hukum swasta tidak boleh melebihi Rp750.000.000,00”. Sementara itu, dalam UU yang sama, pada pasal 89, pihak yang “dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 bulan atau paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 atau paling banyak Rp10.000.000,00.

 

Penulis adalah pengamat sosial dan penulis beberapa buku.