Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Empat Anggota DPD Kepri Gunakan Hak Bertanya kepada Presiden Tolak Kebijakan Mobil Murah
Oleh : Surya
Jum'at | 25-10-2013 | 16:10 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Sebanyak 96 Anggota DPD RI dari 132 Anggota DPD sepakat menggunakan hak bertanya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kebijakan mobil murah (Low Cost Green Car/LGCC), termasuk empat  Anggota DPD asal Kepulauan Riau (Kepri).

 
Namun penggunaan hak bertanya 96 Anggota DPD ini, tidak didukung oleh Ketua DPR Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD GKR Hemas yang tetap menyatakan mendukung kebijakan pemerintah tersebut.

Sedangkan Wakil Ketua DPD Laode Ida mendukung dan ikut menandatangani hak bertanya kepada Presiden SBY soal kebijakan mobil itu yang digagas oleh Anggota DPD asal DKI Jakarta AM Fatwa.

Sementara Anggota DPD asal Kepri Riau yang menggunakan hak bertanya kepada Presiden dan membubuhkan tandatangan menolak kebijakan mobil murah adalah Aida Z Nasution Ismeth, Zulbahri Madjid, Hardi S Hood dan Djasarmen Purba. 

Usulan penyampaian hak bertanya Anggota DPD disampaikan AM Fatwa mewakili 96 Anggota DPD RI dalam Rapat Paripurna ke-6 Penutupan Masa Sidang I Tahun 2013-2014 yang dipimpin Ketua DPD Irman Gusman di Jakarta, Jumat (25/10).

Fatwa meminta Presiden SBY  menjelaskan pertimbangan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut melalui penerbitan PP.No.41/2013 dan Permen No.33/M-IND/PER/7/2013 tentang pengembangan produksi kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi, dan harga terjangkau.

"Kebijakan ini akan makin memperparah kemacetan di berbagai kota besar, bukan hanya Jakarta saja tetapi juga kota-kota yang belum memiliki sistem transportasi publik yang terintegrasi baik," kata Fatwa.

Menurut Fatwa, tingginya permintaan mobil murah ditengah rendahnya lifting minyak nasional akan makin menyebabkan  ketergantungan pada BBM impor.

"Kebijakan apa yang akan ditempuh saudara Presiden untuk mengendalikan kepemilikan mobil mahal dari mereka yang sudah memiliki mobil, tapi terus menambah jumlah mobil pribadi, dan keluarga untuk mengimbangi permintaan mobil murah," tanya Fatwa kepada Presiden SBY.

Kebijakan apa yang akan diambil Presiden, kata Fatwa, jika ternyata produsen mengimpor secara utuh bahan baku atau kandungan lokalnya tidak memenuhi syarat 80 %. "Atau langkah apa yang akan diambil untuk memastikan program mobil murah itu akan memenuhi syarat komponen lokal minimal 80 persen?” tanya Fatwa lagi.

Fatwa menambahkan, kebijakan apa yang akan ditempuh Presiden agar kebijakan mobil murah tidak hanya terkesan sebatas kebijakan populis untuk mendongkrak citra positif pemerintah yang tengah terpuruk di mata publik. Sebab, DPD berpandangan  pemerintah belum memiliki cetak biru (blue print) dalam membangun daya saing industri otomotif nasional.

"Apakah ada kebijakan khusus dari Saudara Presiden di bidang infrastruktur dan moda transportasi yang sesuai kebutuhan setempat dan secara ekonomi relatif murah? Apakah kebijakan mobil murah itu merupakan nama lain dari kebijakan mobil nasional? Adakah cetak biru  itu telah mengalami uji publik dan mendapat dukungan semua pihak termasuk lembaga-lembaga legislatif, sesuai kewenangan yang diberikan konstitusi".

Kebijakan mobil murah, lanjutnya, sebenarnya bertentangan dengan pernyataan Presiden pada pertemuan G-20 Pittsburgh September 2009  lalu, yang sepakat mencanangkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 % pada tahun 2020, berdasarkan sekenario businnes as usual (BAU).

"Sementara dengan kebijakan mobil murah itu akan menimbulkan konsekuensi logis seperti kemacetan, memburuknya kualitas udara di kota-kota besar, dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat," katanya.

Hal itu berdasarkan proyeksi Bappenas RI dan Japan International Cooperation Agency (JICA) yang akan muncul kerugian ekonomi sebesar Rp 28,1 triliun, dan kerugian nilai waktu perjalanan mencapai Rp 36,9 triliun, bila tidak ada perbaikan sistem transportasi Jabodetabek sampai 2020.

"Sementara itu perhitungan Kementerian Lingkungan Hidup akibat pencemaran udara di Jakarta jumlah biaya kesehatan yang dikeluarkan mencapai Rp 38,5 triliun. Sedangkan berdasarkan Rilis data Infrastructur Patnership and Knowledge Center ongkos sosial kemacetan di Jakarta mencapai Rp 68 triliun per tahun," tandas Fatwa.

Editor : Surya