Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Tetap Minta Presiden Jelaskan Alasan Terbitkan Perppu Penyelematan MK
Oleh : Surya
Senin | 07-10-2013 | 19:55 WIB
Akil-Mochtar2.jpg Honda-Batam

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar

BATAMTODAY.COM - Jakarta - Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap Pilkada Gunung Mas (Kalimantan Tengah) dan Lebak (Banten) membuat kepercayaan rakyat kepada MK runtuh.


Namun, dalam kondisi itu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa mengeluarkan Perppu? Itulah yang harus dijelaskan oleh pemerintah, apakah sudah tepat dengan menerbitkan Perppu tersebut?

"Apakah mengeluarkan Perppu itu sudah cukup alasan yang memaksa dan kegentingannya untuk MK sekarang? Kegentingan yang seperti apa? Juga soal pengawas MK oleh Komisi Yudisial (KY) itu sendiri sudah dibatalkan oleh MK sendiri, apa Perppu itu untuk mengembalikan kewenangan KY?"tanya Wakil Ketua MPR RI M. Lukman Hakim Saifuddin dalam diskusi 'Runtuhnya Benteng Keadilan MK' bersama praktisi hukum Refly Harun, dan pakar hukum tata negara Irman Putrasidin di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (7/10/2013).

Menurut Wakil Ketua Umum DPP PPP itu memberikan kewenangan KY untuk MK dengan menerbitkan Perppu itu tidak etis, apalagi kewenangan itu sudah dibatalkan oleh MK.

"Kita memang prihatin, dan sedih dengan kondisi MK saat ini, tapi jangan sampai MK dibubarkan. Mestinya Majelis Kehormatan MK memberhentikan Akil Mochtar dengan tidak hormat," ujarnya.

Pemberhentian Akil tak usah menunggu keputusan Presiden dan DPR RI, karena alasan hukumnya sangat kuat dengan tertangkap tangannya Akil oleh KPK, ditambah lagi ada ganja dan narkoba di laci ruangan Ketua MK tersebut.

"Begitu juga untuk menentukan Ketua MK yang baru. Dari 8 hakim MK yang ada, itu sudah bisa memilih salah satunya menggantikan Akil Mochtar," katanya.

Irman menilai Presiden tidak meminta persetujuan DPR untuk menerbitkan Perppu, karena akan menjadi UU.
"Kalau Presiden minta masukan dan persetujuan DPR untuk menerbitkan Perppu, harusnya gak perlu ada DPR kalau Perppu itu nantinya menjadi UU. Jadi, haram bagi DPR membantu presiden untuk menyusun Perppu. Bukan masalah setuju atau tidak dengan Perppu itu," kata Irman.

Tolak Dikembalikan ke MA
Meski banyak kalangan yang ingin mengembalikan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Agung (MA) setelah tertangkapnya Ketua Akil Mochtar oleh KPK,, namun praktisi hukum Refly Harun menolak wacana tersebut, karena masalahnya akan lebih buruk jika ditangani MA. Dan, Pilkada itu masih dalam paradigma pemilu, kecuali kalau kepala daerah dipilih oleh DPRD.

"Saat ini momentum terbaik untuk memperbaiki MK, tapi bukan dengan mengembalikan sengketa Pilkada ke MA. Kita tahu di MA pasti akan lebih buruk nasibnya. Karena Pilkada itu masih dalam paradigma pemilu mengingat kepala daerah dipilih langsung, kecuali dipilih oleh DPRD," tegas Refly Harun.

Menurut Refly, dirinya menolak kalau dikembalikan ke MA dengan segala konsekuensinya, bahwa penanganan hukum (electoral justice system) itu lebih baik dan lebih konsptual di MK.

"Jauh lebih baik di MK dibanding MA. Untuk itu, MK harus tetap menjadi pengaduan terakhir keadilan pemilu, tak perlu lagi melibatkan MA dan PT TUN," tambahnya.

Menyinggung soal pengawasan terhadap MK kata Refly, yang harus diawasi itu perilaku atau kelakuan para hakim MK, dan bukan lembaga MK.

"Perilaku hakim MK itu yang harus dikontrol, dan hasil pengawasannya diserahkan ke Majelis Kehormatan MK. Sama halnya dengan DPR RI yang diserehkan ke Badan Kehormatan DPR," ujarnya.

Sedangkan mengenai proses rekruitmen lanjut Refly, pihak-pihak yang terlibat dari presiden, MA, dan DPR RI yang terpenting harus memenuhi prinsip-prinsip akuntabel, partisipatif, transparan, dan obyektif.

"Prinrip-prinsip itu yang tidak dijalankan, sehingga wajar kalau penunjukan Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Maria Farida Indrati bermasalah. Putusan yang dihasilkan pun tak mencerminkan kinerja dari negarawan," katanya.

Diakui Refly, jika dari parpol tak lebih baik, dan sulit melaksanakan netralitas. Sebagai contoh dalam kasus Pilkada Lebak yang kalah, maka ada pihak yang akan menyuap untuk memenangkannya.

"Kalau kalah, maka akan melibatkan lebih dari satu hakim MK. Sebaliknya, kalau menang, tapi digugat ke MK, maka bisa melibatkan satu hakim dan tergugat bisa diperas karena takut dikalahkan," pungkasnya.

Editor: Surya