Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sebuah Pesan untuk APEC 2013

Kelapa Sawit belum Ramah Lingkungan dan Sosial
Oleh : Redaksi/SP
Senin | 07-10-2013 | 09:32 WIB
Mansuetus-Darto-SPKS-2.jpg Honda-Batam
Koordinator SPKS, Mansuetus Darto. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pertemuan KTT APEC (Asia Pacific Economic Forum) di laksanakan di Indonesia, tepatnya di Pulau Bali. Pertemuan ini akan menjadi ajang bagi pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan produk dari kelapa sawit sebagai green produk atau produk yang ramah lingkungan (Environmental Goods and Services, EGS).

Namun, Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, menilai hal tersebut tidaklah mudah. Sebab, perdagangan minyak sawit Indonesia sering dicap deforestasi, menghancurkan keanekaragaman hayati, penghilangan hak-hak masyarakat asli dan tergerusnya lahan pangan.
 
Pada pertemuan parlemen Uni Eropa di Brusel, 3 September lalu, yang membahas topik kelapa sawit, kata Darto, terungkap bahwa cukup 6% dari minyak kelapa sawit untuk Uni Eropa dan bea masuk berkisar 9-11,5%. Begitu juga halnya lembaga lingkungan Amerika, yakni EPA (Environtmental Protection Agency) yang memasukkan kelapa sawit Indonesia bukan sebagai pendukung menurunkan emisi GRK-Gas Rumah Kaca.

Melihat situasi tersebut, lanjutnya, KTT APEC kemudian dijadikan panggung kampanye kelapa sawit oleh pelaku usaha perkebunan skala besar dan Pemerintah Indonesia. Seperti misalnya, launching 100 unit 'mobil hijau' dan lobby pemerintah dan pelaku bisnis kelapa sawit kepada negara-negara APEC yang sangat gencar dilakukan sebelum di gelar KTT APEC.

"Bahkan sudah terinformasikan bahwa kelapa sawit ditolak APEC masuk dalam list EGS, namun pemerintah masih berjuang hingga titik terakhir," ungkap Mansuetus Darto dalam siaran pers yang diterima BATAMTODAY.COM, Senin (7/9/2013).
 
Menurutnya, SPKS juga melihat ada sesuatu salah, yakni pemerintah tidak melihat masalah sosial dan lingkungan. "Bahkan diplomasi pemerintah dan pelaku bisnis tidak diikuti oleh tindakan konkrit oleh kementrian terkait, seperti Kementrian Perdagangan, Kementrian Pertanian, Kementrian Perindustrian, Kementrian Lingkungan Hidup maupun Kementrian Kehutanan," imbuhnya.
 
Dia juga menilai, dalam diplomasi pemerintah, hampir tidak ada yang dipromosikan oleh pemerintah sebagai bukti real bahwa kelapa sawit ramah lingkungan dan ramah juga secara sosial. Di sisi lain, tidak ada kebijakan yang mengikat semua pelaku bisnis kelapa sawit agar tidak menggusur lahan rakyat dan usaha bisnis tersebut dapat menguntungkan buruh perkebunan dan petani kelapa sawit.

"Dari sisi regulasi, pemerintah baru saja menetapkan revisi Permentan No 26 tahun 2007 tentang Perizinan Usaha Perkebunan pada minggu ini. Permentan ini melindungi pelaku usaha perkebunan sawit skala besar yang masa lalunya mengkriminalisasi rakyat dan merusak kawasan hutan," terangnya.
 
SPKS, katanya, melihat begitu banyak regulasi pemerintah yang turut mendorong praktek buruk pelaku usaha perkebunan besar, antara lain UU Perkebunan No 18 tahun 2004 dan Permentan No 33 tahun 2006. Selain itu, tata kelola pemerintah yang buruk memperlemah proses pengawasan dan keberperanan pemerintah untuk menghukum perusahaan dan bersikap kepada masarakat.

Hasil audit Kementrian Pertanian pada 300 perusahaan kelapa sawit, dia menambahkan, sebanyak 180 perusahaan atau sekitar 60% perusahaan tidak membangun plasma untuk masyarakat. Data dari Dinas Perkebunan Kalimantan Timur menunjukkan, kawasan yang diperuntukkan bagi 297 perusahaan seluas 2,820 juta hektar. Namun hanya sebanyak 97 perusahaan baru mendapatkan Hak Guna Usaha atau sekitar 778.229 hektar. Namun lahan yang sudah berwujud kebun kelapa sawit baru seluas 454.058 hektar.

"Data yang sama juga dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Tengah, yang menyebutkan luas ijin usaha perkebunan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah seluas 2.793.794,94 ha untuk dikuasai sekitar 234 perusahaan sawit. Sementara luas perkebunan yang baru mendapatkan Hak Guna Usaha sekitar 783.629,97 ha. Dari data ini sektar 81 perusahaan sawit yang belum memiliki HGU," tandasnya.

Bagi masyarakat yang membangun skema kemitraan sebagaimana ditentukan Permentan No 26/2007 hanya mendapatkan 20% dari seluruh lahan yang diserahkan. Sehingga ketimpangan penguasaan lahan selalu menjadi pemicu dalam konflik kebun kelapa sawit. "Pada tahun 2011 saja, terdapat 141 petani yang dikriminalisasi, dan angka ini selalu meningkat setiap tahun," ujar Darto.

"Kondisi-kondisi di atas tentunya sangat berbeda antara realitas dikebun sawit dan diplomasi perdagangan minyak sawit yang selalu melihat sisi putihnya dengan melihat penerimaan negara dari bea keluar," tambahnya lagi.
 
Karena itu, Serikat Petani Kelapa Sawit meminta kepada pemerintah untuk berdiplomasi secara transparan tanpa melupakan realitas di kebun sawit, seperti kondisi petani kelapa sawit, buruh perkebunan, masyarakat adat dan masalah lingkungan.

"Petani kelapa sawit perlu dipromosikan ke tingkat internasional yang memiliki komitment dan real mempraktekkan sustainability. Pasar menghendaki minyak sawit yang dihasilkan dari pengelolaan secara berkelanjutan dan petani sangat memenuhi standar tersebut. Ketika petani menjadi pelaku untuk akses pasar tersebut, maka tidak akan ada lagi hambatan perdagangan minyak sawit. Ini merupakan terobosan dan pemerintah harus berani melakukannya," pungkasnya.
 
Pemerintah juga diminta oleh SPKS agar tetap independen dari pelaku bisnis kelapa sawit. "Pemerintah harus bersikap jernih dan tidak berbohong dalam menyampaikan informasi kelapa  sawit. Selain itu, juga perlu tindakan yang real seperti memperbaiki regulasi perkebunan agar ramah lingkungan dan ramah sosial, standar
ISPO - Indonesian Sustainability Palm Oil harus lebih baik dari standar pasar RSPO - Rountable on Sustainability Palm Oil. Indonesia butuh solusi atas masalah sosial dan lingkungan, bukan pertumbuhan investasi semata," ujar Mansuetus Darto.

Editor: Dodo