Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

RAN Gencarkan Tekanan ke Produsen Pangan AS

Perkebunan Kelapa Sawit Dituding sebagai Perusak Hutan Tropis di Indonesa dan Malaysia
Oleh : Redaksi
Senin | 16-09-2013 | 17:51 WIB
palms-with-fruits.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi perkebunan kelapa sawit.

BATAMTODAY.COM, Chicago - Rainforest Action Network (RAN) baru saja merilis sebuah kampanye besar yang meminta produsen makanan ringan di Amerika Serikat untuk tidak menggunakan minyak kelapa sawit yang menjadi penyebab kehancuran hutan tropis di Indonesia dan Malaysia. Kampanye ini menyasar 20 produsen makanan kecil di negeri Paman Sam tesebut -yang disebut The Snack Food 20- karena pihak produsen dinilai gagal untuk memastikan bahwa minyak kelapa sawit yang mereka gunakan berasal dari sumber yang terpercaya.


Kampanye besar yang diluncurkan tanggal 12 September 2013 itu dibarengi dengan dirilisnya sebuah laporan dan banner protes yang dipasang di Kantor Dewan Perdagangan Chicago yang berbunyi "Cut Conflict Palm Oil, Not Rainforest ini juga menyitir kondisi satwa yang ada di dalam hutan tropis seperti orangutan. 

Selain itu emisi yang disebabkan akibat dari penebangan dan alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan konflik sosial antara pihak perusahaan kelapa sawit dan masyarakat lokal akibat ekspansi perkebunan.

RAN menyatakan bahwa isu ini membawa dampak bagi sejumlah produsen makanan ringan di AS seperti Conagra Foods, Dunkin’ Donuts, General Mills, PepsiCo, Hormel Foods dan Krispy Kreme, serta sejumlah nama lainnya. Kendati sejumlah perusahaan ini telah berkomitmen untuk mengambil dan menggunakan kelapa sawit dari sumber yang bersertifikasi ramah lingkungan melalui standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), namun lembaga ini dinilai tidak berhasil melaksanakan fungsinya secara maksimal untuk memastikan bahwa kelapa sawit yang digunakan adalah kelapa sawit yang ‘bebas dari konflik’.

"Kendati sejumlah perusahaan sudah mulai mengambil langkah untuk mengatasi masalah suplai kelapa sawit mereka, namun tidak satu pun perusahaan ini yang sudah mengadopsi atau mengimplementasikan batasan yang jelas untuk menghilangkan kelapa sawit yang bermasalah dalam rantai suplai mereka," tulisan RAN dalam laporannya.

"Perusahaan-perusahaan raksasa dan memiliki jaringan global ini memiliki kekuatan melalui jaringan rantai suplai mereka untuk mengendalikan perubahan dalam pola produksi kelapa sawit di dunia. Dengan menggunakan tekanan dari konsumen dan warga terhadap perusahaan-perusahaan ini akan menjadi kunci keberhasilan kampanye ini."

Tekanan yang dilakukan oleh para konsumen sudah terbukti berhasil sebelumnya untuk memaksa sejumlah produsen kayu, kertas, dan produk-produk lainnya. Namun kelapa sawit memiliki tantangan yang berbeda bagi para aktivis lingkungan karena nilai ekonomi dan keuntungan yang tinggi jika menggunakan produk ini dibandingkan minyak jenis lainnya. 

Para konsumen sendiri tidak pernah sadar  bahwa mereka sudah mengonsumsi minyak kelapa sawit, yang sejatinya ada di dalam kandungan makanan di lebih dari 50 persen produk pangan di Amerika Serikat.

Tantangan lain yang lebih berat adalah mayoritas konsumen minyak kelapa sawit dunia ada di negara-negara yang memiliki kesadaran lingkungan rendah seperti di India, Indonesia, Cina, Malaysia, dan Pakistan.

Namun para aktivis yang melancarkan kampanye ini tetap yakin bahwa penggunaan minyak kelapa sawit secara luas di negara-negara Barat akan menguntungkan kampanye mereka. Jika mereka bisa meyakinkan sejumlah perusahaan besar di dunia tersebut untuk menerapkan kriteria yang lebih ketat untuk membeli minyak kelapa sawit dan bersedia membayar lebih untuk minyak sawit yang ramah lingkungan, mereka berharap standar ini bisa menjadi praktik yang terbaik bagi para produsen makanan.

"Kelapa sawit ditemukan di nyaris 50 persen produk makanan di toko-toko eceran. Dan tragisnya minyak ini sekaligus penyebab kepunahan orangutan dan kehancuran hutan tropis di Indonesia dan Malaysia. Pihak produsen -yang disebut sebagai The Snack Food 20 ini- bisa dan harus menyelesaikan masalah ini sebelum terlambat," ungkap Juru Kampanye Senior Bidang Bisnis Pertanian RAN, Gemma Tillack.

"RAN sudah membuat peta jalan bagi para perusahaan untuk menghilangkan penggunaan minyak kelapa sawit yang bermasalah, dan kami siap untuk bekerja sama dengan pihak Snack Food 20 untuk mewujudkan hal ini," tegasnya.

Kampanye ini dilakukan di saat-saat penting bagi industri minyak kelapa sawit. Dalam dua bulan RSPO akan menyelenggarakan pertemuan di Medan, Indonesia. 

Sebuah faksi dari produsen kelapa sawit asal Malaysia mengancam akan menggunakan momen ini untuk menarik diri dari RSPO dan bergabung dengan skema serupa yang dibangun oleh pemerintah Malaysia, yang mengungkap adanya ketidakpuasan dengan proses sertifikasi yang ada selama ini dan standar yang rendah untuk kelapa sawit bersertifikasi. 

Jika hal ini terjadi, maka RSPO akan melemah kendati mereka baru saja merevisi kriteria ramah lingkungan mereka beberapa waktu lalu.

Baik RAN maupun Greenpeace yang juga baru merilis laporan tentang kelapa sawit, meminta agar perusahaan bergerak lebih progresif dibanding RSPO, yang dinilai masih memiliki standar lebih baik dibandingkan lembaga baru yang ditawarkan oleh pemerintah Malaysia. Baik RAN maupun Greenpeace meminta agar pihak perusahaan menerapkan strategi yang memiliki standar lebih tinggi dibanding yang diterapkan oleh RSPO.

"Pihak perusahaan yang berniat hanya mau membeli kelapa sawit yang ramah lingkungan harus mengadopsi kebijakan pembelian kelapa sawit global yang independen dan memiliki standar di atas RSPO," ungkap laporan RAN. 

"Untuk menyelesaikan masalah minyak kelapa sawit yang bermasalah ini membutuhkan dukungan masyarakat dan pasar yang meminta kelapa sawit yang ramah lingkungan dan menekan penggunaan kelapa sawit yang ‘masih mengandung konflik’. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk menciptakan batasan yang bisa meningkatkan keuntungan ekonomi dari kelapa sawit yang ramah lingkungan dan mengubah infrastruktur global dalam rantai suplai kelapa sawit dunia."

RSPO sendiri menanggapi laporan RAN ini sebagai "sebuah rentetan karya dari sebuah konsekuensi dari kelapa sawit konvensional yang paling merusak dan membahayakan".

"RSPO telah memiliki solusi untuk mengatasi masalah ini," ungkap RSPO dalam rilisnya kepada Mongabay.com.

"Laporan tersebut menyatakan dalam banyak poin agar sektor ini bisa lebih berkelanjutan, namun sebagian besar sudah ada di prinsip dan kriteria yang ditetapkan oleh RSPO, demikian juga di dalam Code of Conduct. Hal ini termasuk di antaranya prinsip-prinsip lingkungan dan sosial, juga pengunaan prinsip free prior informed consent untuk membangun perkebunan bagi lahan masyarakat lokal." (*)

sumber: Mongabay Indonesia