Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Limbah Makanan Rugikan Rp8,5 Triliun Per Tahun
Oleh : Redaksi
Sabtu | 14-09-2013 | 10:01 WIB
limbah makanan.jpg Honda-Batam
Ilustrasi limbah makanan.

BATAMTODAY.COM, New York - Makanan yang terbuang merugikan ekonomi dunia senilai $750 miliar/Rp8,5 triliun per tahun. Kerugian ini melengkapi dampak negatif limbah makanan terhadap kelangkaan air, lahan, rusaknya keanekaragaman hayati serta memicu perubahan iklim dan pemanasan global. Kesimpulan ini terungkap dalam laporan terbaru Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang dirilis pekan ini.

Laporan berjudul "Food Wastage Footprint: Impacts on Natural Resources" menyatakan, makanan yang terbuang (diproduksi namun tidak dikonsumsi) mencapai volume yang mengejutkan, 1,3 miliar ton per tahun. Laporan FAO ini melengkapi laporan sebelumnya mengenai limbah makanan.

Menurut FAO, makanan yang terbuang ini mengonsumsi air setara dengan 250km3 per tahun atau setara dengan volume air Danau Jenewa. Diperlukan 1,4 miliar hektar lahan - 28 persen dari lahan pertanian dunia - guna memroduksi pangan yang terbuang ini. Limbah pangan ini juga menambah emisi gas rumah kaca, penyebab perubahan iklim dan pemanasan global sebesar 3,3 miliar ton per tahun.

Menurut José Graziano da Silva, Direktur Jenderal FAO, saat 1,3 miliar ton pangan terbuang, sebanyak 870 juta penduduk dunia menderita kelaparan setiap hari. "Kita tidak bisa membiarkan krisis kelaparan ini terjadi sementara sepertiga makanan yang kita produksi terbuang menjadi sampah," ujarnya dalam berita Program Lingkungan PBB (UNEP).

Dari mana limbah ini berasal? Menurut FAO, 54 persen pangan terbuang saat pangan tersebut diproduksi, dipanen dan disimpan. Sementara 46 persen limbah terjadi saat pangan tersebut diolah, dikirim dan dikonsumsi.

Jumlah makanan yang terbuang di negara berkembang banyak terjadi saat pangan tersebut diproduksi. Sementara di negara maju dan berpendapatan tinggi, seperti Amerika Serikat, pangan banyak terbuang saat dijual dan dikonsumsi. Di negara maju, jumlah pangan yang terbuang saat dijual dan dikonsumsi mencapai 31-39 persen dari seluruh limbah makanan, sementara di negara berpendapatan rendah nilainya mencapai 4-16 persen.

Limbah pangan serealia di Asia menimbulkan masalah besar, menghasilkan emisi karbon, mengonsumsi air dan lahan. Proses produksi padi misalnya, menghasilkan emisi metana dan gas rumah kaca mulai dari penanaman hingga paska panen. Tidak hanya makanan pokok, limbah pangan juga mencakup limbah sayuran, buah-buahan dan daging.

Walaupun limbah daging tergolong rendah, dampak produksi daging terhadap lingkungan sangat besar. Produksi daging memerlukan lahan dan menghasilkan jejak karbon yang tinggi terutama di negara maju dan negara-negara Amerika Latin yang menghasilkan 80 persen dari keseluruhan limbah daging. Kontribusi limbah daging di negara berpendapatan tinggi - tidak termasuk negara Amerika Latin mencapai 67 persen.

Limbah buah-buahan di Asia, Amerika Latin dan Eropa juga sangat tinggi, membuang air dalam jumlah besar. Sementara limbah sayuran di negara-negara maju di Asia, Eropa, Asia Selatan dan Asia Tenggara menghasilkan emisi gas rumah kaca dipengaruhi oleh kondisi iklim yang memercepat penguraian. Namun semua bisa beraksi menjadi solusi dari masalah limbah makanan ini. Mulai dari produsen, konsumen, hingga peritel.

Dari sisi produsen menciptakan kemasan yang baik bisa mengurangi jumlah pangan yang terbuang. Dari sisi konsumen, tidak berbelanja pangan berlebihan, bisa mengurangi jumlah limbah pangan. Sementara dari sisi peritel, syarat tampilan (dan keindahan?) sayuran, buah-buahan dan pangan lain, harus dihilangkan. Menurut data FAO, petani harus membuang 20-40 persen produk segar mereka karena tidak memenuhi syarat tampilan dan keindahan ini.

Rumah tangga juga bisa berperan mengurangi sampah dan emisi gas rumah kaca dengan melakukan pengolahan limbah pangan menjadi kompos. Menurut data FAO, aksi pembuatan kompos rumah tangga berpotensi mengurangi jumlah sampah pangan sebesar 150 kg per rumah tangga per tahun sehingga mengurangi beban petugas kebersihan setempat. Praktik ini juga akan mengurangi emisi metana yang berasal dari tempat pembuangan sampah akhir yang konsentrasinya kini setara dengan 700 metrik ton CO2 per tahun. Siap beraksi?

Sumberr: hijauku.com