Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Golkar Nilai Fundamental Ekonomi Rapuh
Oleh : Surya
Senin | 09-09-2013 | 16:42 WIB
Harryazharazis.jpeg Honda-Batam

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Undang-Undang (UU) Lalu Lintas Devisa Indonesia dianggap merupakan salah satu regulasi devisa paling liberal sedunia. Tak hanya itu, UU No. 24 Tahun 1999, peninggalan era IMF (International Monetery Fund) membuat pasar valas dan pasar modal Indonesia mudah dirontokkan.



Sebab itu, Fraksi Golkar di DPR-RI segera mengambil inisiatif untuk  merevisi UU itu. "Regulasi devisa yang ada sekarang sudah merugikan perekonomian dan sangat mengganggu sektor riil, harus segera direvisi. Itu target kami," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI, Harry Azhar Azis di Media Center DPP Partai Golkar di Jakarta, Senin (9/9/2013).

Harry mengatakan, saat ini merupakan momentum yang tepat melakukan revisi atas UU Lalin Devisa tersebut. "Pasar Valas kita mudah kering. Orang asing seenaknya keluar-masuk, ekonomi kita yang terguncang oleh instabilitas pasar uang dan pasar modal. Ini tidak bisa dibiarkan terus," papar Harry.

Harry mengatakan, saat ini draft rancangan tersebut masih di tingkat Deputi Sekjen Perundang-Undangan DPR. Namun, belum masuk ke Komisi XI DPR.

Dijelaskan Harry, UU Devisa saat ini memberi kelonggaran yang cukup luas kepada Bank Indonesia untuk mengatur lalu lintas devisa dan valuta asing melalui Peraturan Bank Indonesia. Namun faktanya, PBI yang ada belum cukup ampuh meredam gejolak rupiah belakangan ini. Tak hanya itu, devisa bangsa ini malah semakin dinikmati oleh pihak luar.

Harry memberi contoh, Thailand merupakan negara yang sukses memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat.

"Dalam UU Devisa di Thailand tersebut ada kewajiban untuk menempatkan DHE di bank lokal dalam periode tertentu atau disebut holding period. Saya kira ini bagus, supaya pasar valas kita tidak mudah dimainkan dan stabil, dunia usaha juga jadi tenang," ujar Harry.

Harry mengatakan, terbukti Thailand berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya atas US$  saat krisis politik 'kaos merah' beberapa tahun silam. Sebab itu, Golkar beranggapan, saatnya Indonesia perlu memiliki UU Devisa yang dapat mengamankan perekonomian nasional.

Menurut Harry, saat ini Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012. Di sana diwajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun, PBI tersebut terbukti tidak cukup kuat menarik dan menahan devisa hasil ekspor ke dalam negeri.

"Salah satu penyebabnya, tidak ada kewajiban menaru devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period) dalam enam bulan misalnya. Sebab disitu aturannya cuma melakukan pelaporan ya kembali lagi ke luar negeri. Negara ini dapat apa?" pungkas Harry.

Editor : Surya