Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pajak Naik Belanja Sosial Harus Tinggi
Oleh : Tunggul Naibaho
Sabtu | 16-04-2011 | 15:42 WIB

Berita miris tentang gedung sekolah ambruk dan kasus anak-anak kekurangan gizi adalah antitesis dari keinginan menaikkan pajak tapi biaya sosial di kota Batam relatif cukup rendah. Fenomena bahwa kita tak peduli bahwa "kemiskinan belum berkurang" mengajak kita merenungkan kembali "Negara Kesejahteraan" sebagai cita-cita para pendiri bangsa. Sebab, setelah 65 tahun merdeka kita masih saja belum sejahtera.

Sejarah Welfare State (negara kesejahteraan) dimunculkan pertama kali tahun 1940-an oleh Uskup Agung York, Inggris, sebagai antitesis atas program warfare state (negara perang) Nazi Hitler di Jerman yang sedang memperluas wilayahnya. Negara kesejahteraan atau rezim kesejahteraan (welfare regime) lebih dari sekadar kebijakan sosial. Tidak semua kebijakan sosial dapat digolongkan welfare state, misalnya, program jaring pengaman sosial (JPS) tahun 1997 yang hanya bersifat minimal dan sementara saja.

Sebelum Perang Dunia I, cikal bakal welfare regimes dimulai oleh tokoh-tokoh karismatis dan otoritarian, seperti Bismark (Jerman), Von Tappe (Austria), dan Napoleon III (Perancis), dengan melansir jaminan-jaminan sosial untuk pegawai pemerintah dan kelompok pekerja industri. Di Inggris sistem welfare diawali sekali dengan lahirnya UU Penanggulangan Kemiskinan (Poor Law - 1880-an). Dalam periode kedua, sesudah Perang Dunia II, 1945-1990, welfare state merupakan kreasi dan produk demokrasi multipartai atau kebijakan (koalisi) partai politik yang memerintah untuk menciptakan warga negara dan angkatan kerja yang terdidik dan sehat dan mengurangi kesenjangan sosial ekonomi.

Menurut Esping Andersen, yang studi-studinya menjadi acuan para sarjana dan pengambil kebijakan, negara kesejahteraan dibangun atas dasar nilai-nilai sosial, seperti kewarganegaraan sosial, demokrasi penuh, sistem hubungan industrial modern, serta hak atas pendidikan dan perluasan pendidikan massal yang modern. Produksi dan penyediaan kesejahteraan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar.

Tiga pilar kebijakan menjadi resep keberhasilannya: kebijakan makro-ekonomi yang Keynesian, kebijakan penciptaan lapangan kerja yang penuh dan daya beli yang tinggi dari warga negara, serta program-program jaminan sosial. Inilah tiga pilar yang menopang keberlanjutan welfare regimes lebih dari 40 tahun sejak Perang Dunia II sampai masa Thatcher di Inggris dan Reagan di AS.

Pajak Tinggi Belanja Sosial Harus Tinggi

Dari mana pendanaan welfare state? Kebijakan pajak yang tinggi dibarengi dengan belanja sosial yang tinggi menjadi ciri khas welfare state. Di Swedia, Jerman, dan bahkan Inggris, perolehan pendapatan pemerintah (pajak dan nonpajak) mencapai lebih dari 30 persen dari PDB. Di Skandinavia bahkan perolehan pajak mencapai 50 persen dari PDB. Bandingkan dengan Indonesia, perolehan pajak dan nonpajak ditargetkan oleh pemerintah SBY sebesar 19 persen PDB. Sementara belanja sosial hanya kurang dari 4 persen PDB. Untuk mendukung ekonomi dan pemenuhan hak-hak sosial ekonomi warga secara luas dan bermutu, birokrasi pajak dan pelayanan umumnya harus memiliki kinerja yang sangat baik.

Pada perkembangan mutakhirnya (1980-1990), pemerintahan kubu konservatif Thatcher dan Reagan, merombak berbagai kebijakan welfare state di Inggris dan Amerika. Pajak yang tinggi atas modal dan investasi dikurangi. Swastanisasi berbagai pelayanan umum di Inggris terjadi. Di AS banyak tunjangan sosial yang diperketat syarat-syaratnya dan jumlah penerimanya dibatasi. Yang terjadi adalah penciutan dan perampingan dan bukan perlucutan atau penghapusan. Buktinya, hingga akhir periode 1990-an, pasca-Reagan dan Thatcher, tingkat pengumpulan pendapatan pemerintah dan belanja publiknya masih tinggi, di atas 30 persen PDB.

Sebaliknya, di negara yang namanya Indonesia ini pemahaman yang keliru bahwa pajak yang tinggi dan belanja sosial yang tinggi akan berdampak mengurangi pertumbuhan ekonomi dan keunggulan ekonomi bangsa ini. Pemahaman yang cendrung dijadikan mitos dan sudah waktunya kita buang jauh-jauh.

Studi Peter H Lindert mungkin perlu disimak dengan serius. Studi raksasa itu memeriksa kecenderungan dan kaitan antara belanja sosial dan kinerja ekonomi berbagai negara sepanjang 200 tahun. Dalam bukunya Growing Public: Social Spending and Economic Growth since the Eighteenth Century Vol I, (Cambridge University Press), Lindert secara meyakinkan, melalui bukti-bukti historis dan faktual, memperlihatkan bahwa belanja sosial yang tinggi (dan pajak yang tinggi, tetapi proporsional) justru memperkuat ekonomi dan kemakmuran bersama. Contohnya adalah Swedia dan negara-negara Eropa.

Pilihan Untuk Batam

Jika Welfare state masih menjadi acuan pemerintah kota Batam persoalan pertamanya hal ini harus dengan keyakinan mampu dikerjakan oleh rezim Dahlan-Rudi. Negara kesejahteraan hanya akan menjadi mimpi jika Indonesia gagal mengatasi dua kendala pokok. Kendala pokok pertama adalah terlalu kecilnya anggaran untuk belanja sosial. Pekerjaan rumah besar adalah melakukan pembalikan prioritas anggaran ke belanja kesehataan, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja (sesuai dengan janji saat Pilkada tentunya).

Kendala kedua adalah membuat birokrasi yang andal dan bersih. Negara kesejahteraan memerlukan birokrasi yang andal dan bersih untuk mendukung kegiatan ekonomi dan menyediakan pelayanan umum yang luas dan bermutu. Birokrasi yang terlalu berkuasa tetapi tidak dapat diandalkan dan tidak bersih (baca: korup), juga perizinan usaha yang berbelit, akan mematikan ekonomi dan melumpuhkan pelayanan-pelayanan umum.

Idealnya birokrasi yang andal dan bersih sangat diperlukan oleh negara kesejahteraan untuk dapat memiliki dana yang cukup untuk membiayai belanja-belanja sosial. Tantangan kota Batam adalah bagaimana birokrasi bisa berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip well trained, well-paid, dan well supervised. Kebocoran dana-dana pajak dan nonpajak akan menjauhkan Batam dari cita-cita mewujudkan kota Batam sebagai bandar dunia yang madani (baca: kota yang sejahtera).

Pemikiran ulang tentang negara kesejahteraan (welfare state) dibutuhkan sebagai kebijakan dan institusi yang relevan untuk situasi Indonesia karena mengandung aspek-aspek pendalaman demokratisasi, pemenuhan hak-hak sosial warga secara universal dan penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kohesi sosial-kegotongroyongan.

 

Penulis: Ramches Merdeka

Pengamat Sosial, tinggal di Batam