Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perempuan Indonesia Masih Nikmati Kemerdekaan Semu
Oleh : Redaksi
Kamis | 15-08-2013 | 20:04 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kemajuan pembangunan di segala bidang ternyata belum begitu dinikmati kaum perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai, kaum perempuan di Indonesia masih menikmati kemerdekaan semu dan belum utuh menikmati kesetaraan dan keadilan berbasis gender, maupun hak-hak fundamental lainnya yang dijamin konstitusi (UUD 1945).


Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, dalam siaran pers menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-68, Kamis (15/8/2013), menyatakan, situasi tersebut disampaikan atas temuan-temuan selama ini. 

Pertama, jumlah kebijakan diskriminatif terus bertambah dan belum ada langkah tegas dan signifikan dari negara untuk mencegah dan menghapuskannya. Hingga Agustus 2013, Komnas Perempuan mencatat 342 kebijakan diskriminatif. 

"Ini berarti dua kali lipat dari 154 kebijakan diskriminatif pada 2009, ketika pertama kali Komnas Perempuan melaporkan hasil pemantauan ini pada para pemegang otoritas nasional. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah kebijakan diskriminatif bertambah 60. Lebih 90 persen dari kebijakan ini terdapat di tingkat kabupaten/kota dalam bentuk peraturan daerah maupun surat keputusan kepala daerah," papar Yuniyanti.

Pun, katanya, sebanyak 265 dari 342 kebijakan diskriminatif secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas. Termasuk dalam 265 kebijakan itu adalah 79 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas. Situasi ini membatasi hak kemerdekaan berekspresi dan hak kemerdekaan beragama. 

Ada pula 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas (19 di antaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum) dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan bermobilitas, pilihan pekerjaan, serta perlindungan dan kepastian hukum.

Di tingkat nasional, Komnas Perempuan menyesalkan lambatnya pemerintah dalam menganulir kebijakan tentang sunat perempuan yang mengukuhkan praktik tradisi yang diskriminatif terhadap perempuan. Begitu pula halnya dengan revisi UU Pornografi yang dalam implementasinya justru mengkriminalisasi perempuan korban perdagangan orang dan eksploitasi seksual.

"Kebijakan tersebut menghalangi perempuan, secara langsung maupun tak langsung, menikmati hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasinya," ujar Yuniyanti.

Kedua, rasa aman bagi perempuan masih langka akibat kerangka hukum dan kebijakan belum harmonis sesuai dengan UUD 1945. Sebagai contoh, sampai hari ini revisi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta hukum acaranya (KUHAP) masih tertunda. Upaya untuk membentuk sistem pidana terpadu tentang kekerasan terhadap perempuan pun masih baru dalam tahap pembahasan.

Ketiga, pemenuhan hak korban pelanggaran HAM masa lalu tertunda karena belum menjadi prioritas nasional. Komnas Perempuan mengamati bahwa perempuan korban, terutama korban kekerasan seksual, dalam pelanggaran HAM masa lalu dan konflik yang terjadi dalam empat dekade sejak 1965, para perempuan korban berjuang sendiri untuk bangkit dan melanjutkan hidup. 

Keempat, Komnas Perempuan mengkhawatirkan lambatnya penguatan daya pelayanan publik bagi perempuan korban kekerasan di tengah terus meningkatnya jumlah perempuan korban yang melaporkan kasusnya. Pada tahun 2012, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan setidaknya ada 216.156 kasus yang ditangani oleh berbagai lembaga di seluruh Indonesia. 

"Lebih 97 persen adalah kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Dari pemantauan Komnas Perempuan selama ini, setidaknya ada 20 perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap harinya di Indonesia, kasus terbanyak adalah perkosaan," beber dia.

Keterbatasan sumber daya pendampingan dan penanganan korban terutama karena sebagian besar kebijakan terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan belum implementatif. Komnas Perempuan mencatat adanya penambahan dua kali lipat kebijakan kondusif yang mengatur tentang layanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, yaitu dari 252 di tahun 2012 menjadi 529 kebijakan per Agustus 2013 yang terdiri dari 513 di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten) dan 16 di tingkat nasional. 

Namun, sekitar 37 persen atau sebanyak 195 kebijakan saja yang mengatur secara lengkap substansi perlindungan, kelembagaan dan anggaran. Dari jumlah itu, hanya ada 12 kebijakan yang memastikan layanan optimal. 

Kelima, rasa aman perempuan terus tergerus oleh sikap pemerintah yang seolah membiarkan kebijakan dan aksi intoleransi di berbagai daerah. Komnas Perempuan mencatat 31 kebijakan pembatasan hak atas kebebasan beragama dan jaminan perlindungan bagi komunitas minoritas agama yang dikeluarkan di tingkat nasional dan daerah. 

Keenam, Komnas Perempuan mengamati bahwa perlindungan bagi perempuan pekerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri masih perlu perjuangan panjang. "Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya belum ditindaklanjuti dengan tersedianya revisi UU perlindungan dan bukan cenderung pada penempatan tenaga kerja di luar negeri," sebut Yuniyanti. 

Komnas Perempuan juga mencatat 6 peraturan daerah tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri tidak memerhatikan kebutuhan perempuan yang memiliki kerentanan khusus pada kekerasan baik di tempat tujuan maupun di daerah asal. Pembahasan rancangan UU tentang Pekerja Rumah Tangga juga belum membuahkan hasil. 

"Dari data BNP2TKI di tahun 2012, ada 1.200 tenaga kerja Indonesia yang mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, dan 520 orang yang hamil dan yang bawa anak. Komnas Perempuan di tahun 2012 menerima pengaduan kasus kekerasan seksual di tempat kerja (kantor, pabrik) ada 6 kasus pelakunya adalah atasan atau pimpinan," terang Yuniyanti. (*)

Editor: Dodo