Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pertumbuhan Kota Gerus Habitat Alami
Oleh : Redaksi
Kamis | 25-07-2013 | 10:35 WIB

BATAM - Kota bertumbuh menggerus lahan pedesaan, habitat hewan dan tanaman semakin terabaikan. Lingkungan alami berubah menjadi jalan, rel kereta, lahan parkir dan bangunan. Memaksa populasi hewan dan tanaman liar hidup dalam lahan yang semakin sempit.

Tren ini muncul di semua negara baik negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia.

Cara paling mudah untuk melihat semakin meluasnya alih guna lahan adalah melalui udara. Hutan dan lahan, yang alami maupun yang semi alami terus berganti fungsi. Pengamatan satelit di atas wilayah Eropa dari tahun 1990 hingga 2006 menjadi cerita menarik tentang lanskap ini.

Menurut laporan European Environment Agency (EEA) yang diperbaharui Minggu (22/7/2013), hampir 50 persen pergantian lahan alami dan semi alami digunakan untuk wilayah pemukiman baru, fasilitas umum dan rekreasi. Tutupan lahan artifisial di Eropa seperti jalan raya dan bangunan, naik 2,3 persen per tahun dari tahun 1990 ke 2000. Angka ini turun menjadi 1,5 persen antara tahun 2000 hingga 2006.

Lahan artifisial di Eropa, luasnya mencapai 4%. Namun, menurut data EEA, lahan artifisial adalah satu-satunya jenis lahan di Eropa yang luasnya terus bertambah. Eropa masih memertahankan luas wilayah hutan mereka yang saat ini mencapai 34%. Sementara luas padang rumput, lapangan terbuka dan lahan basah mencapai masing-masing 8 persen, 6 persen dan 2 persen.

Sebanyak 43 persen lahan di Eropa dipakai sebagai lahan pertanian, yaitu lahan pertanian tanpa irigasi (50 persen) dan ladang penggembalaan (16 persen). Penggunaan lahan untuk kedua tipe tanah ini terus meningkat sejak 1990. Alih guna lahan tercepat terjadi di Portugal, Irlandia, Hungaria, Finlandia dan Swedia. Sementara penggunaan lahan yang paling stabil terjadi di wilayah pegunungan. Negara Eropa dengan tingkat alih guna hutan tertinggi terjadi di Finlandia dan Norwegia, sementara alih guna lahan untuk pertanian terbesar terjadi di Spanyol.

Di Indonesia, peralihan hutan menjadi lahan perkebunan terus terjadi. Data dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian menyebutkan, wilayah perkebunan kelapa sawit terus tumbuh dengan pesat, mencapai rata-rata 400.000 ha per tahun. Pada 1995 luas wilayah perkebunan sawit hanya 2 juta hektar. Data terakhir dari Departemen Pertanian menyebutkan, luas wilayah perkebunan sawit telah melonjak melebihi 9 juta hektar.

Sementara data akhir tahun lalu menyebutkan, luas wilayah hutan produksi yang bisa dikonversi, mencapai 20,9 juta hektar atau 11,14 persen dari wilayah hutan Indonesia. Di perkotaan kebutuhan terhadap perumahan, pusat perbelanjaan dan gedung perkantoran menyebabkan kota-kota di Indonesia kesulitan memenuhi syarat ruang terbuka hijau sebesar 30 persen.

Sesuai UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dari 30% RTH yang diamanahkan, sebanyak 20 persen adalah RTH Publik dan 10 persen adalah RTH Privat. Dan rata-rata RTH di Indonesia baru mencapai 12-13 persen dari 20 persen RTH Publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah. DKI Jakarta yang seharusnya menjadi contoh provinsi-provinsi yang lain baru memiliki RTH Publik sebesar 9,8 persen dari luas wilayah Ibu Kota.

Habitat alami yang tergerus ini menurut EEA akan mengancam keberadaan spesies alami di alam. Tidak hanya manusia, burung, serangga dan tanaman liar tergusur dari habitatnya. Wilayah hijau yang seharusnya menjadi paru-paru kota dan lokasi rekreasi keluarga tak tersedia.

Ketika tanah lapang tertutup aspal, pohon menjadi beton masalah lingkungan muncul bersama dengan masalah kesehatan. Kota kehilangan wilayah serapan air dan penyerap polusi udara. Panas di perkotaan terus meningkat menyebar di wilayah sekitarnya. Solusinya adalah memertahankan wilayah alami yang tersisa sambil perlahan kembali mengubah kota menjadi lingkungan yang bersahaja.

Sumber: Hijauku.com