Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pelestarian di Utara Kalimantan
Oleh : Redaksi
Rabu | 24-07-2013 | 09:18 WIB

BULUNGAN - Hutan yang masih menghijau alami di Malinau menyangga peradaban dan ekosistem sekitarnya. Sampai kapan hutan itu mampu bertahan?

Menghijau di sebelah utara Kalimantan, suatu pemerintahan tingkat dua bersama masyarakatnya berupaya mempertahankan dan melindungi hutan di wilayah mereka dari kepentingan komersial yang merusak.

Malinau, wilayah pemerintahan yang lahir dari pemekaran Kabupaten Bulungan pada tahun 2000, dikelilingi hutan hujan tropis yang menutupi dataran tinggi yang khas. Dengan total seluas 4,2 juta hektare (kini menjadi tulang punggung Provinsi Kalimantan Utara—disahkan sejak Oktober 2012), sekitar 90 persen wilayah Malinau adalah kawasan hutan dengan lebih dari separuhnya berstatus kawasan lindung.

Sejak dahulu, hutan mereka telah menjadi incaran para investor yang ingin mengubah tutupan alami tersebut.

Akan tetapi, kesadaran hidup harmonis dengan alam dan interaksi yang sering dengan para peneliti dan lembaga nonpemerintah di bidang konservasi telah membuat masyarakat dan pemerintah Malinau memilih untuk menolak kepentingan penanaman modal yang berujung pada perusakan hutan.

Mereka bersepakat untuk mempertahankan tegakan alami demi generasi mendatang.

Upaya melindungi hutan telah berbuah penghargaan nasional dalam bidang penyelamatan lingkungan: Kalpataru. Komunitas Setulang meraihnya pada 2003 dan Bupati Malinau Marthin Billa mendapatkannya tahun 2007. Dengan wilayah yang sebagian besar kawasan lindung tersebut, Malinau mendeklarasikan status yang belum mendapatkan payung hukum nasional, yakni kabupaten konservasi pada tahun 2005.

Sang pemimpin daerah pun telah menetapkan penataan ruang dan wilayah untuk pembangunan tanpa meniadakan prinsip pelestarian lingkungan. Antusiasme yang tinggi menjadi diskusi yang intens di tingkat nasional dan internasional. Sebab, di tengah menghangatnya pembicaraan mengenai pemanasan global, upaya lokal tersebut mampu menjawab sebagian solusi.

Salah satu tema diskusi yang tak kunjung menemukan hasil yang efektif adalah insentif untuk konservasi yang berbeda-beda dan mekanisme implementasinya, apakah dibayarkan secara langsung atau tidak. Belakangan, perhatian terhadap isu kabupaten konservasi menyurut.

Tetapi, Malinau tak patah arang. Sebuah peluang telah mereka dapatkan sejak November lalu. Melalui proyek percontohan seluas 325.041,6 hektare, Malinau memasuki pasar karbon sukarela (Voluntary Carbon Market/VCM), suatu upaya pemanfaatan hutan untuk mengurangi karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim global.

Sumber: National Geographic Indonesia