Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Harga Properti di Jakarta Terus Melonjak
Oleh : Redaksi
Senin | 22-07-2013 | 13:20 WIB

JAKARTA - Terbatasnya pilihan mendorong tingkat hunian perkantoran di Jakarta hingga lebih dari 90 persen. Lonjakan permintaan properti ini didorong oleh banyaknya perusahaan lokal dan asing yang ingin memanfaatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, demikian menurut hasil riset terbaru Jones Lang LaSalle.


Menurut riset, tingkat penyewaan bangunan di pusat bisnis Jakarta naik antara 14 - 23 persen tahun ini. Di luar area bisnis utama, bertambahnya jumlah perusahaan kelas menengah telah menyumbang kenaikan penyewaan hunian antara 8 - 20 persen.

Anton Sitorus, Kepala Riset Jones Lang LaSalle di Jakarta, memprediksi tren ini akan terus berlangsung dalam beberapa tahun ke depan. “Pembangunan [gedung baru] akan selesai pada 2015 atau 2016, sehingga pilihan bangunan akan terbatas sampai tahun itu,” ujarnya kepada The Wall Street Journal. Ia menambahkan harga sewa bisa naik antara 25 - 30 persen tahun depan.

Sementara itu, harga apartemen diprediksi naik sekitar 20 persen tahun ini dan 2014, ujar Sitorus. Ini dapat menarik minat investor properti yang tengah mencari keuntungan lebih tinggi ketimbang di pasar yang lebih stabil seperti Hong Kong dan Singapura.

Penemuan ini sesuai dengan hasil riset PricewaterhouseCoopers dan Urban Land Institute atas meroketnya pasar properti Jakarta. Akhir tahun lalu, kedua institusi menahbiskan Jakarta sebagai pemimpin pasar investasi properti di Asia, meski Jakarta masih memiliki berbagai masalah seperti kemacetan parah dan kerap terjadinya banjir. 

Hasil survei Manulife Financial yang dirilis Kamis menunjukkan bahwa hampir 90 persen respondennya sangat percaya diri dalam pasar properti. Responden memprediksi akan memperoleh rata-rata keuntungan 32 persen dalam 12 bulan ke depan, lebih tinggi dari hasil 25 - 27 persen yang didapat dari obligasi dan saham.

Prediksi ini dikhawatirkan pemerintah dapat memicu resiko gelembung properti. Bank Indonesia kini tengah menyiapkan regulasi kredit yang lebih ketat, seperti menaikkan uang muka (DP) untuk rumah kedua dan ketiga.

Hipotek 2012 menyumbang hampir 14 persen dari total kredit yang diberikan oleh bank-bank Indonesia, dan jumlahnya hanya sebesar 4,5 persen produk domestik bruto Indnesia. Namun sebagian besar warga Jakarta membeli rumahnya melalui kredit, sehingga mendorong penambahan pinjaman dari kreditur seperti PT Bank Mandiri, bank beraset terbesar di Indonesia. Pinjaman hipotek Mandiri naik lebih dari 20 persen per tahunnya dalam tiga tahun terakhir.

“Banyak pengembang properti mengandalkan warga yang ingin berinvestasi, sehingga hal ini turut mendorong naiknya harga yang seringkali tidak masuk akal jika dibandingkan dengan kualitas bangunan dan fasilitasnya,” ujar Tyagita Silka, periset di Kamar Dagang Indonesia (Kadin). 

Ia merujuk pada harga unit-unit seluas 30 meter persegi di apartemen bersubsidi Kalibata City, Jakarta Selatan, yang harganya naik lebih dari dua kali lipat dalam empat tahun terakhir. (*)

sumber: Wall Street Journal