Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dianggap Mengancam Industri

BRTI dan Mastel Laporkan Penanganan Kasus IM2 ke Komisi Yudisial
Oleh : Surya Irawan
Rabu | 17-07-2013 | 17:32 WIB

JAKARTA, batamtoday - Badan Komite Regulasi Telekomunikasi - Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengadukan penanganan kasus Indosat-IM2 dianggap mengancam industri ke Komisi Yudisial (KY).


Pengaduan tersebut diterima langsung oleh Ketua Yudisial Suparman Marzuki di Jakarta, Rabu (17/7/2013). "Kami melaporkan bahwa substansi perkara dalam kasus IM2-Indosat adalah kekeliruan persepsi tentang maksud 'menggunakan pita frekuensi radio'," kata Nonot Harsono, Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi BRTI bersama Ketua Mastel Setyant saat melaporkan kasus tersebut ke KY.

Menurutnya, kekeliruan persepsi ini kemudian ditetapkan oleh pengadilan menjadi sebuah 'kebenaran' yang tentu akan mengikat semua stake-holders telekomunikasi. Karena dianggap menggunakan pita frekuensi, maka dianggap wajib membayar BHP-frekuensi.  "Karena IM2 dianggap tidak membayar biaya hak penggunaan frekuensi itu, lalu didakwa dan diputus Tipikor," katanya.

Kekeliruan persepsi ini terungkap di persidangan Pengadilan Tipikor saat IM2 disebut menggunakan pita frekuensi.  Berdasar persepsi yang keliru ini  kemudian Majelis Hakim memutus bahwa IM2 telah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu tidak membayar BHP-frekuensi.

"Atas dasar apa Majelis Hakim meyakini bahwa IM2 menggunakan pita frekuensi radio yang dialokasikan untuk PT Indosat? Jawabnya adalah keterangan JPU yang menyatakan telah melakukan pengukuran di beberapa kota menggunakan alat ukur bernama Spectrum Analyzer dan software aplikasi dengan memakai SIM-card milik Indosat," katanya.

Dikatakan dalam amar putusan yang menyalin 100% ke-terangan JPU, bahwa secara nyata tampak pada layar Spectrum Analyzer, modem-dongle pelanggan IM2 memancar pada pita frekuensi milik PT Indosat Tbk. Lalu disimpulkan berdasar wawasan sendiri, bahwa IM2 menggunakan pita frekuensi milik PT Indosat Tbk.

Nonot menilai Majelis Hakim mengabaikan penjelasan belasan saksi dan ahli bahwa hasil pengukuran di beberapa kota itu justru membuktikan bahwa pelanggan IM2 mengakses internet melalui jaringan seluler milik PT Indosat Tbk.

Sebab, yang dipakai adalah SIM-card milik Indosat sehingga  sinyal radio dari pelanggan IM2 menempati pita frekuensi Indosat. Inilah yang dimaksud oleh UU 36 tahun 1999 bahwa  Penyelenggara Jasa menggunakan Jaringan milik Penyelenggara Jaringan dan tidak perlu membayar BHP-frekuensi.

Selain itu Majelis Hakim juga mengabaikan keterangan resmi Menteri Kominfo bahwa kerjasama IM2-Indosat adalah hal lazim yang memang didorong oleh regulasi yang ada. Majelis Hakim juga mengabaikan BRTI yang telah beritikad baik memberi keterangan tertulis kepada Majelis Hakim pada bulan pertama Pengadilan Tipikor berlangsung.

Karena dipahami keliru bahwa 'IM2 menggunakan pita frekuensi 2.1GHz' maka secara otomatis akan berlaku Pasal 17, Pasal 25, Pasal 29, dan Pasal 30 PP 53 tahun 2000, serta Pasal 34 UU 36 tahun 1999, yaitu pasal-pasal yang berisi kewajiban bagi para pengguna spektrum frekuensi.

"Pemikiran bahwa ada kewajiban regulatif telekomunikasi yang tidak dipenuhi inilah yang kemudian dikait-kaitkan oleh JPU dengan Pasal 2 dan 3 dari UU Nomor 31 Tahun 1999 Tipikor   dan kemudian dibenarkan oleh Majelis Hakim Tipikor melalui putusan 4 tahun penjara ditambah denda 200 juta, serta membayar kewajiban BHP-frekuensi sebesar Rp. 1,358 triliun," katanya.

Akibat perilaku abai terhadap keterangan dari pihak yang kompeten dan berwenang penuh di bidang telekomunikasi ini, ia menilai Majelis Hakim telah mengambil putusan yang keliru dan menghukum orang tidak bersalah.

Selain itu, karena pertimbangan yang mendasari Putusan Pengadilan Tipikor atas kasus IM2 secara nyata memberikan penafsiran baru atas re-gulasi telekomunikasi, maka akan berdampak sangat besar pada industri telekomunikasi.

Setidaknya ada tiga hal penting yang termuat dalam amar putusan Majelis Hakim Tipikor yang mengancam kelangsungan industri telekomunikasi. Yakni pertama Perjanjian Kerjasama  (PKS) antara penyelenggara jasa dan penyelenggara jaringan seluler yang awalnya didorong untuk berkembang, setelah putusan pengadilan berubah menjadi perbuatan melawan hukum.

Kedua, semua jenis penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang memanfaatkan jaringan bergerak seluler dan semua radio-link yang di-share, menjadi wajib membayar BHP-frekuensi sebesar yang telah dibayarkan oleh pemilik jaringan.

Ketiga Semua penyelenggara Jasa yang bermitra dengan penyelenggara jaringan harus memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan.

"Dampaknya akan mengena pada seluruh penyeleggara jasa ISPs, Content-Providers, OTT players, toko online, jaringan ATM Perbankan, m-kiosk yang dijalankan mitra usaha, layanan M2M, penyelenggara jaringan yang menyewa radio-link, dan seluruh penyelenggara Jasa telekomunikasi yang tidak memiliki jaringan," katanya.

Seluruhnya akan termasuk katagori menggunakan pita frekuensi dan/atau melawan hukum sehingga harus dihentikan pada saat putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Pada saat itu pula seluruh hak pelanggan harus dikembalikan.

"Ratusan Direktur perusahaan harus dipenjara masing-masing 4-tahun dan setiap perusahaan wajib membayar Rp. 1,358 trilyun yang pasti akan langsung bangkrut bahkan akan berhutang kepada negara karena mereka adalah UKM yang tidak mungkin mampu membayar sebesar itu," katanya.

Pasca putusan berkekuatan hukum tetap nanti, para pelaku usaha harus mendapat kepastian tentang 'regulasi dan regulator' mana yang harus dianut, Pengadilan/Kejaksaan atau kah KemKominfo/BRTI.
 
Editor : Surya