Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menunggu Bangkitnya Pamor Saham Telekomunikasi
Oleh : Opini
Senin | 08-07-2013 | 20:50 WIB

Oleh: Pardomuan Sihombing*

PASCA pengumuman kenaikan harga BBM (22/6/2013) lalu, gejolak di pasar keuangan Indonesia mulai mereda. Indikatornya, indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia kembali berbalik arah menguat ke level 4.818 poin (28/6) dari level terendahnya 4.418 poin (25/6).


Penguatan kembali indikator pasar keuangan ini memberikan indikasi bahwa pelaku pasar kembali confident terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan lembaga pemeringkat internasional Moody`s Investors kembali menaikkan prospek peringkat utang Indonesia menjadi positif. APBN kita dinilai kembali relatif aman dengan defisit diperkirakan sekitar 2,38 persen dari sebelumnya yang terancam membengkak sebesar 3,8 persen.

Simak saja, dana-dana asing mulai berbalik lagi masuk ke pasar saham Indonesia. Pada perdagangan akhir pekan (28/6), investor asing sudah mencatat nilai beli bersih sebesar Rp960 miliar.  Padahal dalam sebulan sebelum adanya pengumuman kenaikan harga BBM, terjadi gelombang besar foreign capital outfllow. Tercatat nilai jual bersih asing mencapai sekitar Rp. 20 triliun.

Cukup wajar dan masuk akal bahwa dana-dana asing tetap akan memburu pasar keuangan Indonesia. Fundamental makro perekonomian pada dasarnya masih cukup kuat untuk menarik investasi asing. Meski sudah mengalami koreksi, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6,1 persen tergolong tetap tinggi di kawasan regional ini, bahkan di dunia.

Tak hanya investasi portofolio efek, arus investasi langsung oleh investor asing (foreign direct investment) pada 2013 dipekriakan naik menjadi sekitar 1,45 triliun dollar AS dibandingkan tahun lalu (menurut laporan United Nations Conference on Trade and Development).

Namun demikian, laju pertumbuhan investasi tersebut masih lambat. Hal ini disebabkan kinerja penanaman modal asing ke Indonesia ternyata masih menghadapi hambatan dan tantangan. Salah satunya yang sangat serius dan laten adalah ketidakpastian hukum.
 
Masalah tersebut akhir-akhir ini kembali marak mengemuka dalam diskusi tentang kebijakan perekonomian (Kompas, 29/6/2013). Di kalangan dunia pelaku usaha, masalah buruknya penegakan dan ketidakpastian hukum sudah sering dipersoalkan. Seperti dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, masalah ketidakpastian hukum sangat mengganggu kepercayaan investor,  kinerja investasi dan menurunkan daya saing industri.

Dampak persoalan ketidakpastian hukum yang terjadi di dunia bisnis ini akhirnya merembet sampai ke industri pasar saham. Kalangan investor (termasuk pemerintah selaku pemilik saham BUMN yang tercatat di Bursa) terpaksa harus ikut memikul imbasnya.

Kita ambil kasus IM2 di industri telekomunikasi. Selain masih sangat aktual, kasus ini cukup mencolok mata untuk menunjukkan kalangan investor telah sangat dirugikan akibat masalah ketidakpastian hukum.

Kasus hukum IM2, anak usaha PT Indosat Tbk  yang mengemuka sejak tahun lalu pada intinya terjadi pada pertentangan pengertian kata "frekuensi". Seperti yang diberitakan di berbagai media, Permasalahan yang utama adalah bahwa frekuensi

yang merupakan bagian dari jaringan seluler, oleh penegak hukum dipisah pengertiannya menjadi penggunaan jaringan dan frekuensi. Sebaliknya bagi pelaku industri - seperti dikemukakan Komite Regulasi Telekomunikasi BRTI - frekuensi secara alamiah tidak terpisah dari jaringan seluler karena tidak akan ada frekuensi bila tidak ada jaringan seluler.

Pemahaman kata 'frekuensi' yang berlawanan ini telah mengakibatkan keresahan bagi para pelaku industri telekomunikasi. Pasalnya, skema bisnis yang selama ini sudah sesuai dengan  sifat alamiah ternyata masih bisa didakwa melanggar hukum dan merugikan negara. Padahal, kita semua tahu bahwa seperti halnya di industri perbankan, sektor telekomunikasi sudah ketat regulasi (fully regulated).

Bagi kalangan investor, kasus ini jelas-jelas telah menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di industri tersebut. Akibatnya, investor keluar dengan melakukan aksi pelepasan saham yang bukan hanya. saham PT Indosat Tbk selaku pemilik IM2, melainkan juga saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk maupun yang lainnya sejak tahun lalu.

Ini juga terefleksikan dari kinerja harga saham di sektor telekomunikasi. Sejak akhir tahun lalu, indeks harga saham telekomunikasi telah merosot sekitar 20 persen hingga posisi Senin (1/7). atau jauh lebih rendah dibanding IHSG yang telah menguat sekitar 10,6 persen dari awal tahun hingga awal Juli ini.

Dua saham telko papan atas yakni PT Telkom Tbk (TLKM) pada tahun ini naik sekitar 25 persen, namun saham PT Indosat Tbk (ISAT) anjlok 20 persen. Demikian pula, saham PT Excelcomindo Tbk (EXCL) jatuh sekitar 11 persen

Dengan kinerja saham yang kurang menggembirakan tersebut, wajar bila saham sektor telekomunikasi saat ini telah kehilangan pamornya sebagai penopang utama kinerja bursa Indonesia. Padahal, pada periode sebelum tahun 2008 saham telko ini berada di peringkat atas dalam menopang kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia.
 
Menarik disimak di sini adalah posisi pemerintah yang sebenarnya justru paling dirugikan dari adanya masalah ketidakpastian hukum kasus IM2. Selain hilangnya kepercayaan masyarakat dan investor, pemerintah juga kehilangan potensi pemasukan GDP yang sangat besar.

Bank Dunia menyatakan bahwa peningkatan penetrasi broadband di industri telekomunikasi sebesar 10 persen akan meningkatkan GDP sekitar 1,38 persen atau setara Rp130 triliun di Indonesia. Padahal saat ini penetrasi broadband di Indonesia kurang dari 5 persen dan target RPJMN adalah sekitar 30 persen pada tagun 2014.

Menurut para pakar telematika, cara tercepat meningkatkan penetrasi broadband adalah melalui jaringan seluler. Sektor telekomunikasi didominasi oleh tingginya penetrasi mobile phone. Pertumbuhan industri telekomunikasi akan didorong oleh perumbuhan broadband mobile.

Melihat hal ini, prospek pengembangan industri telekomunikasi tidak bakal meredup dan tetap menjanjikan. Hal ini menjadi landasan bagi para investor di pasar saham untuk menunggu bangkitnya kembali pamor saham telekomunikasi di bursa Indonesia.

Hanya saja, ekspektasi ini bakal terwujud bila hambatan berupa masalah penegakan dan ketidakpastian hukum tidak terjadi lagi. Pasalnya, kinerja investasi tidak hanya berdasarkan pada faktor fundamental saja, tetapi juga sangat bergantung faktor teknikal yakni kepastian hukum demi membangun kepercayaan investor.

Pihak otoritas hukum boleh-boleh saja menata aturan tetapi jangan 'mengobrak-abrik' regulasi yang sudah ada di berbagai industri.  Sehingga, fundamental perekonomian Indonesia benar-benar kuat sehingga kepercayaan investor khususnya asing bukan semu dan berdaya tahan jangka panjang.

*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Asosiasi Analis Efek Indonesia