Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Nasionalisasi Migas (Blok Siak) untuk Kesejahteraan Masyarakat*
Oleh : Redaksi
Kamis | 27-06-2013 | 08:56 WIB

Oleh: Raja Dachroni**

BEBERAPA
hari yang lalu, tepatnya Sabtu (22/6/2013), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Riau (UR) menggelar kegiatan seminar nasional Migas untuk Kesejahteraan Masyarakat. Suatu topik yang menarik apalagi Menteri BUMN Dahlan Iskan hadir sebagai keynote speaker dalam seminar tersebut. Menjadi pertanyaan besar memang Riau sebagai salah satu penghasil minyak terbesar di Indonesia justru belum tersejahterakan dengan sektor SDA yang dimiliki. Itu bisa dilihat dengan minimnya energi yang dimiliki sebagian wilayah Riau ini.

Hal inilah barangkali salah satu faktor yang melandasi seminar ini digelar. Ketidakberdayaan negara dalam mengurus masalah Migas dan kontrak asing yang relatif panjang diduga kuat sebagai penyebab ini semua. Lalu apa yang harus kita lakukan? Barangkali dari dialog yang terjadi di seminar tersebut ada satu hal yang sempat mengerecut bahwa perlunya menasionalisasikan seluruh pengelolaan Migas yang saat ini masih dikuasai asing. Ini memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa.

Semua pasti bisa kalau kita mau. Mau saja tidak cukup tapi perlu kemampuan. Nah, pertanyaannya apakah kita mampu. Tentu mampu. Jadi kita harus berpikir bisa, mampu dan mau. Sehingga marwah negeri ini bisa terangkat dan tidak terus didikte asing. Apalagi sebenarnya hal ini sudah diatur tegas dalam UUD 1945 bahwa kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat 2 dan UUD 1945 tertulis bahwa:

(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dr. Kurtubi, pengamat perminyakan yang juga hadir dan menjadi narasumber dalam acara tersebut menungkapkan sudah saatnya pengelolaan Migas dinasionalisasikan jangan lagi diserahkan ke asing. Di Riau sendiri, saat ini momentum untuk pengelolaan Migas dikerjakan sendiri itu telah terbuka celah yang begitu lebar. Kita semua tahu pengelolaan Blok Siak yang akan habis masa kontrak pengelolaannya dengan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 27 November 2013.

Dalam waktu beberapa bulan saja lagi kontrak itu sudah habis. Kontrak bagi hasil PT Chevron Pacific Indonesia di Blok Siak akan mencapai 22 tahun, dan habis masa berlakunya pada 27 November 2013. Sesuai UU 22/2001 tentang Migas, maka Blok Siak tentunya SKK Migas. Kita menyadari juga, tantangan dan ketidakpedean kita untuk mengelola sendiri Migas itu menjadi hal utama yang membuat pemerintah pusat khususnya ragu-ragu untuk mengelola sendiri.

Sering menjadi alasan pemerintah kita tidak mampu, padahal kalau boleh jujur cukup banyak pekerja dan tenaga ahli yang bekerja di perusahaan asing. Nah, sekarang memang menjadi persoalan apakah pemerintah mau atau tidak kemudian menasionalisasikan Migas kita untuk dikelola sendiri, diurus dengan benar dan baik sehingga hasilnya memang benar-benar bisa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara nasional penguasaan Migas oleh asing menurut Binsar Effendi ada 60 kontraktor migas yang terkategori ke dalam tiga kelompok. Pertama, Super Major, terdiri ExxonMobile, TotalFina Elf, British Petroleum (BP), Amoco, Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70 persen dan gas 80 persen. Kedua, Major, terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18 persen  dan gas 15 persen  Ketiga, perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12 persen  dan gas 5 persen. Walhasil, migas Indonesia hampir 90 persen telah dikuasai oleh asing yang semuanya adalah perusahaan MNC (Multi National Corporation). Kejadian ini otomatis menghilangkan kekuasaan negara terhadap hasil Migas melalui National Oil Company-nya (Pertamina).

Hal ini diperparah lagi dengan ekport import minyak mentah kita yang belum terkelola secara baik dan maksimal. Dengan kata lain, nasionalisasi Migas memang hal ini adalah suatu hal yang sangat diperlukan dan hal yang utama yang perlu kita pikirkan dalam benak kita adalah kita mampu dan harus mau. Untuk Blok Siak penulis tentunya bersama masyarakat Riau sangat berharap blok itu mampu dinasionalisasikan dan blok-blok Migas lainnya seperti Blok Mahakan yang diperkirakan habis masa kontraknya pada tahun 2017. Untuk melakukan hal ini tentunya selain modal kemampuan dan kemauan tentunya pemimpin tertinggi di negeri ini yakni Presiden SBY lah yang harus memiliki keberanian untuk mengembalikan harkat martabat bagi negeri dan kalau pun ini terealisasi ini tentunya menjadi warisan kepemimpinan terindah pasca beliau tidak menjabat sebagai presiden nanti. Semoga!

*  Catatan Seminar Nasional Migas Bersama Dahlan Iskan
** Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Riau (UR)