Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kenaikan Harga BBM Hanya akan Jadi Komoditas Isu Petualang Politik
Oleh : Surya Irawan
Rabu | 19-06-2013 | 17:36 WIB
siti_zuhro.jpg Honda-Batam
Pengamat politik LIPI, Siti Zuhro. (Foto: Republika)

JAKARTA, batamtoday - Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mensinyalir kenaikan harga BBM yang sudah diputus oleh DPR RI ini justru akan dimanfaatkan oleh petualang politik (avounturir) dengan pengusaha untuk kepentingan politik 2014.

Karena itu wajar, jika parpol dan DPR RI selalu menggunakan isu-isu kenaikan BBM dan APBN-P menjelang pemilu. Padahal langkah itu berbahaya, jika daerah dan kepala daerah menolak kebijakan pusat tersebut atas perintah pusat partai, dan ini justru bisa menimbulkan gejolak sosial serius.

"Masyarakat melihat dalam gonjang-ganjing paripurna DPR RI untuk memutuskan RAPBN-P itu ternyata ada dusta. Ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan-distrust pada pemerintah dan parpol, juga kepala daerah. Untuk itu pemerintah dan jajarannya harus siap menghadapi segala kemungkinan itu," tegas Siti Zuhro di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (19/6/2013).

Selain partai oposisi lanjut Siti, juga akan timbul gejolak di Setgab koalisi sendiri, juga KIB II karena FPKS DPR tetap berbeda dengan menolak kenaikan harga BBM.  "Jadi, gegap-gempita paripurna DPR itu tak mengarah ke hal yang positif, tak ada ideologi partai, dan tak ada isu-isu untuk kepentingan nasional. Ditambah lagi, tak paham alasan-alasan kenaikan BBM sekaligus imbasnya bagi masyarakat. BLSM itu justru melecehkan masyarakat," ujarnya.

Lebih memprihatinkan lagi menurut Siti Zuhro, semua parpol tak terkecuali yang menolak kenaikan BBM, tidak bisa dipercaya, karena ada agenda politik terselubung, yang mencederai rakyat. "Kalau proses politik semacam ini terus berlangsung, maka demokrasi ini pada akhirnya akan batal demi hukum. Padahal, isu BBM ini sebagai daur-ulang dari Orde Baru ke reformasi, dengan satu alasan untuk APBN," pungkasnya.

Kampanye

Pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini menegaskan jika isu kenaikan harga BBM yang diputus oleh DPR RI itu hanya untuk mencapai target-target politik di 2014.

Sebaliknya, tanpa kenaikan BBM, maka target politik partai tak akan tercapai. Karena itu, isu kenaikan BBM tersebut untuk mendorong perombakan APBN-P. Anehnya dalam perombakan APBN-P  tersebut ternyata masih ada utang luar negeri sebesar Rp 80 triliun, sehingga kenaikan BBM tersebut akan makin memberatkan rakyat.

"Perombakan APBN itu juga disebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari 6,3 persen menjadi 6,8 persen, dan investasi dari 6,7 persen menjadi 6,9 persen. Dan, kalau BBM tak dinaikkan maka APBN akan jebol, defisit mencapai Rp 300 triliun, mengurangi subsidi orang kaya, dan sebagainya," kata Hendri.

Padahal, meski harga BBM naik, kata Hendri, konsumsi BBM akan terus tinggi, karena pemerintah selama ini tak pernah mengevaluasi volume konsumsi dan sumber minyak itu sendiri tak tesentuh.

Belum lagi ada kebocoran-kebocoran BBM pada kilang minyak, distribusi minyak, juga kebocoran pada kilang-kilang yang masuk ke industri, selain kendaraan pribadi.

"Itu langkah-langkah sulit yang tak pernah disentuh pemerintah, sehingga mengambil jalan pintas dengan menaikkan BBM," tambahnya.

Selain itu lanjut Hendri, munculnya penolakan daerah karena partai berbeda dengan pemerintahan koalisi, ini jelas tidak dipertimbangkan oleh pemerintah sendiri. "Di daerah itu ada kesenjangan luar biasa terkait pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, kemiskinan, penurunan daya beli dan sebagainya. Kalau itu terjadi, maka kebijakan pemeirntah itu salah dan berarti tak terkonvensasi. Bahwa BLSM Rp 150 ribu itu tak berarti apa-apa bagi rakyat Papua," tuturnya.

Menurut Hendri, BLSM itu tidak membantu masyarakat, hanya sebagai langkah pengamanan sementara. "Jadi, kalau konvensi BLSM itu selama 4 bulan, selanjutnya bagaimana masyarakat bisa melindungi dirinya dengan harga-harga sembako yang akan terus melonjak naik? Mengingat kenaikan harga sembok itu tak akan lagi pernah turun, bagaimana?" tanya Hendri lagi.

DPD Kecewa

Anggota DPD RI, Intsiawati Ayus menyatakan kekecewaannya terhadap DPR RI atas pengesahan RUU APBN-P 2013 dalam paripurna DPR RI pada Senin (17/6/2013) malam lalu itu, karena tidak melibatkan DPD RI sebagai lembaga tinggi negara dengan kewenangan sama dengan DPR RI, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 27 April silam itu. Jangankan konsultasi, komunikasi dengan DPD pun tidak ada. Dengan begitu, maka DPR RI melecehkan putusan MK terkait kewenangan regulasi.

"Mengapa DPR tidak melibatkan DPD RI, padahal keputusan kenaikan BBM itu berdampak ke masyarakat daerah. Apalagi kepala daerah tak paham APBN juga APBN-P, di mana dalam melaksanakan APBN-P terkait daerah itu, selalu menunggu komando dari pusat. Jadi, paripurna DPR Ri itu sandiwara saja, sementara kartu BLSM (bantuan langsung sementara masyarakat) sudah dibagikan sejak 7 Juni," ujar Intsiawati Ayus.

Seperti diketahui sebelumnya rapat pimpinan DPR RI dengan pimpinan MK Akil Mokhtar kata Ayus, ternyata putusan MK itu sendiri ditafsirkan berbeda dengan mantan Ketua MK Mahfudh MD. "Putusan MK soal kewenangan DPD RI dalam keterlibatan regulasi sampai tingkat akhir, ternyata dimakna berbeda oleh Akil Mokhtar. Jadi, di internal MK sendiri ada dua interpretasi, dua makna yang berbeda dengan Mahfudh MD," ujarnya kecewa.

Mengingat dampak kenaikan BBM tersebut berat bagi masyarakat daerah, maka kepala daerah diharapkan mampu mengantisipasi daya jual dan beli, dan produksi di masyarakat.  Juga dalam distribusi BLSM tersebut. Mengapa? "Sebab, pada pengalaman sebelumnya distribusi BLSM atau BLT tidak jelas, bahkan menimbulkan keributan. Meski sebanyak 70 persen disalurkan melalui komunitas (LSM, Ormas dll), sedangkan sebesar 30 persen dibagikan melalui kantor pos," pungkasnya.

Editor: Dodo