Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Konflik SARA Bisa Diselesaikan Melalui Pendekatan Kultural
Oleh : Surya Irawan
Senin | 10-06-2013 | 18:02 WIB

JAKARTA, batamtoday - Masih adanya konflik sosial bernuansa suku, agama, ras, atnis dan antar golongan atau SARA, di tengah masyarakat tak harus selalu berpegang dan diselesaikan secara hukum formal.

Sebab, jika secara formalitas putusan hukum tersebut tak juga bisa menyelesaikan konflik, maka dibutuhkan pendekatan dan penyelesaian secara kultural, dan komunikasi intensif antar tokoh agama dengan masyarakat. Justru, proses penyelesaian secara kultural tersebut merupakan warisan tradisi pendiri bangsa ini.

"Kita tak bisa mengandalkan pada pemerintah atau presiden, karena kekuasaan pasca reformasi ini sudah terbagi ke hampir semua institusi negara. Tak seperti di masa Orba, yang berada hanya di tangan presiden. Termasuk dalam menyelesaikan konflik agama, tak cukup berpegang pada putusan hukum an sich dan berharap kepada presiden saja, tapi perlu ditempuh secara kultural dan komunikasi yang baik," kata Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin dalam dialog 'Toleransi Umat Beragama' bersama Frans Magniz Suseno, dan pakar politik peradaban Paramadina Yudi Latief di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (10/6/2013).

Wakil Ketua Umum DPP PPP itu mencontohkan peran almarhum Taufiq Kiemas selama menjadi Ketua MPR RI, dengan langkah kultural dan komunikasinya yang baik, mampu menyatukan lembaga tinggi negara setiap sebulan sekali, untuk membicarakan banyak hal menyangkut kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara ini.

"Bahkan, beliau itu mampu merangkul semua golongan, aliran, ideologi dan organisasi keagamaan dari yang tergolong kelompok kiri sampai kanan, juga tengah. Itu tak ada dalam aturan hukum," ujarnya.

Sejauh itu, lanjut Lukman, dirinya tak selalu mengaitkan konflik bernuansa SARA tersebut tak selalu akar masalahnya agama, tapi ketidakadilan sosial ekonomi, politik, sumber daya ekonomi, dan pendidikan serta kesadaran masyarakay sendiri. Dalam kondisi seperti itu hukum lemah, maka kepentingan elit politik bisa memprovokasi konflik tersebut.

"Jadi, agama itu sebagai faktor penguat saja akibat ada campur tangan dari luar, yang bertentangan dengan kultur bangsa ini. Saat ini berkembang bahwa melihat agama itu secara hitam-putih. Di mana yang berbeda dengan dianggap salah, sesat, dan harus diperangi. Ini kan bahaya," tambahnya.

Sementara itu, Frans Magniz berharap pemerintah harus tegas untuk tidak memberi ruang pada masyarakat untuk tidak bertindak anarkis, meski tak semua tindakan anarkis itu tak bisa dikontrol oleh negara. Apalagi, tindakan anarkisme itu didorong oleh kepentingan politik elit seperti dalam Pilkada.

"Tapi, negara harus terus-menerus mendorong untuk melindungi mereka yang berbeda di negeri ini. Saya tak melihat negara selalu hadir meski dalam 20 tahun terakhir ini umat Kristen lebih bebas, nyaman berdampingan, dan memang selalu bersama NU dan Muhammadiyah," katanya.

Sedangkan Yudi Latief menegaskan, jika keberagaman itu sudah ada sejak Indoensia berdiri. "Sejak dulu sudah ada semua agama termasuk Ahmadiyah dan Yahudi. Sudah ada semua etnis dan keturunan Arab, China, Eropa dan lainnya. Semua orang ingin hidup nyaman di dalamnya. Namun, globalisasi kemudian membahwa transnasionalisasi keagamaan dan bergerak berdasarkan homoginisasi-penyeragaman-tunggal dan harus diterapkan seutuhnya di Indonesia. Inilah yang harus diwaspadai dan bisa menyulut konflik, karena tak menghendaki dan menolak yang lain," tegas Yudi.

"Selain itu, sekarang ini dinilai Yudi kurang mengembangkan multikultural, dan mengesampingkan pendekatan kultural dalam menyelesaikan konflik perbedaan pandangan. Termasuk dalam berdemokrasi yang mendewakan suara terbanyak. Karena itu, meski faktor hukum harus ditegakkan, namun pendekatan kultural juga harus dilakukan, karena figur dalam masyarakat paternalistik itu bisa menyelesaikan konflik di luar hukum. "Pendekatan kultur itu hazanah budaya pendiri bangsa ini," pungkasnya.

Editor: Dodo