Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Fitra Desak DPR Tolak RAPBN-P 2013
Oleh : si
Selasa | 04-06-2013 | 20:56 WIB

JAKARTA, batamtoday - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini masih mempertimbangkan pengajuan pemerintah terhadap RAPBN-Perubahan 2013 tentang kenaikan harga BBM yang rencananya akan di laksanakan pertengahan bulan Juni 2013.

 
Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA) mendesak agar DPR tak menyetujui pengajuan pemerintah karena dinilai sarat dengan politissasi menjelang Pemilu 2014 dan menyengsarakan rakyat.

Pemerintah dinilai beralasan dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi Rp6.500 akan menghemat anggaran sebesar Rp30 triliun. Lantaran, beban subsidi memberatkan dan menyebabkan APBN jebol.

"Kami meminta DPR menolak RAPBN-P 2013 yang diajukan Pemerintah. Alasan Pemerintah APBN defisitnya membengkak, tidak sepenuhnya benar. Ini siasat Pemilu 2014," kata Sekretaris Jenderal Fitra, Yuna Farhan dalam rilisnya di Jakarta kemarin. 

Menurutnya, beban subsidi BBM sebagai penyebab membengkaknya defisit juga tidak benar. Sebab, kenaikan defisit RAPBN-P 2013 mencapai Rp80 triliun itu disebabkan penurunan target penerimaan perpajakan sebesar Rp53,6 triliun. Artinya, tambahan beban subsidi BBM hanya berkontribusi 20 persen terhadap defisit dan penurunan pajak berkontribusi 66 persen.

"Faktanya, alih-alih bisa mengurangi alokasi belanja subsidi, pengajuan subsidi BBM oleh Pemerintah dalam RAPBN-P justru membengkak sebesar Rp16,1 triliun," kata Direktur Riset Fitra Yenny Sucipto. 

Selanjutnya, RAPBN-Perubahan sengaja disiasati untuk menyusupkan program-progam populis dengan total Rp30,1 triliun. Halini menyebabkan ada dua kali lipat dari penambahan subsidi BBM. Akibatnya, kenaikan BBM berpeluang menjadi ajang tawar menawar antar parpol di DPR.

Padahal Sisa Anggaran Lalu (SAL) 2012 sebesar Rp56,1 triliun tidak mampu diserap Pemerintah. SAL juga tidak mampu mengcover pembengkakan subsidi BBM Rp16 triliun dan kompensasinya Rp30 triliun.

Karena itu, perubahan asumsi makro ekonomi tidak terkait dengan kesejahteraan rakyat. "Tidak ada penciptaan lapangan kerja. Lalu untuk apa APBN diubah?," kata Yuna Farhan.

Sehingga target pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi tidak realistis. Jika harga BBM naik, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan berada di kisaran 5 persen dan inflasi sekitar 8,5 persen hingga 9 persen.

Fitra berpendapat pemerintah tidak memiliki argumen yang sahih penurunan pajak. Pemerintah memaksakan menaikkan harga BBM, tapi memanjakan birokrasi dengan menyetujui penurunan penerimaan pajak. Kenaikan harga BBM harus ditanggung rakyat sendiri, sementara tidak diikuti pengorbanan pemerintah.

"Pemerintah sendiri tidak mau berkorban. BBM subsidi tidak tepat sasaran. Sekalipun dikurangi maka Pemerintah harus berkorban dengan mengurangi anggaran," tegas Yunan.

Yunan menambahhkan, tidak ada pemotongan yang signifikan dari belanja barang yang selama ini menjadi sumber inefisiensi yang sangat besar.

"Jika Pemerintah jadi menaikkan harga BBM, kami menuntut mobil dinas dibiayai dengan uang pribadi pemakai. Tidak boleh dibebankan kepada APBN," pungkasnya.

Editor : Surya