Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lahirkan Feodalisme, Rakyat Makin Apatis terhadap Parpol
Oleh : si
Senin | 27-05-2013 | 16:41 WIB
hajrianto.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari

JAKARTA, batamtoday - Apatisme rakyat terhadap partai politik (parpol) sekarang ini, akibat parpol bermental feodal. Feodalisme itulah yang diantaranya melahirkan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN.



Jika 15 tahun lalu KKN itu dijadikan alat politik untuk menjatuhkan Orde Baru (Orba), tapi setalah 15 tahun reformasi ternyata sama saja, hanya beda istilah dari KKN menjadi KKD, yaitu korupsi, kongkalikong, dan dinasti politik. Karena itu, semua pihak harus berani menghancurkan feodalisme, yang menjadikan politik dan demokrasi menjadi mahal tersebut.

"Sejak reformasi ekspektasi dan harapan rakyat sangat besar kepada partai  untuk memperjuangkan aspirasinya, namun ketika itu diingkari, dan malah banyaknya parpol melakukan korupsi secara bersama-sama, ditambah lagi dengan penyimpangan moral,  maka rakyat makin apatis," tandas Wakil Ketua MPR RI Hajrijanto Y. Tohari dalam dialog pilar negera 'Mengatasi Apatisme Publik terhadap Partai Politik' bersama pengamat politik CSIS J. Kristiadi, dan pakar hukum tata negara Irman Putrasidin di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (27/5/2013).

Feodalisme itu lanjut Hajrijanto,  saat ini malah untuk melanggengkan kekuasaan, sehingga feodalisme itu tumbuh di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.  Dengan demikian, yang menjadikan rakyat apatis, cuek, bahkan pesimis dan sinisme terhadap partai tersebut akibat KKD.

Karena itu, feodalisme itu harus dibongkar-dihancurkan dengan kerja-kerja kultural. "Dulu PKI berhasil menghancurkan feodalisme dengan membangun politik dan demokrasi yang lebih egaliter-sederhana dan merakyat,"  ujarnya.

Ketua DPP Partai Golkar itu menyarankan untuk memberantas feodalisme parpol dan apatisme rakyat terhadap parpol tersebut, partai harus melakukan langkah dan kerja-kerja nyata dengan mengembangkan egalitarianisme.

"Memang itu membutuhkan waktu dan kerja keras dan kerja budaya yang panjang. Kita tak boleh putus asa dalam membangun karakter bangsa ini (nation caracter building) , memang membutuhkan waktu yang lama," katanya.

Selain itu diakui Hajrijanto, membangun parpol itu memang susah, maka wajar kalau ada usulan parpol dibiayai oleh negara (APBN), agar parpol benar-benar menjadi organisasi kader, yang diharapkan melahirkan pemimpin.

"Kalau saja sebesar 1 persen alokasi dana parpol dari APBN Rp 1.600 triliun, maka berarti Rp 16 triliun. Dan, kalau terbukti melakukan korupsi, maka parpol itu harus dibubarkan," pungkasnya.

Sementara itu, pengamat CSIS J Kristiadi mengatakan,  banyak tokoh parpol tak memiliki paradigma dalam membangun negara sehingga elektabilitas partai yang terus merosot, dan buruk di mata rakyat, termasuk juga partisipasi rakyat juga terus menurun. Bahkan, suara rakyat yang Golput, malah lebih besar dibanding jumlah suara yang dipoeroleh dari calon yang menang dalam Pilkada tersebut.

"Saya sangat prihatin dengan kondisi ini, meski parpol merupakan pilar demokrasi. Dan, memang tak ada demokrasi yang modern, tanpa keterlibatan parpol.  Saya setuju bahwa feodalisme itu akar mendasar apatisme, sinisme, dan rakyat kehilangan kepercayaan terhadap parpol. Karena itu harus dilawan," tegas J. Kristiadi.

Lebih memprihatinkan lagi lanjut Kristiadi, tokoh parpol itu akibat tidak memiliki paradigma, pemikiran  besar, dan rumit tentang tata kelola membangun negara, maka tak kuat menghadapi godaan kekuasaan dan uang, sehingga menyimpang dari komitmen awal perjuangannya sebagai tokoh partai.

"Yang lebih dahsyat lagi dengan otoritas politik yang besar itu, maka korupsi yang dilakukan secara besar-besaran, dan itulah yang memicu konflik besar pula bagi partai," tambah Kristiadi.

Sedangkan pengamat hukum tata negera Irman Putrasidin menggatakan, kewenangan parpol yang sangat besar itu hanya ada  di Indonesia, yang diatur dalam konstitusi. Di mana bukan saja jabatan politik dari presiden sampai kepala daerah, yang harus diusung oleh parpol, tapi jabatan eksekutif seperti BUMN, perbankan, MK, BPK, KPK, KY, Panglima TNI/Polri dan lain-lain juga menjadi wewenang parpol.

"Jadi, hanya parpol yang paling kompeten untuk melahirkan pemimpin,"  katanya kecewa.

Dengan begitu lanjut Irman, maka partai menjadi instrumen satu-satunya untuk mengawal republik ini, dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, dan tujuan-tujuan negara. Hasilnya?

"Lima belas tahun reformasi malah terjadi degradasi-kemudnuran parpol, dan menyuburkan korupsi. Ditambah lagi parpol tak menjalin hubungan ideologis, maka parpol bermasalah dan tentu tidak lagi memperjuangkan aspirasi rakyat," tutur Irman.

Namun demikian kata Irman, masih beruntung karena rakyat belum marah terhadap partai, meski banyak menggunakan dana haram, dan mengandalkan popularitas artis sebagai caleg.

"Tapi, harus diingat, jika sampai rakyat marah nanti, dan tak lagi percaya pada partai, ini berarti juga rakyat mulai tak percaya pada negara. Kalau itu berkelanjutan, maka bisa mengancam negara. Itu bahaya, dan harus diwaspadai oleh partai," ujarnya.

Editor : Surya