Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Etika dan Pembangunan Politik
Oleh : opini
Selasa | 07-05-2013 | 13:37 WIB

Oleh Rendra Setyadiharja

PERJALANAN POLITIK kurun waktu lima tahun sejak Pemilihan Umum 2009 hingga kini, berjalan dengan banyak luka, noda dan noktah. Tidak sedikit catatan-catatan buruk mencederai perpolitikan bangsa ini. Mulai dari kasus korupsi, suap, tindakan premanisme, grativitasi, dualisme jabatan, sampai kepada pelanggaran kode etik dalam ranah jabatan tertentu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perpolitikan kita selalu diwarnai dengan segala penyimpangan yang membuat kita miris dan seakan pesimis, masih perlukah kita dengan politik?

Tak lama lagi kita akan memasuki sebuah pesta demokrasi yang sangat besar, yang kita sebut dengan Pemilihan Umum 2014. Sampai saat ini tahapan-tahapan menuju Pemilu 2014 pun sudah tampak, partai politik telah sibuk berbenah dan mempersiapkan kader-kader dan para tokoh yang akan diturunkan menjadi panglima perang pada Pemilu 2014 nanti dalam proses pencalegan, ada yang merekrut artis, ada yang memang dari murni kader partai dan ada juga yang mendadak jadi tokoh masyarakat dan di daulat menjadi caleg, tak hanya itu beberapa sosok tokoh baik di tingkat pusat maupun daerah sibuk menyiapkan segala bentuk pencitraan untuk siap bertarung di pemilu 2014.

Semua hal ini tidaklah merupakan sebuah tindakan yang salah secara politik, karena pemilu memang merupakan sebuah jalan terjadinya perubahan dan regenerasi para politisi di negara Indonesia. Namun selain itu semua, sebuah pertanyaan yang harus kita cari jawabannya yaitu “masih perlukah kita dengan politik ?”.

Pembangunan Politik

Sudah selayaknya, selain sibuk dengan segala hiruk pikuk menjelang pemilihan umum 2014, perlu kiranya kita memikirkan bahwa mementum pemilu adalah salah satu momentum pembangunan politik yang lebih baik untuk Indonesia kedepan. Mengapa demikian ? karena lewat pemilulah, lahirnya sosok-sosok pemimpin selanjutnya yang akan memimpin dan memegang nakhoda negara ini.

Apa yang selama ini terjadi pada Indonesia diharapkan selesai dengan pemilu, dengan terpilihnya sosok pemimpin baru yang lebih baik dan menciptakan perubahan yang siginifikan bagi negara dan pemerintahan. Jangan lagi lahir pemimipin dengan mental korup dan pragmatis yang mengakibatkan kerugian negara yang juga berimbas pada “tersanderanya” kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara luas.

Sosok pemimpin dan wakil rakyat yang akan duduk di legislatif baik di tingkat pusat dan tingkat daerah, ataupun calon presiden dan wakil presiden nantinya yang harus dipilih rakyat pada pemilu 2014 adalah sosok pemimpin yang memiliki integritas, komitmen serta motivasi yang benar-benar berorientasi pada kemakmuran rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan lagi yang sibuk memperhitungkan untung rugi kepentingan pribadi atau golongan.

Oleh karena itu sudah selayaknya pemilu 2014 nanti sebagai ajang perbaikan dan pembangunan politik yang lebih baik, jangan sampai pertanyaan 'masih perlukah kita dengan politik' terlontar dari statement masyarakat kita yang seolah pesimis akan politik. Inilah yang perlu menjadi sebuah tinjauan serius terutama bagi partai politik kontestan pemilu dan para semua calon wakil rakyat untuk meyakinkan bahwa dalam membangun bangsa ini, tidak bisa lepas dari pembangunan politik, tentunya yang kita harapkan adalah pembangunan politik yang menciptakan politik bersih, jujur, adil dan politik yang memang mengedepankan kepentingan masyarakat.

Etika sebagai Dimensi Pembangunan Politik

Melihat geliat perpolitikan bangsa Indonesia saat ini, dengan segala bentuk penyimpangannya, menimbulkan pertanyaan baru, adakah azas etik dalam politik atau apakah politik hanya mampu dibangun dengan pragmatisme tanpa falsafah etika ? Dalam membangun suatu perpolitikan yang harapannya adalah sistem politik yang bersih, adil, jujur dan berorientasi kepentingan rakyat diperlukanlah sebuah azas etika dalam konteks ini.

Apa yang selama ini terjadi pada bangsa Indonesia karena memang nilai falsafah etika politik telah terlepas dari realitas politiknya. Bahwa saat ini bisa dikatakan bahwa falsafah politik adalah falsafah pragmatisme yang selalu mengedepankan materi. Inilah salah satu penyebab kasus korupsi tumbuh subur di negara kita, karena sistem politik transaksional yang diakibatkan karena pragmatisme kontestan politik pada pemilu dan juga pragmatisme pemilih yang belum dewasa dalam politik. Dengan pragmatisme yang berlebihan inilah yang menyebabkan falsafah etika politik tak lagi menjadi suatu yang urgen bagi seorang pejabat politik. Falsafah etika politik hanya menjadi hitam di atas putih dan hiasan retorika belaka dan tak lagi menjadi perhatian karena sudah dilibas habis dengan pragmatisme.

Untuk membangun politik bangsa ini menjadi lebih baik, tak bisa kita pungkiri bahwa pembangunan nilai etika dalam berpolitik perlu menjadi perhatian bagi kita semua, dimana nilai etika yang menjunjung kebaikan, integritas dan moral perlu dikedepankan, dan kita masih yakin bahwa masih ada orang baik yang mampu menjadi wakil kita semua dalam pemerintahan. Hanya tinggal bagaimana kita memilih siapa yang menjadi wakil kita dan berdasarkan apa kita memilihnya.

Selain itu, perlunya nilai etika dalam politik memiliki beberapa tujuan sebagaimana dijelaskan oleh Sofyan (2012) dalam bukunya Etika Politik Islam yaitu, pertama, etika politik bertujuan untuk membangun upaya hidup bersama dan untuk orang lain. Dalam hal ini kita meyakinkan bahwa dalam sistem demokrasi yang kita anut saat ini, masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Ketahuilah bahwa seorang wakil rakyat terpilih menjadi anggota legislatif secara hakikinya adalah merupakan sebuah kontrak dari rakyatnya atau pemilihnya (Rousseau: 2007).

Nilai etika politik yang diperlukan adalah sebuah kesadaran bahwa jabatan sebagai wakil rakyat bukanlah jabatan yang diperoleh dengan kualitas pribadi belaka, namun lebih kepada jabatan yang diamanahkan oleh rakyat untuk memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan rakyat. Maka secara etis, sewajarnya jika jabatan sebagai wakil rakyat dijalankan dengan akuntabel kepada rakyat. Rakyat secara tidak langsung memberikan kontrak bahwa seorang wakil rakyat ketika telah dipilih harus mampu membawa segala 'derita' rakyat dalam sebuah sistem politik dan pemerintahan dan kemudian memperjuangkannya. Maka kehidupan sebagai wakil rakyat adalah kehidupan bersama antara seorang individu yang notabenenya sebagai wakil rakyat dan juga hidup dengan nilai-nilai dan kepentingan bersama yaitu rakyat.

Kedua, etika politik bertujuan untuk memperluas lingkup kebebasan rakyat. Kebebasan disini artinya bahwa nilai-nilai perbedaan yang bergerak bebas dalam masyarakat pada sistem demokrasi harus mampu diakomodir dengan baik oleh seorang wakil rakyat. Nilai etika politiknya dalam konteks ini adalah kepentingan masyarakat yang lebih luas itu harus dikedepankan, apabila kepentingan masyarakat secara nyata dapat dipenuhi maka secara tidak langsung keluasan hidup masyarakat itu akan lebih terbuka, dimana dengan kesejahteraan masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, gizi dan juga kesehatan.

Bayangkan jika kesejahteraan masyarakat tidak terpenuhi, maka keluasan hidup masyarakat akan terbatas dengan tidak bisa menikmati segala haknya sebagai warga negara. Wakil rakyatlah yang memiliki kewajiban untuk berbicara dan memperjuangkan kepentingan masyarakat secara etis agar masyarakat memiliki jaminan hidup yang lebih luas sehingga dapat merasakan hak-haknya sebagai warga negara. Masyarakat bukan hanya menjadi sasaran ketika akan mendulang suara saja, namun ketika seorang wakil rakyat telah terpilih maka secara etis haruslah menciptakan dan mengedepankan kepentingan masyarakat untuk kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Ketiga, etika politik diperlukan untuk menciptakan institusi-institusi yang adil. Institusi yang adil secara etika politik adalah ketika institusi itu bergerak baik secara hukum, ekonomi, sosial, budaya dan politik yang adil bagi kepentingan masyarakat. Secara etika politiknya, disini seorang wakil rakyat harus mampu menjadi mediator antara masyarakat dan institusi negara. Agar terciptanya hubungan antara institusi negara dan masyarakat yang harmonis.

Institusi pemerintahan bukan justru menjadi ladang mencari dan mengejar kepentingan bagi pribadi atau golongan dari seorang wakil rakyat, namun harus diciptakan institusi yang mampu bergerak secara harmonis menciptakan pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan yang adil dan merata bagi masyarakat. Maka nilai keadilan adalah salah satu nilai etika yang perlu dijunjung tinggi dalam konteks ini.

Nilai-nilai etika politik di atas bertujuan menciptakan sosok-sosok pemimpin atau wakil rakyat yang lebih memiliki nilai falsafah etika dalam berpolitik dimana menjunjung tinggi nilai akuntabilitas, amanah, integritas, kesamaan, dan juga keadilan. Dimana nilai-nilai ini merupakan azas etis dalam politik.

Oleh karena itu, menjelang Pemilu 2014 ini mari kita satukan persepsi bahwa politik dapat kembali kita bangun dengan baik dengan cara memasukkan dan menitikberatkan nilai-nilai falsafah etika menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih sosok pemimpin dan wakil rakyat masa depan. Perjalanan sejarah bangsa kurun lima tahun kebelakang ini, harusnya menjadi pelajaran bahwa nilai pragmatisme lebih banyak memberikan keburukan bagi perjalanan perpolitikan bangsa ini.

Maka sudah selayaknya etika politik juga perlu menjadi perhatian bagi semua calon wakil rakyat dan pemimpin di Pemilu 2014 ini dalam rangka membangun dan menciptakan politik yang lebih bersih, bermoral, integritas dan mengedepankan kepentingan rakyat. Bagaimanapun, kepemimpinan seseorang akan diminta pertanggungjawabkan secara moral dan etika di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka sudah selayaknya dipertanggungjawabkan terlebih dahulu secara etika di hadapan rakyat yang telah memilih kita.

Penulis adalah Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang dan Kepala Bidang Penelitian Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah (LKPOD) Gurindam.