Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemilu 2014, Parpol Makin Pragmatis agar Dapat Kursi Lebih Banyak
Oleh : si
Jum'at | 03-05-2013 | 17:27 WIB

JAKARTA, batamtoday - Pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk menilai banyaknya artis menjadi caleg DPR RI yang dicalonkan semua parpol pemilu 2014, terbukti bahwa partai itu pragmatis.

Sebab, semua partai berpikiran bagaimana bisa memenangkan kursi sebanyak-banyaknya untuk DPR RI, sehingga kualitas, kapabilitas, ideologi, dan nasionalisme caleg itu menjadi nomor yang terakhir dan itu dianggap tidak penting.

"Parpol itu kini hanya berpikir bagaimana caleg itu kemungkinan besar bisa terpilih secara instan. Ini dilematis politik Indonesia. Harusnya parpol selektif dengan mencalegkan orang-orang yang berkualitas. Hanya saja orang yang berkualitas itu tak sepopuler artis. Untuk itu harus ada sanksi untuk tak pilih parpol pragmatis," tandas Hamdi Malik dalam acara talk show DPD RI 'Caleg selebritas Vs caleg berkualitas'bersama Poppy Darsono (anggota dan caleg DPD RI), dan caleg PDIP DPR RI Dapil II Papua di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Jumat (3/5/2013).

Selain itu lanjut Hamdi, logika parpol itu dengan mencalonkan artis, maka tak perlu lagi menyosialisasikan ke masyarakat karena sudah terkenal. Dan dengan popularitasnya tersebut katanya, parpol yakin para artis itu akan terpilih. 

"Apalagi perilaku pemilih Indonesia itu tak lagi melihat parpol, melainkan figur caleg. Seharusnya, parpol itu tak boleh pragmatis, tak bisa gegabah dengan menempatkan orang sebagai caleg seenaknya," katanya menyarankan.

Menurut Hamdi, caleg artis tersebut hanya dimanfaatkan untuk pendulang suara atau vote getter. Demikian pula dengan caleg akademisi, pengusaha, dan tokoh masyarakat lainnya, apakah sudah memenuhi kriteria sebagai wakil rakyat atau tidak sebagai legislator? 

"Kalau tidak, baik artis maupun bukan artis, maka tidak usah dipilih. Itulah sanksi paling efektif bagi rakyat. Sebab, di negara maju legislator itu terhormat dan mulai karena harus menjalankan tugas yang berat dan mulia demi kepentingan bangsa dan negara," tambahnya.

Hamdi menyayangkan dengan munculnya berbagai macam caleg yang tidak berkualitas belakangan ini. Selain artis dan orang-orang yang dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai wakil rakyat di tengah tantangan negara yang berat ke depan, ada juga anak kemarin sore yang baru lulus sarjana nyaleg DPR RI. 

"Masak anak kemarin sore baru selesai kuaiah sudah nyaleg DPR RI. Ini harus kita kritisi," tegasnya.

Tak Cukup Modal Artis
Designer kondang Poppy Darsono mengakui jika nyaleg sebagai calon anggota legislatif baik di DPR maupun DPR RI tersebut tidak cukup hanya bermodalkan artis. Tapi, da memaklumi kritikan masyarakat terhadap caleg artis belakang an ini, yang memang banyak diantara mereka yang hanya bermodalkan popularitas keartisannya.  Namun katanya, semua orang termasuk artis adalah berhak untuk terjun ke dunia politik.

"Memang banyak artis nyaleg yang hanya bermodalkan popularitas. Tapi, semua orang berhak terjun ke dunia politik. Hanya saja harus mempunyai modal yang memadai seperti ideologi Pancasila, landasan, dan kapabilitas. Sebab, dengan ideologi yang dimiliki, maka setiap langkahnya akan jelas untuk apa?" katanya.

Sejauh itu dia meminta agar tak saja kalangan artis yang dikritik, karena menurut Poppy, baik di DPR maupun DPD RI yang tak berideologi, dan itu jumlahnya lebih banyak dibanding artis. 

"Kalau tidak punya ideologi dan modal politik lainnya memang berbahaya sebagai politisi di Senayan ini. Karena itu, baik artis maupun non artis sebisa mungkin sebelum nyaleg seseorang itu sudah siap dengan segala tugas yang akan dijalankan," ujarnya mengingatkan.

Poppy menyontohkan perlunya pendidikan politik, track record, ideologi, dan kapabilitas sebagai calon politisi. Sayangnya lanjut Poppy, masyarakat Indonesia ini amnesia-pelupa terhadap jejak rekam seseorang. Sehingga, meski sebelumnya kesohor sebagai koruptor, maling, dan perilaku buruk lainnya, tetap saja terpilih sebagai anggota dewan. 

"Bahkan sekarang ini koruptor dijadikan pahlawan. Itu kan amnesia," ujarnya kecewa.

Poppy sendiri menyatakan dirinya sebelum menjadi anggota DPD RI sudah berkecimpung sebagai pengusaha, sosial masyarakat, dan lain-lain. 

"Masuk sebagai anggota DPD RI dari Dapil Jawa Tengah ini, karena banyak UU yang belum berpihak kepada rakyat. Karena itu saya tetap berkomitmen untuk memberikan konstribusi pemikiran dalam proses pembahasan perundang-undangan, yang tentu agar berpihak kepada rakyat, dan bangsa ini," pungkasnya.

Poppy terpilih sebagai anggota DPD RI dalam pemilu 2009, dan maju lagi untuk pemilu 2014. Dia bertekad untuk memajukan masyarakat Jawa Tengah khususnya dalam hal pariwisata. Desainer senior itu mengaku dekat dengan sejumlah seniman di berbagai daerah untuk memajukan budaya tradisional.  Dirinya mengaku mendapatkan dukungan dari kalangan seniman dan warga untuk kembali menduduki kursi di DPD-RI.

Perjuangkan Otsus Papua
Sementara itu penyanyi asal Papua Edo Kondologit  maju sebagai caleg DPR RI dari PDIP melalui Dapil Papua Barat dengan nomor urut 2. Dia optimis akan terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019. Pencalegannya tersebut ternyata bukan yang pertama kali, melainkan sudah mencobanya pada pemilu 2009 silam, namun belum beruntung.

"Saya ini bukan orang baru di PDIP. Sudah bergabung sejak tahun 2007 dan nyaleg 2009. Hanya belum beruntung masuk ke Senayan. Tapi, kini optimis bisa lolos ke DPR RI," tandas Edo.

Dengan bergabung PDIP sejak tahun 2007 tersebut maka kata Edo, dirinya bukan saja bermodalkan sebagai penyanyi, melainkan sudah memiliki modal politik, ideologi, dan kerja-kerja politik lainnya yang mesti dijalankan. 

"Memang saya seniman, dan akan berjuang melalui seniman khususnya untuk kemajuan rakyat tanah Papua. Itu penting, karena rasa bangga saya sebagai seniman selama ini, ternyata nasib rakyat Papua tak lebih baik dari yang saya banggakan," ungkapnya.

Setidaknya, bukan saja UU yang mesti pro rakyat Papua, tapi otonomi khusus atau Otsus yang selama ini berjalan menurut Edo, ternyata tak menyentuh rasa bangga dan kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Padahal, sebagai warga berkulit hitam, mereka tak boleh tertinggal, tak boleh miskin, dan tak boleh minder-merasa lebih rendah dari bangsa lain. 

"Otsus itu ruhnya keperpihakan pada rakyat Papua. Selama ini dana Otsus puluhan triliun itu tak menyentuh rakyat," katanya.

Edo mengibaratkan dana Otsus tersebut seperti hujan besar, tapi tidakjatuh  sampai ke tanah. "Air hujan tersebut nyangkut di pohon-pohon besar, dan uangnya memang habis di birokrasi saja. Kalau pun dana itu ditenderkan , itu hanya dinikmati segelintir orang yang sudah melek politik, berpendidikan, dan tentu tingkat SDM-nya sudah baik. Tapi, bagi rakyat di pedalaman, yang merupakan mayoritas di Papua, ya tetap miskin dan menderita," ujarnya prihatin.

Editor : Surya